Melayani Hujan

Kalau hujan datang, bilang padanya,
aku tak mau lagi melayani dia.
Capek aku menampung tetesnya yang berdebu.
Capek aku mengepel tempiasnya.

Kalau hujan datang, tanyakan,
kapan dia mau melayaniku.
Aku butuh pijatan di bahu,
setelah menanggung payung yang
tak lagi melindung.

Kalau hujan datang, bilang padanya,
aku tak mau melayani dia sampai
dia mau melayaniku.

Padi yang Udah Mateng, Nggak Pernah Mendongak

Menulis Orasi di Balik Pelaminan ngasih aku banyak perubahan. Dari yang tadinya sulit konsisten nulis sebuah cerita, jadi istikamah menulis sebuah cerita tanpa terdistraksi ide cerita lain (kecuali sekuelnya). Dari yang tadinya kerasan di zona nyaman dengan menulis cerita tentang hal-hal kecil dalam keseharian, jadi berani merambah bidang baru yang sebelumnya males aku pelajari. Dari yang tadinya “ngarang, ya, ngarang” aja, jadi bikin riset yang cukup serius dengan googling sana-sini, baca ini-itu. Nggak pake wawancara atau observasi lapangan. Terlalu ribet buatku.

Waktu baca Supernova: Ksatria, Puteri, dan Bintang Jatuh kelas tiga SMA dulu, aku emang pengin nulis cerita yang dialog-dialognya cerdas kayak percakapan Dimas dan Ruben. Kalo Supernova ilmiah, aku pengin yang sosial-sosial aja. Tokoh-tokohnya debat, tapi ada nada humornya juga. Tapi sampai Agustus kemarin belum kepikiran nulis cerita kayak gimana.

Gara-gara Agustus Kelabu, jadi terpantik, deh, bikin cerita tentang aktivisme. Terutama mahasiswa. Tapi aku nggak mau kalo tokohnya omon-omon doang. Dia harus cerdas, baca banyak buku, jadi punya landasan kuat kenapa dia bergerak.

Lahirlah Albi, mahasiswa aktivis jurusan HI. Kenapa HI? Bukan keren-kerenan, ya. Tapi kupikir, anak HI harus punya wawasan luas terutama soal politik dalam skala luas, bukan masalah personal atau lingkup negara aja. Anak HI juga harus baca banyak buku, mikir panjang, punya gudang kata-kata buat berdebat… Nggak tau, sih, ini bener atau nggak. Tapi bayanganku kayak gitu. Dan imajinasi itu kubangun dalam karakter Albi.

Sebagai “emaknya”, aku juga nggak boleh kalah pinter, dong. Demi Orasi di Balik Pelaminan dan kelangsungan hidup Albi di sekuelnya nanti, aku juga harus baca banyak buku. Gulir-gulir IG, baca postingan @berdikaribook, kurekap list buku yang sebaiknya aku baca. Ada banyak banget. Tapi karena keterbatasan anggaran buat beli buku, kemageran yang bikin aku ogah pinjem ke perpus (kecuali mediatek IFI), aku cuma bisa pinjem di iPusnas. Jadi, banyak juga, sih, buku di list yang nggak aku temuin.

Tapi, nggak berarti aku nyerah. Aku baca buku yang aku temuin di iPusnas. Kisah Tan Malaka berdasarkan Tempo, Menuju Indonesia Merdeka, Menjadi Aktivis Kampus Zaman Now, Menjadi Polisi yang Berhati Nurani dan Sederhana (sorry kalau judulnya nggak tepat), dan ada lagi beberapa buku yang aku nggak catet judulnya tapi relate sama ceritanya Albi dan Lara.

Ke depannya, kalo nulis sekuel Albi, aku harus lebih baca banyak buku lagi. Terutama tentang politik, sosial, dan aktivisme. Soalnya ceritanya seputar itu. Beda lagi sama naskah yang lagi kugarap. Salah satu tokohnya mahasiswa peternakan. Jadi, ya, kemarin-kemarin itu aku baca buku tentang pakan ternak. Ini juga di luar kemampuanku. Sejak kapan aku tertarik dengan peternakan? Taunya cuma makan produknya doang.

