Keluarga Kepik Oren

Beberapa hari yang lalu, sore-sore, cuacanya bagus banget. Aku dan Akira ke kebun buat siram-siram taneman. Sekalian mangkas satu pot bayem Brazil yang nggak tumbuh sehat. Daunnya ijo kekuningan dan kecil-kecil. Kalo waktunya cukup, sih, mau sekalian diganti sama bibit yang baru.

Tapi waktu mau motong salah satu tangkai bayem Brazil… ada seekor kepik warna oren muda.

Dulu pernah ada kepik merah di taneman singkong. Waktu mau kufoto, dia kabur. Kaget gara-gara Akira yang kepo mau nyentuh sayap luarnya. Abis itu kami nggak pernah nemu kepik lain. Sampe sore itu, aku nemu kepik warna oren di pot bayem Brazil.

Kepik itu ngegemesin. Kayak anak kecil pake helm kegedean. Akira sampe nyari-nyari kepala dan matanya. Nggak keliatan soalnya ketutup sama sayap luarnya yang berkelir oren dan bintik-bintik item.

Kepik itu diem aja di salah satu permukaan daun bayem Brazil. Kami jadi ati-ati ngedokumentasiin dia. Nggak berani coba-coba nyentuh sayapnya juga karena takut kepik itu kabur ketakutan. Apalagi angin kenceng bolak-balik niup tangkai-tangkai bayem Brazil. Si kepik berusaha bertahan supaya nggak jatuh atau terbang kebawa angin. Kasian kalo kepiknya sampe kebawa angin dan terempas ke tempat yang keras.

Mataku nggak bisa beranjak dari kepik oren itu. Angin akhirnya brenti bertiup. Aku lumayan lega karena keadaan udah kembali normal. Si kepik juga mulai bergerak. Mungkin tadi dia diem aja soalnya udah punya firasat bakal ada angin kenceng.

Aku sama Akira meratiin ke mana aja kepik oren itu jalan. Kami lalu nemu ada makhluk lain yang diem di bawah daun bayem Brazil. Setelah diliat lebih saksama, ternyata itu juga kepik. Ukurannya lebih kecil dari kepik tadi. Mungkin dia masih ABG atau anak-anak. Sayap luarnya warna oren. Kayaknya, sih, nimfa itu anaknya kepik oren tadi dan sangat introvert. Dia lebih suka ngumpet di ketiak daun bayem Brazil. Sekalinya muncul ke permukaan daun, dia cepat-cepat ngumpet di gulungan daun bayem brazil yang belum mekar sempurna.

Aku nggak bisa brenti ngawasin kedua kepik oren itu. Tapi dari sudut mataku, keliatan ada makhluk lain lagi ngejelajahin daun-daun bayem Brazil. Dimensinya lebih kecil lagi dari anak kepik oren. Kayaknya, sih, itu nimfa juga. Warna dia masih dominan item, tapi ada warna orennya tipis-tipis.

Beda sama kakaknya yang introvert, kepik kecil ini lincah banget. Aku meleng dikit aja dia udah pindah ke batang bayem Brazil lain, ngeksplor daunnya satu-satu. Padahal di sana ada semut-semut item yang seukuran sama dia. Malah ada yang lebih gede dikit. Tapi kepik kecil itu nggak gentar sama sekali.

Terus ibunya kayak sadar ada yang nggak beres. Dia turun ke bagian bawah salah satu daun bayem Brazil, nelusurin helainya yang keriting karena kering, dan tangkainya yang tegak kurus. Mungkin nyari-nyari anaknya yang paling kecil tadi. Sayap dalemnya sampai mau dikembangin kayak lagi siap-siap terbang. Tapi lalu ditutup lagi. Mungkin karena dia udah tau anaknya lagi ada di mana. Mungkin juga karena dia pengin ngebiarin anaknya main-main sampai agak jauh mumpung nggak ada ancaman gludug, angin, atau ujan.

Karena mau ke masjid, aku dan Akira bergegas masuk rumah buat siap-siap. Sebelum berangkat ke masjid, aku sempet nengok pot bayem Brazil yang ada kepiknya tadi. Ibu kepik masih adem ayem aja di atas daun. Anaknya yang sulung juga kerasan banget ngumpet di gulungan daun bayem Brazil. Sementara anaknya yang bungsu nggak tau lagi ada di mana.

Kami pulang malem karena ikut tarawih dulu. Nggak bisa nengokin keluarga kepik itu lagi karena langit udah gelap dan cahaya dari lampu rumah serta jalan nggak cukup buat nerangin kebun kami.

Besok paginya, aku tengok keluarga kepik oren itu. Ibu kepik udah bangun dan jalan-jalan di tangkai bayem Brazil yang sama kayak kemarin. Si sulung masih tidur di gulungan daun yang sama. Sementara si bungsu, …

Bocil ini juga lagi tidur… di tangkai yang berbeda. Apa semaleman dia begadang buat jelajahin taneman bayem brazil di pot itu?

