Sandal Jepit

Suka memakai sandal jepit?

Sebagai informasi, saya juga suka memakai sandal jepit. Terutama di rumah. Bahkan, kalau jalan-jalan pun maunya pakai sandal jepit. Meski kadang suka khawatir, bagaimana kalau talinya mendadak putus di jalan? Solusinya, terpaksa beli sandal jepit lagi, sih, hehe.

Banyak yang menganggap sandal jepit adalah sandal rumahan, terutama untuk dipakai ke kamar mandi. Sandal jepit tidak cocok dipakai jalan-jalan karena terkesan murahan. Padahal tidak semua sandal jepit berharga murah. Beberapa merek sandal jepit ada yang harganya hampir 50.000. Untuk ukuran kecil, kira-kira nomor 37.

Sementara sandal jepit yang murah juga banyak dijual di warung, bahkan mart-mart ternama. Yang murah meriah, apa lagi kalau bukan merek Swallow? Namun biarpun murah, kalau masih baru dan dipakai ke masjid, siap-siap saja berpisah. Tahu sendirilah, banyak cerita tentang orang yang harus pulang dengan kaki nyeker, terpaksa beli sandal baru, atau sepasang sandal jepit beda warna.

Beberapa tahun lalu, sempat ngetren sandal selingkuh, yaitu sandal jepit yang bagian kanan dan kiri berbeda warnanya. Saya sempat mengolok-olok, “pakai sandal, kok, beda-beda gitu? Nggak malu, gitu?”

Eh, waktu saya kenalan sama Sundea, tidak tahunya dia pakai sandal selingkuh dan keren-keren aja, tuh! Dea malah kelihatan PD dengan sandal biru dan kuningnya. Malah beberapa waktu kemudian dia membuat semacam giveaway. Hadiahnya? Tentu saja sepasang sandal Salamatahari. Warna kuning dan biru. Saya ikutan, dong, dan menang. Hehehe.

Selain sandal Salamatahari, sandal jepit favorit lainnya yaitu sandal jepit Nevada. Warna navy. Kedua pasang alas kaki itu saya eman-eman alias disayang banget sampai nggak rela memakainya keluar rumah. Karena, dipakai di dalam rumah pun bisa rusak. Misalnya saja ketika saya tidak sengaja menginjak kerikil yang agak besar di teras rumah, dan waktu itu saya memakai sandal Nevada. Bahannya yang dari spons langsung saja “terluka” di bagian solnya. Bolong, begitu.

Tapi setelah dipikir-pikir, buat apa juga saya beli sandal tapi dimanja? Kenapa nggak saya pakai di kepala aja, sementara saya nyeker? Nah, daripada kelihatan tidak waras, ya sudahlah, sandal-sandal itu saya pakai keluar rumah. Lagipula, kasihan juga kalau mereka cuma dikurung di dalam rumah, cuma mondar-mandir dapur-kamar.

Sejak itu, kaki saya jadi terbiasa memakai sandal jepit kalau keluar rumah. Tidak tanggung-tanggung, saya memakai sandal Nevada ke Kawah Putih, Dago, dan Lembang. Bahkan setelah saya pindah ke Surabaya, mereka saya bawa serta dan dipakai jalan-jalan juga. Sampai sandal-sandal itu rusak. Putus talinya dan bagian solnya licin.

Saya tidak lantas membeli sandal jepit baru. Saya mulai beralih ke sandal-sandal cewek nonjepit. Yang jepit pun ada, tapi tetap model cewek. Setelah tidak lagi nyaman pakai sandal cewek, saya balik lagi ke sandal jepit. Punya suami dan ukurannya kebesaran. Tapi, bodo amat! Kenyamanan tidak bisa dibatasi oleh apapun (halah!).

Sayangnya, kebersamaan kami tidak berlangsung lama seperti sandal Nevada dan Salamatahari. Sandal jepit milik suami saya itu akhirnya putus talinya. Saya kembali ke sandal cewek, lalu ganti ke sandal gunung.

Sandal gunung juga nyaman. Saya pernah punya waktu kuliah dulu. Tidak tahu kenapa, sandal-sandal cowok atau unisex selalu nyaman buat saya. Cuma karena sandal gunung itu talinya dari kain, bukan plastik, kalau kena air bisa basah cukup lama kalau tidak dijemur. Jadi saya agak tidak betah memakainya. Dan akhirnya, belilah sandal Swallow.

Yang saya kurang suka dari sandal ini adalah, alasnya yang kebetulan berwarna putih. Gampang kotor, sementara saya bukan tipe orang yang rajin mencuci sandal. Kebayang, kan, dekilnya kayak gimana? Tapi lagi-lagi saya masa bodoh. Yang penting kaki nyaman.

Ya! Sandal jepit memang selalu bikin nyaman. Talinya yang tidak ruwet membuat kaki bebas bernapas. Bahannya yang ringan membuat kaki juga ikutan ringan melangkah. Eh, kalau sandal jepit model cewek ada yang bahannya berat juga, sih. Saya pernah punya dan setiap kali dipakai jalan, pasti saya ingin menyeretnya.

Harga sandal jepit juga cukup terjangkau. Tidak heran sandal jepit bisa dijual di mana-mana dan siapapun bisa membelinya. Mungkin ini juga yang membuat sandal jepit dicap murahan. Sekalipun harganya ada yang mahal. Padahal, teman-teman mungkin pernah mengalami hal ini: sepatu jebol saat dipakai. Sandal jepit yang akhirnya menjadi penolong.

Hm, saya jadi kepikiran soal merek dan logo sandal jepit. Swallow, alias walet. Burung biasanya melambangkan kebebasan (kalau burungnya terbang). Sementara burung walet sendiri, konon sarangnya mahal. Jadi, sandal jepit Swallow berarti sandal yang memberikan kebebasan dan menghasilkan sebuah kenyamanan yang tidak ternilai harganya.

Apakah saya berlebihan?

Bagi pecinta sandal jepit, mungkin tidak.

Published by

Rie Yanti

A wife, a mom, and a writer at Warung Fiksi. Please visit this page to know me more.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.