Orasi di Balik Kisah Albi dan Lara

Mei 1998. Saat itu, saya masih kelas dua SMP. Lagi seneng-senengnya main di sekolah, ketemu gebetan, nafsu makan baik-baik saja. Papap sudah pensiun, tapi kami tidak pernah kekurangan. Apa yang saya butuhkan, selalu tersedia di rumah. Terutama makanan.

Pada bulan itu, saya lupa persisnya kenapa—sakit mata atau ujian kelas tiga—pokoknya saya tidak masuk sekolah selama beberapa hari. Saya tidak mengingat banyak masa itu. Namun satu hal yang saya ingat adalah ketika kakak saya yang masih kuliah bilang pada mama dan papap kalau dia harus ikut demo. Di Gasibu, kalau tidak salah.

Saya lihat di tivi, sih, berita tentang demo di mana-mana, kerusuhan, pokoknya ada bakar-bakaran di tengah jalan. Tapi saya tidak paham ada masalah apa. Tahu-tahu Soeharto tidak lagi jadi presiden, diganti oleh Habibie. Saya yang belum mengerti apa-apa soal politik dan hidup sulit, merasa tidak ada masalah di rumah. Saya masih bisa makan, sekolah, ketemu sama teman-teman, keluarga saya baik-baik saja… Apa yang harus saya pikirin?

Bahkan setelah lulus kuliah, yang artinya saya sudah bisa dikatakan dewasa, saya masih tidak paham ada tragedi besar tahun 1998. Kericuhan waktu itu baru saya pahami baru-baru ini saja, setelah Agustus Kelabu. Saya memaksa otak saya memutar cuplikan-cuplikan kecil tentang apa yang saya tahu dari berbagai peristiwa yang terjadi 27 tahun lalu itu, selain ambruknya Orde Baru.

Awalnya suami saya bilang, akan ada demo besar-besaran tanggal 25 Agustus. Penyebabnya harga-harga naik, pajak juga naik, sementara orang-orang DPR joget-joget karena senang mendapat kenaikan tunjangan. Merasakan hidup sulit saat ini, saya rasa demo besar-besaran itu sangat sah dilakukan. Malah wajib. Biar kapok pemerintah!

Tetapi saya kurang mengikuti berita tentang aksi di mana-mana itu. Saya pikir, mungkin demonya gagal. Pemerintah udah nggak mau denger apa kata rakyat. Pesimistis, saya nggak ngikutin berita sama sekali. Wong, kondisinya nggak berubah, kok.

Tahu-tahu pada suatu pagi ketika lihat story IG sepupu saya (saya pikir dia punya foto atau video anaknya yang lagi saya kangeni), saya terenyak menonton video dilindasnya Affan Kurniawan. Suami saya langsung berujar, “bakalan rame, nih!”

Polanya, ketika ada rakyat mendapat tindakan represif dari aparat (entah dianiaya, ditabrak, atau dibunuh) saat rakyat turun ke jalan, setelahnya pasti ada reaksi lebih dari masyarakat. Mereka ngamuk. Rakyat, yang sudah tertindas, mendapat perlakuan semena-mena lagi dari aparat atau pemerintah.

Ini mengingatkan saya pada tragedi Trisakti ’98 silam. Ya, akhirnya saya ingat tragedi berdarah itu. Terutama ketika pada akhirnya saya mengikuti berita tentang Agustus kelabu, sehingga algoritma media sosial menunjukkan saya berbagai peristiwa yang relate dengan peristiwa itu. Instagram menunjukkan saya foto-foto korban tragedi Trisakti. Semula saya tidak tahu siapa mereka. Ketika membaca keterangan di fotonya (ada identitas mereka dan di bagian mana mereka ditembak), saya akhirnya ngeh kalau mereka adalah empat mahasiswa Universitas Trisakti yang ditembak aparat saat berunjuk rasa menuntut lengsernya Soeharto.

Setelahnya, saya “mengawal” berbagai update terkait Agustus kelabu dan tuntutan 17+8. Ada liputan tentang BEM Kema Unpad yang mengadakan piknik di depan gedung DPR Senayan. Ini menarik karena mereka mengadakan aksi mahasiswa bukan dengan teriak-teriak, orasi, atau kumpul-kumpul menyuarakan tuntutan 17+8. Aksi damai yang mereka lakukan santuy banget. Jauhlah dari kesan kalau mahasiswa bikin ricuh apalagi makar.

