Jalan Pulang

Tak ada cara untuk kembali ke masa lalu
Sungai dalam perjalanan menuju laut
Trembesi tumbuh menjulang, menuju langit
Kupu-kupu tak akan menjadi ulat lagi

Tetapi masih ada jalan untuk pulang ke dalam batinku
Angin menyapu debu yang melapisi jalan
Kemarau merenggut rumput yang menutupi setapak
Hujan masih terlelap dalam awan

Dan aku menunggu bersama secangkir rindu
Kenangan telah mengendap di dasar kesabaran

Pengingat

Apapun yang terjadi, bertahanlah. Sekeras apapun hidup ini, tetaplah berdiri. Bukan agar kamu ditimpa lebih banyak ujian. Tetapi mungkin, di luar sana, ada seseorang yang menginginkanmu tetap hidup.

Ada seseorang yang diam-diam ingin menjumpaimu, tapi tak ada kendaraan yang dapat membawanya ke tempatmu, langkahnya kerap terjegal batu besar, waktunya banyak dihabiskan untuk hal-hal yang tidak dia inginkan tapi harus dia lakukan. Dan mendengar kabar baik tentangmu, seremeh apapun, adalah suntikan kebahagiaan baginya.

Bisa jadi, dia satu-satunya yang peduli padamu ketika yang lain ingin pergi. Bisa jadi, dia salah satu dari orang-orang yang pernah kau lewati di trotoar—tak kau sadari, tak kau kenali. Jarak membuatnya asing bagimu, tapi justru karena itulah, dia tak menghakimi kebiasaan burukmu, seandainya ada. Dia menyimpan ketulusan yang mungkin pernah kau pertanyakan.

Jadi, apapun yang terjadi, bertahanlah. Kebahagiaan kadang mengerjap lemah dalam situasi kelam. Seperti bintang di langit malam yang membuatmu sadar bahwa percikan kecil mampu membuat malam jadi berarti.

Bahasa Tersirat

Kadang angin enggan bertiup
Ia memilih bersembunyi di balik rimbun daun
Menitipkan desir dalam tiap uratnya
Semakin tak ketahuan saja hadirnya
Tetapi ia tak pernah meninggalkan semesta

Begitu juga aku
Tak mesti kujulurkan kepalaku dari jendela
Hanya untuk menjumpai awan
yang berarak di atas kebunku
Aku selalu ada untuk melukiskan jejaknya

Kepak sayap kupu-kupu juga tak bersuara
Dan hujan kadang turun dalam hening
Kesunyian adalah kedamaian hakiki

Aku hanya ingin menciptakan bahasa yang tersirat
Tak perlu kamus untuk menafsir
Setiap pasang mata punya penglihatan yang berbeda

Itulah keindahan yang tak akan pernah surut
Layaknya sajak yang diwariskan penyair

Dari Lomba Puisi Pager Laut

Saat ini, lagi berlangsung lomba cipta puisi tentang pager laut di PPP sampe akhir bulan depan. Aku tadinya ragu mau ikutan. Secara, biasanya aku bikin puisi tentang hal-hal yang personal banget, reflektif, dan imajinatif yang kehujan-hujanan atau kekebun-kebunan. Slice of life gitulah.

Waktu tau bakal ada lomba kayak gini, aku langsung mikir kalo puisinya kudu kepolitik-politikan, nih. Maksudnya, ini di luar zona nyaman yang biasa aku pake. Aku ngebayangin puisi pager laut itu kayak puisi orasi, buat unjuk rasa atau protes gitu. Jelas aku nggak bisa. Puisi-puisiku kalo dibacain intonasinya tenang, nggak menggebu-gebu. Jadi, aku kudu muter otak ratusan kali buat puisi pager laut ini. Perlu riset yang jero juga biar nggak keliru nulis.

Lombanya dimulai tanggal lima kemarin. Sebelum tanggal itu, udah ada beberapa puisi anti pager laut di PPP. Ngalangin niat mau mosting puisi reguler aja. Tapi ini ngasih liat kalo kasus pager laut 30 kilometer itu emang mancing reaksi banyak orang. Bener aja, begitu tanggal lima, orang-orang mosting puisi buat lomba. Kayak anak-anak ayam berhamburan keluar kandang. Hehehe. Aku takjub liatnya, sekaligus minder. Apalagi, ini lomba bukan kaleng-kaleng. Mereka yang berpartisipasi adalah orang-orang yang jam nulis puisinya udah banyak.