Ada buku yang aku baca sampai tamat dan ngerti isinya. Ada juga yang aku baca sebagian aja udah puyeng. Cuma nangkep dikit-dikit. Kadang aku stres, kok, aku bego banget, ya, nggak ngerti bacaan kayak ginian?

Tapi sebenernya soal ngerti atau nggak sama buku yang kita baca, itu wajar-wajar aja. Manusia, kan, nggak sempurna, ya. Dia keliatan sempurna bisa jadi karena apa yang dia sandang cocok buat dia. Bacaan juga gitu. Mudah dipahami, isinya relate sama kehidupan kita, bahasanya enakeun, bisa jadi karena buku itu sesuai sama kebutuhan kita. Jodoh-jodohanlah.

Jadi, aku juga nggak maksain diri buat bisa paham sebuah buku yang jelas-jelas bahasanya njelimet buatku. Begitu baca sampe setengahnya terus aku keblinger dengan isinya, aku stop dulu terus ganti baca buku lain. Mungkin kalo suatu hari nanti perlu, aku bakal pinjem buku itu lagi. Tapi minimal, dengan baca seperempat bagiannya aja, ada satu-dua kalimat yang aku ngerti walaupun kalimat itu bukan inti dari bukunya. Hehehe.

Belakangan ini, perjalanan nulisku sama dengan perjalanan baca. Kayaknya porsinya imbang, deh. Nggak semua isi buku yang aku baca tumpah ke tulisanku. Dari sekian banyak bacaan, mungkin cuma 30% yang keliatan di buku. Tapi aku perlu baca buat nyawa tulisanku. Buat bahan bakarnya. Ibaratnya, kita butuh tenaga buat lari sejauh 10 kilometer. Nggak cuma dimodalin asal makan, tapi juga harus bergizi. Beda, kan, bahan bakar yang berkualitas sama yang B aja?

Bacaan yang aku baca pun sekarang lebih banyak nonfiksi. Bukan berarti aku nggak mentingin fiksi. Karya fiksi atau sastra juga penting, kok. Tapi ini sesuai selera dan kebutuhanku saat ini aja. Dan semakin banyak yang kubaca, semakin aku ngerti kalo masih banyak yang aku belum tau dan paham.

Pantes aja, padi yang udah mateng kepalanya merunduk, bukan mendongak.

Orasi di Balik Kisah Albi dan Lara

Mei 1998. Saat itu, saya masih kelas dua SMP. Lagi seneng-senengnya main di sekolah, ketemu gebetan, nafsu makan baik-baik saja. Papap sudah pensiun, tapi kami tidak pernah kekurangan. Apa yang saya butuhkan, selalu tersedia di rumah. Terutama makanan.

Pada bulan itu, saya lupa persisnya kenapa—sakit mata atau ujian kelas tiga—pokoknya saya tidak masuk sekolah selama beberapa hari. Saya tidak mengingat banyak masa itu. Namun satu hal yang saya ingat adalah ketika kakak saya yang masih kuliah bilang pada mama dan papap kalau dia harus ikut demo. Di Gasibu, kalau tidak salah.

Saya lihat di tivi, sih, berita tentang demo di mana-mana, kerusuhan, pokoknya ada bakar-bakaran di tengah jalan. Tapi saya tidak paham ada masalah apa. Tahu-tahu Soeharto tidak lagi jadi presiden, diganti oleh Habibie. Saya yang belum mengerti apa-apa soal politik dan hidup sulit, merasa tidak ada masalah di rumah. Saya masih bisa makan, sekolah, ketemu sama teman-teman, keluarga saya baik-baik saja… Apa yang harus saya pikirin?

Bahkan setelah lulus kuliah, yang artinya saya sudah bisa dikatakan dewasa, saya masih tidak paham ada tragedi besar tahun 1998. Kericuhan waktu itu baru saya pahami baru-baru ini saja, setelah Agustus Kelabu. Saya memaksa otak saya memutar cuplikan-cuplikan kecil tentang apa yang saya tahu dari berbagai peristiwa yang terjadi 27 tahun lalu itu, selain ambruknya Orde Baru.