Kalau aksinya kayak gini, nggak bakalanlah mereka bentrok sama aparat, pikir saya.

Nah, dari sini, muncul pertanyaan: kenapa dalam setiap aksinya, mahasiswa selalu bentrok sama aparat? Siapa yang nggak bisa nahan emosi, mahasiswa atau aparatnya? Gimana kalau salah satu mahasiswanya itu masih teman atau saudaraan sama polisinya? Gimana kalau yang demo itu anaknya polisi?

Berangkat dari situ, saya kepikiran untuk menulis cerita tentang unjukrasa. Setelah mengutak-atik ide, jadilah kerangka kasar seperti ini:

Seorang mahasiswa (sebut saja Albi) akan berunjuk rasa menentang aparat yang kerap bereaksi berlebihan setiap ada unjuk rasa (memukul, menangkap orang tak bersalah, dsb). Dia sendiri sedang jatuh cinta pada mahasiswi fakultas lain (untuk sementara namanya Numa) yang ternyata adalah anak seorang polisi. Numa ini suka menulis puisi dan diminta ketua BEM untuk membuat puisi orasi menentang sikap aparat yang berlebihan itu. Kelak, puisi itu akan dibacakan Albi. Numa bingung. Di satu sisi, dia ingin bergabung dengan teman-temannya dan ingin membantu Albi. Di sisi lain, dia adalah anak polisi. Numa akhirnya menulis puisi orasi sesuai permintaan. Dia juga diajak ikut demo karena unjuk rasa ketika itu wajib diikuti semua mahasiswa sekalian untuk mengenang tragedi Trisakti. Numa bersembunyi di antara teman-temannya. Ayahnya sendiri turut menemui pengunjuk rasa. Tiba-tiba, ada penyusup yang menyulut kemarahan aparat. Numa dan kawan-kawannya jadi sasaran kemarahan. Ricuh, Albi berusaha melindungi Numa. Sang ayah melihatnya juga bingung. Menarik Numa dari kerumunan atau membiarkan Albi, mahasiswa yang dia tidak suka, melindungi Numa?

Ya, waktu itu Lara masih bernama Numa. Terus, berbekal pertanyaan tentang bentrokan struktural itu, saya yang sebetulnya sedang menulis cerita lain, langsung membuat kerangka detail, yang akhirnya saya buat ceritanya sekalian. Tadinya mau saya buat cerpen, tapi setelah ditulis, malah kebablasan saking seru ceritanya.

Jadilah sebuah novelet. Jumlah katanya melebihi dugaan saya. Yang lebih ajaibnya lagi, selama hampir dua bulan ini, saya istikamah menulis Orasi di Balik Pelaminan ini. Sempat beralih ke naskah sebelumnya karena saya pikir cerita tentang Albi dan Lara ini sudah selesai. Tetapi setiap kali hendak memposting setiap babnya di Kwikku, saya baca dulu ceritanya dan selalu saja ada yang saya tambahi.

Saya sendiri heran, kenapa saya bisa seantusias ini menggarap sebuah cerita yang temanya di luar jangkauan saya. Saya pikir, saya lebih mahir menulis cerita tentang drama sehari-hari. Lah, di sini saya ngomongin soal gerakan mahasiswa, aksi massa, kepolisian, hirarki kekuasaan, orde baru. Memaksa saya untuk membaca buku-buku seputar bidang itu, nonton berita tentang demo, tragedi ’98, sejarah. Yang nyantol, yang saya selipkan ke dalam cerita memang cuma sedikit. Tetapi saya percaya, saya harus ngasih makan roh cerita ini karena saya tidak mau asal tulis cerita.

Hasilnya, Orasi di Balik Pelaminan seperti yang bisa teman-teman baca di sini. Sekilas, ini cerita cinta yang dibalut unjuk rasa atau kekuasaan aparat. Tapi kalau teman-teman telaah lagi, sebetulnya lebih dari itu.

Masih banyak yang pengin saya ceritakan dari novel ini. Saking banyaknya, sampai bingung harus cerita dari mana. Untuk sementara, segini dulu sambil menunggu novel saya ini dikurasi pihak Kwikku.