Sementara aku?

Baru juga keluar kandang. Sendirian. Masih culang-cileung. Biasa ngomong sendiri pelan-pelan karena nggak PD. Orang-orang udah pada pinter ngomong, aku baru lulus ba-bi-bu-be-bo. Jangankan pas lomba kayak gini. Pas sehari-hari aja aku malu unjuk karya. Mau naruh puisi di PPP aja kadang sampe merem-merem dulu.

Mungkin aku tergolong telat belajar bikin puisi. Sebenernya, aku suka nulis puisi dari kecil. Niru-niru dari Majalah Bobo atau buku pelajaran Bahasa Indonesia. Nggak diseriusin. Bahkan sampe kuliah. Setelah lulus pun, aku maju mundur bikin puisi. Baru diseriusin menjelang akhir 2023 lalu setelah aku yakin dengan gaya nulisku. Itung, deh, berapa taun yang kebuang buat maju-brenti nulis puisi?

Tapi setelah nemu serunya nulis puisi, aku sulit brenti. Apalagi setelah kenal sama puisi-puisinya Mary Oliver (sebelumnya puisi yang jadi inspirasiku adalah puisi-puisi karya Sapardi Djoko Damono). Aku nggak punya bukunya. Cuma baca puisi-puisinya di salah satu komunitas FB dan googling-googling. Dan puisi-puisi penyair asal Amerika itu berjenis eko-reflektif, yang menurutku, relate banget sama gaya puisiku.

Karena terbiasa dengan style kayak gini, makanya aku bingung waktu mau ikutan LCP pager laut. Soalnya niat lomba ini sebetulnya buat perlawanan terhadap kesemena-menaan kelompok tertentu yang ngeksploitasin alam dan ngintimidasin para nelayan. Karena sifatnya “melawan”, jadi cocoknya dibuat puisi orasi.

Selain sempat minder liat puisi-puisi karya penulis lain, aku juga tadinya mau mundur aja. Nggak bakalan ikut lomba ini. Tapi, nggak tau kenapa, aku kayak penasaran. Kayak ada dorongan yang bilang, “kamu bisa, kok. Ikut aja.” Apalagi liat tenggatnya masih lama. Masih banyak waktu buat ngeriset dan bikin puisi yang bagus bin bener secara fakta.

Akhir pekan lalu, pas lagi nggak enak badan gara-gara flu, aku, kan, males buka laptop. Mampunya cuma pake hp. Karena nggak tau harus ngapain, nggak enak kalo berbaring terus tapi nggak tidur dan nggak ngapa-ngapain, akhirnya aku corat-coret Keep Notes. Nyoba bikin puisi pager laut sambil riset sana-sini.

Eh, nggak taunya malah jadi dua puisi dalam waktu dua hari. Bukan puisi orasi, sih, karena aku nggak mau ninggalin style-ku. Puas? Nggak juga. Tapi aku bersyukur karena ternyata aku bisa nulis tentang sesuatu di luar preferensi tema yang biasa aku pilih. Pager laut itu bukan perkara main-main, loh. Yang kena imbasnya bukan cuma nelayan, tapi juga aku dan keluargaku. Kalo laut dipager, nelayan, kan, nggak bisa cari ikan. Kalo nggak dapet ikan atau dapet tapi dikit, harga ikan-ikan di pasar bakalan naik. Terus, mau makan apa? Daging sapi jelas mehong. Daging ayam dan telor juga harganya cepet naik lama turun.

Atas dasar itulah aku turut nyuarain kegalauanku dengan adanya pager laut ini. Biarpun nggak terang-terangan ngelawan, seenggaknya aku turut bersuara.

Ini juga pengalaman keduaku ikut ajang kompetisi nulis gede-gedean. Taun 2007 lalu, aku ikutan sayembara kritik sastra yang dibikin DKJ. Dalam keadaan nggak tau apa-apa soal kritik sastra. Kupikir, kritik itu, ya, mengkritik. Ternyata lebih ke analisis. Nggak heran kalo aku nggak menang. Tapi aku dapat buku karya pemenang.

Di LCP ini juga aku nggak yakin menang. Tapi aku sadar dirilah. Aku ini siapa dibanding peserta-peserta lain yang jam nulis puisinya jauh lebih banyak dari aku?