Awalnya suami saya bilang, akan ada demo besar-besaran tanggal 25 Agustus. Penyebabnya harga-harga naik, pajak juga naik, sementara orang-orang DPR joget-joget karena senang mendapat kenaikan tunjangan. Merasakan hidup sulit saat ini, saya rasa demo besar-besaran itu sangat sah dilakukan. Malah wajib. Biar kapok pemerintah!

Tetapi saya kurang mengikuti berita tentang aksi di mana-mana itu. Saya pikir, mungkin demonya gagal. Pemerintah udah nggak mau denger apa kata rakyat. Pesimistis, saya nggak ngikutin berita sama sekali. Wong, kondisinya nggak berubah, kok.

Tahu-tahu pada suatu pagi ketika lihat story IG sepupu saya (saya pikir dia punya foto atau video anaknya yang lagi saya kangeni), saya terenyak menonton video dilindasnya Affan Kurniawan. Suami saya langsung berujar, “bakalan rame, nih!”

Polanya, ketika ada rakyat mendapat tindakan represif dari aparat (entah dianiaya, ditabrak, atau dibunuh) saat rakyat turun ke jalan, setelahnya pasti ada reaksi lebih dari masyarakat. Mereka ngamuk. Rakyat, yang sudah tertindas, mendapat perlakuan semena-mena lagi dari aparat atau pemerintah.

Ini mengingatkan saya pada tragedi Trisakti ’98 silam. Ya, akhirnya saya ingat tragedi berdarah itu. Terutama ketika pada akhirnya saya mengikuti berita tentang Agustus kelabu, sehingga algoritma media sosial menunjukkan saya berbagai peristiwa yang relate dengan peristiwa itu. Instagram menunjukkan saya foto-foto korban tragedi Trisakti. Semula saya tidak tahu siapa mereka. Ketika membaca keterangan di fotonya (ada identitas mereka dan di bagian mana mereka ditembak), saya akhirnya ngeh kalau mereka adalah empat mahasiswa Universitas Trisakti yang ditembak aparat saat berunjuk rasa menuntut lengsernya Soeharto.

Setelahnya, saya “mengawal” berbagai update terkait Agustus kelabu dan tuntutan 17+8. Ada liputan tentang BEM Kema Unpad yang mengadakan piknik di depan gedung DPR Senayan. Ini menarik karena mereka mengadakan aksi mahasiswa bukan dengan teriak-teriak, orasi, atau kumpul-kumpul menyuarakan tuntutan 17+8. Aksi damai yang mereka lakukan santuy banget. Jauhlah dari kesan kalau mahasiswa bikin ricuh apalagi makar.

Kalau aksinya kayak gini, nggak bakalanlah mereka bentrok sama aparat, pikir saya.

Nah, dari sini, muncul pertanyaan: kenapa dalam setiap aksinya, mahasiswa selalu bentrok sama aparat? Siapa yang nggak bisa nahan emosi, mahasiswa atau aparatnya? Gimana kalau salah satu mahasiswanya itu masih teman atau saudaraan sama polisinya? Gimana kalau yang demo itu anaknya polisi?

Berangkat dari situ, saya kepikiran untuk menulis cerita tentang unjukrasa. Setelah mengutak-atik ide, jadilah kerangka kasar seperti ini:

Seorang mahasiswa (sebut saja Albi) akan berunjuk rasa menentang aparat yang kerap bereaksi berlebihan setiap ada unjuk rasa (memukul, menangkap orang tak bersalah, dsb). Dia sendiri sedang jatuh cinta pada mahasiswi fakultas lain (untuk sementara namanya Numa) yang ternyata adalah anak seorang polisi. Numa ini suka menulis puisi dan diminta ketua BEM untuk membuat puisi orasi menentang sikap aparat yang berlebihan itu. Kelak, puisi itu akan dibacakan Albi. Numa bingung. Di satu sisi, dia ingin bergabung dengan teman-temannya dan ingin membantu Albi. Di sisi lain, dia adalah anak polisi. Numa akhirnya menulis puisi orasi sesuai permintaan. Dia juga diajak ikut demo karena unjuk rasa ketika itu wajib diikuti semua mahasiswa sekalian untuk mengenang tragedi Trisakti. Numa bersembunyi di antara teman-temannya. Ayahnya sendiri turut menemui pengunjuk rasa. Tiba-tiba, ada penyusup yang menyulut kemarahan aparat. Numa dan kawan-kawannya jadi sasaran kemarahan. Ricuh, Albi berusaha melindungi Numa. Sang ayah melihatnya juga bingung. Menarik Numa dari kerumunan atau membiarkan Albi, mahasiswa yang dia tidak suka, melindungi Numa?

