Serupa Dandelion

Ujan masih sering turun di Surabaya. Rencana buat ngerapiin bayem brazil di kebun di luar pager jadi urung terus. Padahal, bayem brazilnya udah pada gondrong dan banyak rumput yang bersaing nyempil di antara rumpun bayem brazil itu. Anak-anak sansevieria yang juga udah tumbuh, jadi kesalip sama bayem brazil dan rumput-rumput itu. Nggak enak banget, deh, diliatnya.

Salah satu jenis rumput yang nyempil itu adalah… nggak tau namanya apa. Saya bukan ahli perumputan. Cuma karena sehari-hari liat rumput, bahkan sejak masih tinggal di Cicalengka, jadi udah familier sama wujud-wujud mereka. Beberapa ada yang saya tau namanya, sih. Tapi sebagian besarnya nggak.

Rumput yang saya nggak tau namanya itu tangkainya jenjang. Daunnya nggak menyirip, nggak menjari, tapi juga nggak membunder. Biasa aja, sih, nggak ada yang aneh. Tapi bunganya mirip dandelion dalam versi mungil.

Saya tau ada rumput namanya tempuyung. Konon, daunnya bisa dipake buat obat ginjal atau hipertensi, deh, kayaknya. Dia bisa tumbuh jangkung, dengan daun yang panjang dan pinggirnya bergelombang. Di rumah Cicalengka banyak banget tempuyung yang tumbuh. Nggak cuman di tanah, tapi juga di tembok pager.

Bunga tempuyung itu sempet saya kira dandelion alias randa tapak. Soalnya bunganya terdiri dari jarum-jarum yang ngariung bulet kayak bola. Warnanya kuning, tapi dalam waktu yang cukup cepat bisa berubah jadi putih. Kayak rambut kakek-nenek yang udah putih semua. Dan kalo ketiup angin, jarum-jarum itu beterbangan. Sama kayak dandelion, kan?

Karena ngira itu dandelion beneran, saya suka sengaja niup jarum-jarum putih itu. Liat mereka terbang itu kayak liat jarum-jarum dandelion yang ada di foto-foto Google.

Nah, rumput yang bunganya mirip dandelion versi kecil tadi juga gitu. Mungkin dia masih satu keluarga sama dandelion yang gede. Tapi kalah pamor, soalnya ukurannya nggak bisa nyaingin dandelion yang udah ngetop itu. Dan dia… nggak sekeren dandelion.

Dandelion emang menarik. Tapi, apakah menarik itu karena dia diekspos di mana-mana? Seumpama posisi dia ada di si rumput yang saya nggak tau namanya itu, apa dandelion ini bakal menarik?

Kayaknya belum tentu, deh. Saya nggak tau siapa yang pertama kali ngangkat eksistensi dandelion ke media visual. Saya juga nggak tau, apa si, sebut aja, fotografernya yang pinter nunjukkin angle yang tepat hingga nampilin kecantikan dandelion, atau memang dandelionnya sendiri ditakdirkan buat jadi terkenal?

Kenapa juga kita cenderung menyukai hal-hal yang udah banyak disukai? Kenapa kita senang memuliakan hal-hal yang udah agung? Padahal banyak hal kecil yang mungkin aja punya keunggulan yang lebih banyak daripada hal-hal besar yang kita kagumi. Dan bukan nggak mungkin juga hal-hal besar yang kita puja-puji itu ternyata punya kekurangan atau pernah berbuat kesalahan yang nggak dikit.

Saya jadi kasian sama rumput serupa dandelion itu. Di lahan lain, pasti banyak rumput lain yang bentuk dan sifatnya mirip dandelion, tapi nasib mereka nggak seberuntung dandelion. Mereka dianggap sama kayak rumput-rumput lainnya sebagai pengganggu taneman lain yang sengaja ditanem. Mereka nggak lebih dari gulma yang pantas diberantas atau dijadiin pakan ternak.

Tapi kalo dipikir-pikir lagi, dengan nggak pernah diekspos itu, rumput yang bunganya mirip dandelion itu justru bisa idup tenang. Nggak ada yang berani niup-niup bunga mereka selain angin. Nggak ada yang ceklak-ceklek ngabadiin figur mereka demi fotografi yang estetik. Nggak ada yang nuntut mereka buat jadi lebih cantik. Mereka bisa bersikap apa adanya. Mereka bisa bertindak semau mereka tanpa khawatir ada yang nyinyirin. Mereka bisa berbuat salah tanpa ada yang menghakimi. Mereka bebas.

Dan ketika pada akhirnya mereka mati, entah dilahap kambing atau dipotong perkakas berkebun, terus nggak ada yang mengenang mereka, bukan masalah. Mengenang yang udah nggak ada bisa bikin sedih. Sementara rumput itu, yang nggak dikenang siapa-siapa, bisa melenggang ke alam baka tanpa bikin orang-orang berduka.

Dalam kesunyiannya, rumput kayak dandelion itu menemukan kebebasan. Dia nggak pernah nuntut persamaan hak sebagai sama-sama rumput. Dia juga nggak iri dengan kesuksesan sanak familinya, sang dandelion itu.

Kebebasan kadang nggak perlu dicari dan diperjuangkan. Ketika banyak mata mengarah pada satu objek tertentu, saatnya objek lain merayakan kemerdekaannya menjadi diri sendiri. Dengan caranya sendiri.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.