BTW, aku suka, sih, lomba kayak gini. Pesertanya bisa saling baca, saling komen, saling like, saling tambah temen. Kayak bukan kompetisi ini mah. Seru, ya?

Kedua puisinya udah aku submit dan aku taruh di PPP. Yang nge-like puisiku naik pelan-pelaaaan… banget. Aku, sih, pasrah aja. Tapi tadi sore aku cek lagi udah nambah cukup banyak yang suka. Malah ada yang ngomentarin dan ngasih saran. Biarpun puisinya bisa diedit (apalagi kalo belum dikirim ke GForm, bisa diubah-ubah lagi, tuh, puisinya), aku milih biarin gitu aja. Aku pengin kembali ke habitatku, nggak mau kelamaan “kekurung” pager laut, walaupun bisa aja aku nulis lagi puisi tentang masalah ini buat keperluan pribadi.

The Bright Side of The Moon

Waktu gulir-gulir IG, nemu tulisan ini. Tentang gerhana bulan pertengahan 2021 lalu. Tulisannya aku revisi dikit.

***

Berdasarkan info dari mana-mana, malem ini ada gerhana bulan total yang bisa diliat di Indonesia. Super blood moon. Namanya nyeremin, tapi bikin penasaran kayak film thriller.

Dari sore aku udah siap-siap bareng suami dan anak-anak buat nonton gerhana. Langitnya masih biru. Matahari belum tenggelam sepenuhnya ke cakrawala. Bulannya juga belum keliatan. Di sebelah rumah kami ada rumah berlantai tiga punya tetangga. Bangunannya itu ngalangin pemandangan ke ufuk timur. Tapi kupikir nggak bakalan sampe ngeganggu kami yang mau liat gerhana. Soalnya, puncak gerhanana bakal terjadi lewat magrib, kira-kira pukul enam lebih. Jam segitu bulan kayaknya udah tinggi. Udah bisa kami liat dari tempat jemuran di atap.

Abis makan malam sekitar pukul 18.20, aku cek ke atas. Langitnya udah gelap. Tapi di langit cuma ada beberapa bintang. Bulannya nggak ada secuil pun. Apa sekarang udah puncak gerhana? tanyaku waktu itu. Tapi, masa’ secepat itu?

Aku coba cek dari halaman depan rumah. Nggak ada juga bulannya. Malah langitnya yang rada sebelah timur tambah nggak keliatan gegara bangunan rumah milik tetangga.

Kami sempet pasrah. Kayaknya kami harus ngelewatin gerhana bulan total kali ini, deh. Nggak apa-apa, sih. Abis gerhana, kan, bulannya purnama kayak biasanya. Idup bakal jalan terus.

Tapi, gimana-gimana juga kami penasaran dengan sisi gelap bulan. Akhirnya, selesai salat isya dan ngaji, suami ngecek ke atas. Ternyata…

… udah selesai, dong, puncak gerhananya! Bulannya udah ngelewatin fase sabit, mau balik lagi jadi purnama. Warnanya juga nggak merah, tapi putih kayak biasa. Ah!

Nggak tau kapan bakal ada gerhana bulan lagi. Baik yang total atau sebagian. Warna merah darah atau warna lain. Ada pun, belum tentu bisa diliat dari Indonesia, khususnya Surabaya.

Tapi, apa cuma gara-gara kelewat waktu puncak gerhana itu peristiwa gerhana bulan jadi nggak berarti apa-apa? Apa kalo nggak liat sisi gelap bulan, idup jadi berasa nggak sempurna?

Kalo dipikir-pikir, sebenernya nggak bisa nyaksiin gerhana itu patut disyukuri juga. Gerhana bulan total itu, kan, bikin kita jadi nggak bisa liat terangnya bulan yang cantik. Satu-satunya cahaya di malam hari jadi ketutup sama bayangan bumi dan buat beberapa orang, itu mungkin peristiwa yang sangat menakutkan.

Nah, dengan melewatkan (atau kelewatan) gerhana bulan total, kita nggak harus ngelaluin fase menakutkan kayak gitu. Kita selalu liat bulan dengan sisi terangnya.

Have you ever seen the dark side of the moon?

I haven’t, and I think I should be grateful for that,

because the moon always shows me its bright side.