Ya, waktu itu Lara masih bernama Numa. Terus, berbekal pertanyaan tentang bentrokan struktural itu, saya yang sebetulnya sedang menulis cerita lain, langsung membuat kerangka detail, yang akhirnya saya buat ceritanya sekalian. Tadinya mau saya buat cerpen, tapi setelah ditulis, malah kebablasan saking seru ceritanya.

Jadilah sebuah novelet. Jumlah katanya melebihi dugaan saya. Yang lebih ajaibnya lagi, selama hampir dua bulan ini, saya istikamah menulis Orasi di Balik Pelaminan ini. Sempat beralih ke naskah sebelumnya karena saya pikir cerita tentang Albi dan Lara ini sudah selesai. Tetapi setiap kali hendak memposting setiap babnya di Kwikku, saya baca dulu ceritanya dan selalu saja ada yang saya tambahi.

Saya sendiri heran, kenapa saya bisa seantusias ini menggarap sebuah cerita yang temanya di luar jangkauan saya. Saya pikir, saya lebih mahir menulis cerita tentang drama sehari-hari. Lah, di sini saya ngomongin soal gerakan mahasiswa, aksi massa, kepolisian, hirarki kekuasaan, orde baru. Memaksa saya untuk membaca buku-buku seputar bidang itu, nonton berita tentang demo, tragedi ’98, sejarah. Yang nyantol, yang saya selipkan ke dalam cerita memang cuma sedikit. Tetapi saya percaya, saya harus ngasih makan roh cerita ini karena saya tidak mau asal tulis cerita.

Hasilnya, Orasi di Balik Pelaminan seperti yang bisa teman-teman baca di sini. Sekilas, ini cerita cinta yang dibalut unjuk rasa atau kekuasaan aparat. Tapi kalau teman-teman telaah lagi, sebetulnya lebih dari itu.

Masih banyak yang pengin saya ceritakan dari novel ini. Saking banyaknya, sampai bingung harus cerita dari mana. Untuk sementara, segini dulu sambil menunggu novel saya ini dikurasi pihak Kwikku.

September

September tiba di kebunku yang layu
Mawar-mawar lunglai dan rontok
Daun-daun menyerahkan nasibnya pada angin
Sumur masih menjaga airnya
tahu bahwa hujan tak akan datang
dalam waktu yang segera

Apa yang bisa kusajikan
selain adenium merah jambu
yang tak gentar menghadapi
langit biru tanpa awan
di antara daun-daun hijau yang menganga
memantulkan cahaya matahari

Tetapi mungkin itu satu-satunya
persembahan dari pertiwi
untuk musim yang enggan mengenal teduh
sehelai sejuk bagi mata
yang berhari-hari dipaksa menatap api

Ketika Bulan Tak Menjadi Puisi

Bulan menyungging senyum di atas sana
Berharap hening menambah pesonanya
Seperti malam-malam sebelumnya,
ia menunggu dipuja
Menanti penyair-penyair menuliskan namanya

Namun jalan-jalan masih gaduh
Suara-suara mengoyak sunyi
Klakson dan deru mengalah
Manusia menggemakan keadilan

Dan gaduh itu menjelma ricuh
Saat sekuntum mawar yang tangkainya
belum mampu berdiri tegak,
gugur kelopaknya
tersebab angin yang enggan dibendung
dan takut serbuan debu musim kemarau
yang kering dan hampa sebab telah dirampas patinya

Lalu, berbatang-batang lilin dinyalakan
Mengenang mawar yang belum mekar sempurna itu,
namun harus kembali menjadi tanah

Malam itu dan malam-malam berikutnya,
Semua mata terpaku pada jalan itu
Kepala terlalu berat untuk mendongak
Dan penyair-penyair tak lagi sanggup
membayangkan wajah bulan