Pekarangan rumah kami cukup luas. Hampir setiap tanemannya punya daun yang kecil-kecil. Aku nggak tau ada berapa ekor kepik di kebun kami dan tinggal di mana aja. Soalnya kepik itu sekalinya bertelur bisa sampe seribu biji. Walaupun nggak semuanya bisa menetas.

Aku cuma nemu keluarga kepik oren itu. Tanpa bapaknya. Warnanya yang cukup mencolok dan gerakan mereka yang cukup gesit bikin mereka nggak terlalu sulit ditemuin meski ukuran tubuhnya kecil banget.

Dan kayaknya mereka emang mau menetap di bayem brazil itu, deh. Sampe sore, mereka nggak pindah-pindah pot ataupun ninggalin halaman rumah kami. Total dua hari mereka numpang tinggal di halaman rumah kami. Itu yang aku tahu. Nggak tau lagi kalo mereka udah ada sebelum aku nemu mereka.

Robohnya Kemangi Kami (2)

Masih ingat taneman kemangi kami yang roboh?

Kemarin, kemangi itu mati. Waktu dia ambruk itu, akarnya juga sebetulnya tercabut. Kupikir, kalo batangnya kutegakin lagi terus kusangga pake batu, masalah selesai. Kemangi itu bakal idup lagi kayak sediakala. Ternyata nggak! Daun-daunnya jadi layu. Udah pasti akarnya nggak berfungsi, nggak bisa nyerep air dari dalem tanah.

Selain itu, banyak juga semut yang merayapi batang kemangi. Semut api, yang kalo sampe ngegigit kulit, bisa muncul sensasi gatal dan rasa panas.

Continue reading

Robohnya Kemangi Kami

Selama tiga hari berturut-turut, cuacanya nggak enak banget. Subuh-subuh udah ujan. Setelah reda, langit masih aja mendung. Lanjut ujan lagi. Mendung, ujan, mendung, ujan. Kayak gitu dari pagi sampe malem.

Sebenernya, ada enaknya juga, sih. Mendung dan ujan pas puasa bikin kita nggak haus. Tapi teuteup bikin BT kalo jemuran nggak kering dan nggak bisa pergi ke masjid buat bukber.

Ke kebun juga nggak bisa. Mau siram-siram, udah ada air gratis dari langit. Mau beresin kebun dan cabutin rumput, masa’ iya sambil ujan-ujanan?

Continue reading

Hujan Bermain dengan Tanah

Hujan itu lucu. Kadang, ia memperlihatkan dirinya dengan cara yang berbeda. Hujan menyapa tak selalu dengan menyentuh rambutmu, meski ia berasal dari langit.

Tadi siang hujan berhamburan dari awan menuju bumi. Seperti anak-anak ketika bubar sekolah dan menyerbu mama-mamanya yang menjemput di gerbang.

Sesampainya di bumi, hujan langsung bermain dengan tanah. Tanah yang kering sudah menanti hujan sejak pagi. Baginya, bermain dengan hujan sangatlah menyenangkan. Hujan membuatnya segar dan lentur. Mereka bisa bermain apa saja.

Continue reading

Umbi yang Terabaikan

Sejak awal berkebun, kami nanem singkong. Dengan keterbatasan lahan dan wawasan tentang pertanian, kami pikir nanem singkong semudah nanem bayam brazil. Tinggal tancepin batangnya ke tanah, rutin disiram dan dibiarin kena matahari, tunggu waktu panen, udah.

Tanaman singkong kami tumbuh subur sekali. Daunnya lebat banget. Sampai-sampai pernah ada seekor kucing liar yang setengah dipelihara kerabat kami, selalu berteduh di bawah pohon singkong itu.

Cuma anehnya, tiap kali umbinya dipanen, hasilnya jarang sekali memuaskan. Sering kerdil. Nggak jarang yang dimakan masih berupa akar, bukan umbi. Padahal umurnya udah cukup buat dipanen. Mungkin karena tanahnya kurang cocok. Mungkin juga karena kurang perawatan. Atau karena kami terlalu terpukau dengan daunnya yang lebat itu sampai nggak merhatiin yang di dalam tanah?

Dan bukankah kita sering kayak gitu? Lihat orang yang kayaknya hepi-hepi aja, baik-baik aja, tapi siapa yang tahu kalau dia sebetulnya nggak seperti yang kita lihat. Siapa yang tahu kalau dia sedang berjuang keras, atau sudah dan dia kehabisan tenaga bahkan untuk memperbaiki dirinya sendiri? Siapa yang tahu kalau dia ngerasa nggak nyaman dengan hidupnya tapi harus selalu tersenyum? Siapa yang tahu kalau dia nggak baik-baik aja, tapi harus berpura-pura nggak ada masalah supaya orang lain nggak khawatir sama dia?

Siapa yang tahu?