Kalo Cuaca Ngawur

Cuaca tambah ngawur aja. Sekarang udah bulan Agustus. Udah musim kemarau dan suhu udara lagi panas-panasnya.

Tapi beberapa malem ini, aku liat langit sering mendung. Bulan sabitnya jarang keliatan. tadi subuh malah ada gludug. Nggak keras, sih, dan aku nggak liat langitnya emang mendung atau nggak. Kayaknya, awannya juga ragu mau nurunin ujan. Soalnya sekarang bukan giliran dia yang muncul.

Di kebunku, sebagian rumput pada mati. Kuning, kering, kayak abis kebakar gitu, Sebagian lagi masih berdiri tegak. Nggak mau kalah sama taneman cabe, tomat, dan kemangi yang kusiram tiap hari.

Ya. Aku usahain siram-siram kebun tiap hari. Kalo lagi rajin, bisa dua kali sehari. Kalo lagi kumat malesnya, sekali aja. Biasanya, sih, sore-sore. Soalnya kalo pagi, tanahnya suka keliatan lembap. Nggak tau lembapnya dari mana. Bediding udah berlalu soalnya malem-malem aku nggak kedinginan lagi.

Biarpun pagi-pagi tanahnya keliatan lembap, atau udah kusiram, siangnya udah keliatan retak-retak. Kayak kemarau panjang dan tanahnya nggak disentuh air sama sekali. Saking panasnya. Apalagi ini Surabaya.

Tapi, kok, bisa, ya, ada rumput yang tetep tumbuh dan idup? Dari mana mereka bisa dapat kekuatan? Doa ibu pertiwi?

Mungkin, ya. Siapa yang pernah denger bumi berdoa minta kesuburan? Nggak ada, kan? Tau-tau muncul rumput-rumput, bibit yang kita taruh di dalem tanah tumbuh jadi tunas, buah-buah ranum di pohon…

Ujan mungkin turun bukan atas kehendaknya atau karena awan udah kelebihan beban. Bisa aja ujan turun karena bumi yang minta. Bumi bisa berdoa kapan aja. Ujan pun bisa kapan aja ngabulin doanya bumi.

Cuaca ngawur, ujan di bulan Juli, mendung di bulan Agustus. Nggak ada yang patut disalahin. Semuanya terjadi soalnya pasti ada alasannya yang belum tentu kita tau.

Jalan Kaki

Sejak kecil, saya dibiasakan mama jalan kaki ke mana-mana. Kami tinggal di Cicalengka, sebuah kecamatan di Kabupaten Bandung. Dulu itu, kami punya dua mobil di rumah. Satu dipakai kakak buat kuliah, satu lagi sengaja ditinggalkan di rumah.

Mobil yang di rumah itu berjenis pick up. Ayah saya membelinya buat ngangkut-ngangkut barang di kantornya, kalau perlu. Kalau tidak diperlukan, mobil itu disimpan di rumah. Bisa kami pakai kalau ada keperluan mendesak.

Sayangnya tidak ada sopir. Kalau mau pakai mobil itu, kami harus mencari tetangga yang bisa menyetir. Ibu saya tidak bisa menyetir. Bahkan kalau bepergian di Cicalengka pun, ibu saya memilih jalan kaki. Ojek ada, tapi tidak banyak. Orang-orang biasanya naik delman dari pasar atau seperti ibu saya: jalan kaki.

Sepeda?

Meski Cicalengka itu kebanyakan daerah pedesaan, sedikit sekali orang yang mengayuh sepeda. Malah kalau saya bandingkan dengan Surabaya, lebih banyak pesepeda di Kota Pahlawan ini. Padahal ini kota dan zaman now.

Orang-orang Cicalengka memang lebih banyak menggunakan kaki mereka sebagai alat transportasi. Teman-teman SMP saya malah sampai berjalan kaki lebih dari dua kilometer untuk bisa ke sekolah. Maklum, saat itu SMP negeri cuma ada satu di Cicalengka. SMP itulah idaman setiap orang. Tak peduli berapa jaraknya, mereka berusaha kerasa agar diterima bersekolah di sana.

