Sepatu Converse dan Kenangan Menabung

Gegara lihat gambar sepatu Converse Chuck Taylor, saya jadi ingat kalau dulu pernah punya sepatu ini.

Ceritanya, waktu kuliah saya tergolong tomboy. Males pakai baju cewek. Waktu itu saya memang lagi suka dan terpengaruh gaya Avril Lavigne dan Michelle Branch. Karena gayanya Avril terlalu “unik”, saya cuma bisa niru gaya Michelle Branch yang lebih simpel.

Dari situ, jadi kepengin, deh, punya sepatu Converse. Buat saya, sepatu itu harus banget. Pernah punya sandal gunung. Enak, sih, dipakainya. Tapi saya lebih suka sepatu. Apalagi kadang-kadang saya ikut kuliah yang dosennya mewajibkan para mahasiswanya pakai sepatu. Dan rata-rata harga sepatu saya yang enak dipakai itu lebih dari 100 ribu.

Ketika papap saya masih ada, mau apa-apa tinggal minta, langsung dibeliin. Setelah papap meninggal, mau beli apa-apa harus mikir dulu.

Harga sepatu Converse saat itu yang saya tahu adalah 150 ribu. Saya tidak tahu itu sepatu Converse asli atau bukan. Tidak tahu juga cara mengeceknya bagaimana. Bodo amat! Yang penting saya punya.

Maka, dengan semangat ’45, saya menabung. Kalau dikasih uang jajan sama kakak atau ada sisa uang saku dari mama, saya masukkan celengan. Serius, sampai selesai kuliah saya punya celengan hadiah ulang tahun ke tujuh atau delapan.

Saya lupa, berapa lama saya menabung. Ketika sudah terkumpul 150 ribu dan kebetulan ada acara jalan-jalan sama keluarga ke Bandung, saya beli, deh, si Chuck Taylor. Senang rasanya hati!

Sebetulnya kalau memang butuh, mama saya tidak keberatan membelikan saya sepatu. Dan prinsip beliau adalah beli yang bagus sekalian biar berkualitas, biar nggak sering-sering beli.

Namun saya memilih pakai jalur menabung daripada meminta. Setelah papap tiada, kami sempat kesulitan keuangan. Saya sempat kepikiran untuk bekerja, tapi tidak diizinkan. Menurut keluarga saya, lebih baik saya kuliah yang bener, sampai selesai.

Saya tetap merasa tidak enak karena belum bisa mandiri. Sebagai wujud sikap tahu diri, saya atur uang saku supaya cukup. Bahkan untuk keperluan kuliah seperti buku atau fotokopi yang sebetulnya bisa minta ke mama, saya ambil dari tabungan atau celengan.

Dan membeli sesuatu yang kita inginkan dengan pakai uang tabungan, rasanya puas banget. Karena dengan cara seperti itu, kita bisa menahan nafsu dan punya target yang jelas. Nggak pake ngutang. Apalagi kalau barang yang kita inginkan nyaman dipakainya.

Bahagianya Hidup Minimalis

“Seni Hidup Minimalis”
Pengarang: Francine Jay
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama (2018)
Tebal: 260 hlm

Satu lagi buku tentang hidup minimalis yang saya baca. Terbitnya sudah lama, tapi baru saya baca sekarang, hehe. Seni Hidup Minimalis. Buku ini memuat cara memulai hidup minimalis. Cocok bagi mereka yang baru mengenal apa itu hidup minimalis dan langkah-langkah yang harus dilakukan untuk menjadi seorang minimalis.

Continue reading

memotret hujan

Berulang kali kucoba memotret hujan. Tapi hujan tak mau dipotret. Setiap kali melihat kameraku, ia panik. Hujan turun cepat-cepat, bersembunyi di pohon, masuk ke dalam tanah, mengalir di sungai hingga samudra. Aku tak mampu mengejarnya.

Sering aku memanggil hujan, berharap ia muncul di hadapan kameraku dan berpose bak model. Dasar sombong! Hujan selalu menghindar. Dipanggilnya kilat dan petir agar aku tak mengganggunya.

Aku tak berani berbuat nekat. Kulari masuk rumah dan membiarkan hujan bermain-main di alam bersama angin.

Aku baru bisa memotret hujan ketika ia berbaring kelelahan di atas tanah. Hujan tak berkutik. Ia tak berdaya menampik kameraku. Sinar hangat matahari menguapkan keangkuhannya.

Namun, ah, hujan jadi tampak kurang estetis dengan pose seperti itu. Lain kali, aku harus memotretnya lagi