Segala yang hijau di halaman rumahku tumbuh bukan karena tanganku. Mereka hadir karena tangan tak terlihat yang membentuk dan mewarnai setiap helai daun, menuntunnya menjulur hingga menyentuh kulitku. Setiap pagi aku berjalan melewati mereka, sebelum membuka pagar dan pergi. Tapi sering kali aku tak benar-benar mendengar. Mereka barangkali ingin bercerita, tetapi aku lebih sering sibuk mendengarkan suara-suara di kepalaku sendiri.
Meski begitu, mereka tetap tinggal bersamaku. Akar-akar mereka berdenyut di tanah yang sama tempatku berpijak. Kadang muncul ke permukaan, seolah ingin mengingatkanku bahwa mereka ada, bahwa mereka ingin dijumpai. Dan yang bisa kuberikan hanyalah air. Atau daun-daun tua yang kukumpulkan agar tak melewati senja sendirian.
Lambat laun, tanganku tergerak. Aku mulai menyentuh daun-daun mereka lebih pelan, menatap pertumbuhan yang nyaris tak terlihat namun pasti, dan berdoa agar mereka terus hidup, meski musim terus berganti. Kupikir, mungkin beginilah caraku mencintai kebunku. Tanpa kata, tanpa janji. Hanya dengan tinggal, memperhatikan, dan merawat sebisaku.
Aku tidak pernah mengucap cinta pada kehidupan kecil di petak halaman ini. Tapi barangkali cinta justru tumbuh dari kehadiran yang setia, dari hal-hal yang dilakukan berulang kali. Mungkin cinta itu hadir karena kita terbiasa menyapa, karena kita tak lagi asing. Seperti yang dikatakan Mary Oliver:I walk in the world to love it. Maka mungkin, aku mencintai kebunku bukan karena aku sengaja, tetapi karena aku hidup bersamanya. Dan setiap langkah kecilku di atas tanah ini adalah cara tubuhku berkata: aku peduli.