Tahun ini, tepatnya bulan kemarin, genap 12 tahun saya tinggal di Surabaya. Biasanya kalau pulang kampung ke Cicalengka, ada yang bertanya, “betah, nggak, di sana?” Saya tidak bisa jawab “ya” atau “tidak”. Karena, di mana pun saya tinggal, ada plus dan minus yang saya rasakan karena perbedaan kultur. Apalagi Bandung dan Surabaya jauh berbeda. Satu daerah dingin, satunya daerah panas. Satu berbudaya Sunda, satunya berbudaya Jawa.
Ngomong-ngomong soal budaya, saya jadi ingin berbicara soal suku. Tidak ada maksud menjelek-jelekkan suku tertentu, sih. Saya hanya ingin berbicara tentang kehidupan saya sebagai sebuah produk akulturasi.