About Rie Yanti

a wife, a mom, a writer

Sebuah Cerita tentang Kebun Kami

Musim kemarau taun ini gila-gilaan. Apa, ya, yang bikin matahari semangat banget bersinar? Awan-awan aja nggak berani nengokin bumi. Sekalinya ada, langsung lenyap seketika.

Kebun kami kena imbasnya. Biarpun semua taneman disiram dua kali sehari tiap harinya, banyak yang akhirnya nyerah. Layu, terus mati. Taneman nggak jelas yang ditanem paksu juga ngeranggas dan daun-daunnya kayaknya males banget tumbuh lagi.

Padahal sebelum musim panas menyengat ini dateng, taneman itu tergolong subur. Daun-daunnya emang kecil-kecil; nggak bisa buat neduhin pekarangan. Tapi di sela-sela daun-daun itu, lahir buah-buah kecil warna item, yang kami duga makanan kesukaan burung-burung.

Banyak burung kecil yang dateng dan bertengger di dahan taneman itu. Sambil makan buahnya. Seneng, deh, liatnya. Kebun kami jauh dari kesan mati. Kebun kami kayak semesta kecil tempat aneka taneman dan hewan kecil hidup.

Sekarang pemandangan kayak gitu nggak keliatan lagi. Burung-burung masih pada berkunjung, sih. Tapi kami nggak punya apa-apa buat ngejamu mereka. Tau, dong, gimana rasanya kedatengan tamu tapi nggak bisa ngasih mereka suguhan? Sedih, malu, nggak enaklah pokoknya.

Beberapa taneman yang masih sanggup bertahan cuma pitaya, kamboja jepang, kangkung, dan cabe. Kalo pitaya dan kamboja jepang kayaknya emang udah bawaan oroknya bandel gitu. Tapi kangkung dan cabe… rada-rada ajaib mereka bisa tetep tumbuh di tengah kemarau ekstrem kayak sekarang.

Di balik kekeringan ini, tetep ada yang patut disyukuri. Tapi paksu ngingetin kalo nanti begitu musim ujan dateng, pasti ada juga masalah baru. Burung-burung mungkin nggak bakalan sering-sering berkunjung. Sementara rumput-rumput yang sekarang tenang-tenang aja di dalem tanah, nanti bakal berpesta tiap hari di kebun kami.

Kangkung pun mungkin bakal kewalahan dengan air ujan yang ngegenang. Gitu juga dengan pitaya dan kamboja jepang. Sementara cabe… belum paham, tuh, bakal gimana nasibnya.

Semua ada waktunya. Semua bakal kena giliran tumbuh dan layu.

Dan kebun kami selalu tenang dan sabar ngadepin setiap musim dan problemnya.

Kesempatan Kedua

Ketika kecil, aku tak pernah menyelidiki
di mana debu bersembunyi ketika hujan turun
Aku selalu berdiri di balik kaca jendela
Memandang hujan sambil memendam ingin
untuk merasakan pecahannya di telapak tanganku
Meski kutahu pecahan hujan akan membuatku terluka
Hujan, bagiku, boleh dilihat, tapi tak boleh dipegang

Aku juga tak pernah bersitatap dengan bintang-bintang
Malam adalah waktu terlarang untuk keluar rumah
Semua kelelawar terbangun
dan sayap lebarnya mampu merenggutku ke dalam gua
di dunia antah berantah yang membuatku tak bisa kembali
pada kehangatan rumah

Sekarang, aku punya lahan yang cukup luas untuk kujadikan padang bunga
Tetapi, tak satu pun bunga kutanam di sini
Selain mawar, yang kaukenal punya duri
dan mampu melindungi diri
Itu pun masih membuatku was-was
Sebab tangan-tangan jahil yang tahu cara mendekatinya tanpa harus merasa sakit

Apapun selalu membuatku cemas
Apapun selalu kupandang buruk
Kekhawatiran ini datang dari jendela rumahku yang lebih kecil dari mataku
dan mempersempit pandanganku

Aku ingin kembali menjadi kanak-kanak
Aku ingin bumi melanggar arah berputarnya
sementara kakiku berjalan mundur

Namun tak semudah itu
Arah jatuhnya hujan bisa menyimpang karena angin
Sinar matahari bisa terhalau gedung-gedung tinggi

Hanya pada daun-daun mudalah aku bisa meletakkan harapanku
Mereka pasti tahu,
bagaimana seharusnya menyerap air dari akar dengan baik,
bagaimana seharusnya memaklumi ulat-ulat yang butuh makan,
dan bagaimana seharusnya mereka memahami
bagaimana angin kencang mengajari mereka
untuk bertahan pada kekuatannya

Silalatu Ungu, Tamu Nggak Diundang

Akhir-akhir ini, kebun kami suka kedatangan tamu: silalatu berwarna ungu. Kadang datangnya gerombolan. Kadang datang sendiri. Aku bingung ngejamunya gimana. Soalnya kebun kami lagi kering. Kami cuma bisa nyuguhin cabe dan bunga kangkung.

Silalatu itu tipis banget. Dia selalu minta tolong sama angin buat terbang. Setauku, silalatu itu nggak bisa nentuin arahnya sendiri. Dia ngemanfaatin keringkihannya buat bisa terus bergantung sama angin.

Nah, anginnya itu kadang juga nakal. Kalo lagi baik, dia nganter silalatu ke tempat yang aman. Misalnya aja ke pot, ke atas tempat duduk di kebun, atau nganter silalatu terbang sampe tinggi banget ngelampauin atap rumah.

Tapi kalo anginnya lagi nakal, dia suka nyesatin silalatu sampe nyangkut ke rumpun kangkung atau bayam brazil, ke celah-celah tumpukan paving, bahkan sampe masuk rumah dan silalatunya terdampar ke kolong lemari.

Seandainya warna silalatu itu nggak mencolok, nggak bakalan ada yang ngeh sama kehadirannya.

Tapi, apa, sih, yang abadi di dunia ini? Warna ungu silalatu juga lama-lama bisa pudar jadi cokelat muda. Dia jadi nggak jauh beda sama carikan kecil kertas payung yang berserakan di lantai.

Sebelumnya juga nggak pernah ada silalatu ungu sebanyak itu. Nggak tau kenapa sekarang ini banyak banget.

Mungkin karena matahari lagi semangat-semangatnya bersinar, sampe-sampe bisa ngebakar daun-daun bugenvil yang ijo jadi ungu.

A Murderer of The Small Thing

I’ve made a big mistake.
I’ve stepped on an ant
as it walked near my feet.
Then the ant died…

Its friend came closer to it and…
I thought it’s scared,
I thought it cried
as it found its friend dying

What a shame!
How could I be so careless?
Ants are everywhere
They wander here and there
seeking something to survive on
I should’ve been more careful walking

I can’t believe this
Stepping isn’t just putting the sole to the floor anymore
It’s about being mindful of other lives around

I’m a murderer of the small thing
No excuse, nor forgiveness
What kind of sentence do I deserve?

If my feet feel sore tonight,
maybe the ant’s spirit is taking revenge
on me.