Setelah sepeda motor mewabah, orang-orang memilih ngojek atau bawa sepeda motor sendiri kalau malas naik angkot. Orang-orang kaya baru malah dengan bangga pamer mobil. Gengsi teramat tinggi di Cicalengka.

Karena dibiasakan jalan kaki, saya pun lebih akrab menggunakan kaki saya ke mana-mana ketimbang naik ojek. Bahkan beberapa tahun lalu, sebelum hijrah ke Surabaya, saya sering ikutan jalan santai dan tidak pernah motong jalan. Pulang-pulang kadang bawa hadiah, kadang juga tidak. Tidak masalah. Karena dengan ikutan jalan santai itu, saya bisa melihat sudut lain dari Cicalengka yang belum pernah saya lihat.

Jalan-jalan solo ke Bandung pun kalau tidak naik angkot, ya, jalan kaki. Fifty-fifty-lah. Kadang ngangkot, kadang jalan kaki. Enak, bebas, jadi hafal jalan. Kalau nyasar, saya bisa nebak-nebak harus pilih jalan yang mana supaya bisa kembali ke titik awal atau tujuan berikutnya.

Di Surabaya ini pun saya sering jalan kaki. Ke pasar, sekolah, mini market. Saat jalan-jalan berempat pun kami tidak ragu jalan kaki kalau sanggup. Sejauh ini, tidak ada kendala yang kami hadapi selain panas dan hujan. Atau, julidan orang-orang yang merasa kasihan melihat kami (terutama si kecil) jalan kaki siang bolong. Dibilang tegalah, miskinlah karena tidak bawa atau sewa kendaraan.

Padahal orang tua kami membiasakan jalan kaki. Padahal, orang-orang di luar negeri juga biasa jalan kaki. Orang Indonesia itu sombong dan pemalas. Punya kekayaan dikit, pamer dan meremehkan orang lain. Punya motor, memandang rendah yang jalan kaki.

Buat saya pribadi, jalan kaki kadang menjadi sebuah kegiatan kontemplatif. Kadang saya nggak merhatiin jalan, kecuali kalau jalannya ramai. Saya berjalan kaki sambil melamun, mikir. Selalu muncul pikiran atau kalimat random dalam benak saya tiap kali melangkah. Dan saya tidak pernah tega menampiknya.

Saya tidak peduli berapa langkah yang sudah saya tempuh saat berjalan kaki. Saya lebih peduli pada apa yang saya pikirkan. Apalagi kalau jalan kaki sendirian. Saya mendapat kebebasan mau melihat apa, mendengar apa, berpikir tentang apa, merasakan apa, merencanakan apa.

Jalan kaki seperti memberi saya kesempatan untuk memutuskan sebuah hal tanpa merugikan diri saya sendiri. Semisal saya berpikir sambil mengemudikan sepeda motor atau mobil, tentu itu berbahaya buat saya dan orang lain. Kalau jalan kaki, asalkan tidak menyeberang, paling-paling saya kepleset, kaki terantuk batu, menubruk orang, dan itu jarang sekali terjadi. Ya… itu juga berbahaya, sih. Tapi risikonya kecil.

Entah sampai kapan saya sudi jalan kaki. Sampai saat ini, walaupun saya tahu jalan kaki itu capek, saya masih sanggup menjalaninya. Anggap saja latihan. Siapa tahu di masa yang akan datang kami tinggal di luar negeri yang orang-orangnya terbiasa jalan kaki.

Apakah Aku Mencintai Kebunku?

Segala yang hijau di halaman rumahku tumbuh bukan karena tanganku. Mereka hadir karena tangan tak terlihat yang membentuk dan mewarnai setiap helai daun, menuntunnya menjulur hingga menyentuh kulitku. Setiap pagi aku berjalan melewati mereka, sebelum membuka pagar dan pergi. Tapi sering kali aku tak benar-benar mendengar. Mereka barangkali ingin bercerita, tetapi aku lebih sering sibuk mendengarkan suara-suara di kepalaku sendiri.

Meski begitu, mereka tetap tinggal bersamaku. Akar-akar mereka berdenyut di tanah yang sama tempatku berpijak. Kadang muncul ke permukaan, seolah ingin mengingatkanku bahwa mereka ada, bahwa mereka ingin dijumpai. Dan yang bisa kuberikan hanyalah air. Atau daun-daun tua yang kukumpulkan agar tak melewati senja sendirian.

