Robohnya Kemangi Kami

Selama tiga hari berturut-turut, cuacanya nggak enak banget. Subuh-subuh udah ujan. Setelah reda, langit masih aja mendung. Lanjut ujan lagi. Mendung, ujan, mendung, ujan. Kayak gitu dari pagi sampe malem.

Sebenernya, ada enaknya juga, sih. Mendung dan ujan pas puasa bikin kita nggak haus. Tapi teuteup bikin BT kalo jemuran nggak kering dan nggak bisa pergi ke masjid buat bukber.

Ke kebun juga nggak bisa. Mau siram-siram, udah ada air gratis dari langit. Mau beresin kebun dan cabutin rumput, masa’ iya sambil ujan-ujanan?

Continue reading

Umbi yang Terabaikan

Sejak awal berkebun, kami nanem singkong. Dengan keterbatasan lahan dan wawasan tentang pertanian, kami pikir nanem singkong semudah nanem bayam brazil. Tinggal tancepin batangnya ke tanah, rutin disiram dan dibiarin kena matahari, tunggu waktu panen, udah.

Tanaman singkong kami tumbuh subur sekali. Daunnya lebat banget. Sampai-sampai pernah ada seekor kucing liar yang setengah dipelihara kerabat kami, selalu berteduh di bawah pohon singkong itu.

Cuma anehnya, tiap kali umbinya dipanen, hasilnya jarang sekali memuaskan. Sering kerdil. Nggak jarang yang dimakan masih berupa akar, bukan umbi. Padahal umurnya udah cukup buat dipanen. Mungkin karena tanahnya kurang cocok. Mungkin juga karena kurang perawatan. Atau karena kami terlalu terpukau dengan daunnya yang lebat itu sampai nggak merhatiin yang di dalam tanah?

Dan bukankah kita sering kayak gitu? Lihat orang yang kayaknya hepi-hepi aja, baik-baik aja, tapi siapa yang tahu kalau dia sebetulnya nggak seperti yang kita lihat. Siapa yang tahu kalau dia sedang berjuang keras, atau sudah dan dia kehabisan tenaga bahkan untuk memperbaiki dirinya sendiri? Siapa yang tahu kalau dia ngerasa nggak nyaman dengan hidupnya tapi harus selalu tersenyum? Siapa yang tahu kalau dia nggak baik-baik aja, tapi harus berpura-pura nggak ada masalah supaya orang lain nggak khawatir sama dia?

Siapa yang tahu?

Lawan!

Subuh tadi ujan nanggung. Nggak gerimis, nggak deres. Mataharinya males-malesan bangun dan ngelipet awan.

Apa ini pertanda nggak enak?

Nggak tahu dan mudah-mudahan nggak. Sampe rada siangan, langit masih rada mendung. Tapi nggak berarti aku dan paksu juga males ke TPS. Gimana-gimana juga Pemilu kali ini punya tujuan yang jelas: menyelamatkan negara.

Kami bukan sok pahlawan. Tapi sebagai rakyat, apa lagi yang bisa kami lakukan untuk negara tercinta ini selain memilih 01 atau 03? Malah tadi aku lihat yang biasanya golput, jadi ngasih suara. Berarti emang ada yang nggak beres di negeri ini.

Continue reading

Produk Akulturasi

Tahun ini, tepatnya bulan kemarin, genap 12 tahun saya tinggal di Surabaya. Biasanya kalau pulang kampung ke Cicalengka, ada yang bertanya, “betah, nggak, di sana?” Saya tidak bisa jawab “ya” atau “tidak”. Karena, di mana pun saya tinggal, ada plus dan minus yang saya rasakan karena perbedaan kultur. Apalagi Bandung dan Surabaya jauh berbeda. Satu daerah dingin, satunya daerah panas. Satu berbudaya Sunda, satunya berbudaya Jawa.

Ngomong-ngomong soal budaya, saya jadi ingin berbicara soal suku. Tidak ada maksud menjelek-jelekkan suku tertentu, sih. Saya hanya ingin berbicara tentang kehidupan saya sebagai sebuah produk akulturasi. 

Continue reading

Sepatu Converse dan Kenangan Menabung

Gegara lihat gambar sepatu Converse Chuck Taylor, saya jadi ingat kalau dulu pernah punya sepatu ini.

Ceritanya, waktu kuliah saya tergolong tomboy. Males pakai baju cewek. Waktu itu saya memang lagi suka dan terpengaruh gaya Avril Lavigne dan Michelle Branch. Karena gayanya Avril terlalu “unik”, saya cuma bisa niru gaya Michelle Branch yang lebih simpel.

Dari situ, jadi kepengin, deh, punya sepatu Converse. Buat saya, sepatu itu harus banget. Pernah punya sandal gunung. Enak, sih, dipakainya. Tapi saya lebih suka sepatu. Apalagi kadang-kadang saya ikut kuliah yang dosennya mewajibkan para mahasiswanya pakai sepatu. Dan rata-rata harga sepatu saya yang enak dipakai itu lebih dari 100 ribu.

Ketika papap saya masih ada, mau apa-apa tinggal minta, langsung dibeliin. Setelah papap meninggal, mau beli apa-apa harus mikir dulu.

Harga sepatu Converse saat itu yang saya tahu adalah 150 ribu. Saya tidak tahu itu sepatu Converse asli atau bukan. Tidak tahu juga cara mengeceknya bagaimana. Bodo amat! Yang penting saya punya.

Maka, dengan semangat ’45, saya menabung. Kalau dikasih uang jajan sama kakak atau ada sisa uang saku dari mama, saya masukkan celengan. Serius, sampai selesai kuliah saya punya celengan hadiah ulang tahun ke tujuh atau delapan.

Saya lupa, berapa lama saya menabung. Ketika sudah terkumpul 150 ribu dan kebetulan ada acara jalan-jalan sama keluarga ke Bandung, saya beli, deh, si Chuck Taylor. Senang rasanya hati!

Sebetulnya kalau memang butuh, mama saya tidak keberatan membelikan saya sepatu. Dan prinsip beliau adalah beli yang bagus sekalian biar berkualitas, biar nggak sering-sering beli.

Namun saya memilih pakai jalur menabung daripada meminta. Setelah papap tiada, kami sempat kesulitan keuangan. Saya sempat kepikiran untuk bekerja, tapi tidak diizinkan. Menurut keluarga saya, lebih baik saya kuliah yang bener, sampai selesai.

Saya tetap merasa tidak enak karena belum bisa mandiri. Sebagai wujud sikap tahu diri, saya atur uang saku supaya cukup. Bahkan untuk keperluan kuliah seperti buku atau fotokopi yang sebetulnya bisa minta ke mama, saya ambil dari tabungan atau celengan.

Dan membeli sesuatu yang kita inginkan dengan pakai uang tabungan, rasanya puas banget. Karena dengan cara seperti itu, kita bisa menahan nafsu dan punya target yang jelas. Nggak pake ngutang. Apalagi kalau barang yang kita inginkan nyaman dipakainya.