Lambat laun, tanganku tergerak. Aku mulai menyentuh daun-daun mereka lebih pelan, menatap pertumbuhan yang nyaris tak terlihat namun pasti, dan berdoa agar mereka terus hidup, meski musim terus berganti. Kupikir, mungkin beginilah caraku mencintai kebunku. Tanpa kata, tanpa janji. Hanya dengan tinggal, memperhatikan, dan merawat sebisaku.

Aku tidak pernah mengucap cinta pada kehidupan kecil di petak halaman ini. Tapi barangkali cinta justru tumbuh dari kehadiran yang setia, dari hal-hal yang dilakukan berulang kali. Mungkin cinta itu hadir karena kita terbiasa menyapa, karena kita tak lagi asing. Seperti yang dikatakan Mary Oliver:I walk in the world to love it. Maka mungkin, aku mencintai kebunku bukan karena aku sengaja, tetapi karena aku hidup bersamanya. Dan setiap langkah kecilku di atas tanah ini adalah cara tubuhku berkata: aku peduli.

Nggak Semua Daun Sama

Kalo aku peratiin, daun-daun yang ada di kebunku nggak sama warnanya. Sekilas, mereka kayak sama. Kalo nggak ijo muda, ijo tua. Ada juga yang kuning atau cokelat karena dimakan waktu. Tapi kalo dilihat lebih saksama, beda. Bedanya, sih, tipis-tipis dan sulit ngedeskripsiinnya.

Di depan rumah tetangga sebelah dan depan rumah, ada taneman pucuk merah. Waktu daunnya baru tumbuh, warnanya ijo. Lama-lama, warnanya pucuknya jadi merah. Bukan karena pengaruh alam apalagi dicat, tapi emang udah bawaannya.

Ada juga sri rezeki. Aku nggak punya dan tetanggaku juga kayaknya nggak punya. Tapi ada taneman kayak gitu. Daunnya udah merah jambu sejak lahir. Bagian yang deket tangkainya lebih tua warnanya, sementara yang tengah sampe pucuk, warnanya merah jambu rada mudaan. Tapi kalo udah tua, sih, warnanya berubah jadi cokelat.

Atau kastuba. Ini lebih aneh lagi. Awalnya dia terlahir sebagai daun. Tambah umurnya, dia berubah jadi bunga. Dari warna ijo jadi warna merah.

Beberapa daun taneman hias juga punya beragam motif. Ada yang bintik-bintik putih, ada yang garis-garis, ada yang bagian pinggirnya ijo tua tapi makin ke tengah makin muda. Bentuknya juga beragam. Ada yang bergelombang, meruncing, menjari, rada bunder, tepinya runcing-runcing, panjang. Ada yang kecil-kecil, ada yang gede-gede juga.

Sama kayak bunga. Beda bentuk, beda warna, beda baunya juga. Dan semua itu terjadi karena banyak faktor. Ada yang warnanya berubah karena pengaruh sinar matahari, usia, atau karena dia emang ditakdirkan buat berubah warna.

Apakah ada yang pernah protes dengan keanekaragaman kayak gitu?

Kayaknya nggak ada, deh. Setauku, orang-orang malah suka dengan keunikan daun-daun. Saking sukanya, ada yang sampe ngoleksi macem-macem taneman hias kayak yang pernah booming belasan taun lalu. Aku juga kemakan tren itu.

Ada juga yang nggak peduli dengan penampilan. Tapi care banget sama khasiatnya. Orang yang kayak gini biasanya nanem taneman obat (toga) atau taneman pangan. Kayak aku sekarang. Aku nggak berminat nanem taneman hias lagi. Aku sekarang lebih ngedepanin fungsi. Kalo taneman hiasnya cuma buat estetika-estetikaan aja, kemungkinan besar nggak bakalan kupilih. Tapi kalo ada khasiat pangan atau obat, boleh, tuh, ditanem di kebunku.

Semua tergantung selera dan kebutuhan masing-masing orang. Dan nggak semua daun harus punya warna yang sama. Nggak semua orang harus berbuat yang sama juga. Beda-beda juga bisa keliatan menarik, kok.