Tak seperti bocah kebanyakan,
hujan adalah anak yang mandiri.
Setelah dilahirkan awan,
ia tidak menangis ataupun minta menyusu.
Tidak pula seperti burung
yang harus belajar terbang dan diberi makan.
Produk Akulturasi
Tahun ini, tepatnya bulan kemarin, genap 12 tahun saya tinggal di Surabaya. Biasanya kalau pulang kampung ke Cicalengka, ada yang bertanya, “betah, nggak, di sana?” Saya tidak bisa jawab “ya” atau “tidak”. Karena, di mana pun saya tinggal, ada plus dan minus yang saya rasakan karena perbedaan kultur. Apalagi Bandung dan Surabaya jauh berbeda. Satu daerah dingin, satunya daerah panas. Satu berbudaya Sunda, satunya berbudaya Jawa.
Ngomong-ngomong soal budaya, saya jadi ingin berbicara soal suku. Tidak ada maksud menjelek-jelekkan suku tertentu, sih. Saya hanya ingin berbicara tentang kehidupan saya sebagai sebuah produk akulturasi.
Hai, Hujan!
Hai, Hujan!
Mataku seketika merekah saat petrikor berbisik bahwa kau datang.
Secepat rinaimu meninggalkan awan,
aku pun bergegas meninggalkan ranjang.
Hanya untuk melihatmu mengantar basah menembus tanah.
Seperti jarum yang mengantar benang menembus kain yang membentang.
Matahari belum juga melipat kelam.
Sementara bulan teronggok pasrah dalam remang.
Cahayanya tak lagi menyentuh pekarangan.
Aku tahu, kau tak sanggup lagi menahan rindu pada kebunku.
Pada daun-daun yang risau akan layu,
pada bunga-bunga yang tak sabar memberi warna dan wangi tubuh mereka untukmu.
Percikmu adalah kelakar yang mereka tunggu
setelah tanah yang mereka diami diempas tandus.
Ah, apalah artinya kebun tanpamu?
Ada kehidupan yang kau antar dalam setiap tetesmu.
Ditampung oleh bunga-bunga yang mekar,
yang kemudian mereka teruskan kepada akar.
Semoga tak ada luka dalam setiap rintik yang kaujatuhkan.
Sebab jika ada, maka perihmu akan menjadi lara bagi semua insan.
Selamat datang kembali di bumi.
Selamat menari bersama angin.
Dan selamat bernyanyi kembali di atas genting.
Kacamata
Ada kacamata berbingkai hitam tipis di atas meja.
Entah milik siapa.
Sudah setengah jam aku duduk di ruangan ini.
Tidak seorang pun mengambil kacamata itu.
Semua orang sibuk memperhatikan layar ponsel masing-masing.
Semuanya tidak memakai kacamata dan tidak ada yang peduli dengan kacamata di atas meja.
Kecuali aku yang bosan menatap gawai hingga kedua mataku akhirnya tertuju pada kacamata di atas meja itu.
Awalnya kubiarkan saja kacamata itu.
Bukan urusanku itu kacamata milik siapa dan kenapa bisa ada di sana tanpa ada yang mengambilnya.
Lama-lama aku jadi resah.
Siapa pemilik kacamata itu?
Kenapa ia meninggalkannya di sana?
Kenapa ia tidak kunjung mengambilnya?
Apakah itu kacamata mainan sehingga tidak berharga?
Apakah kacamata itu milik seorang kakek yang sudah pikun?
Mungkin tadi ia duduk di ruangan ini, menunggu giliran diperiksa dokter.
Sambil menunggu, ia membaca koran dan memakai kacamata itu.
Ketika dipanggil dokter, kacamatanya ia lepas dan letakkan di atas meja.
Lalu, setelah dokter mendiagnosis penyakitnya apa, kakek itu langsung pulang, lupa kalau kacamatanya tadi ia letakkan di atas meja.
Mungkin begitu asal-usul bagaimana kacamata itu bisa ada di atas meja.
Satu per satu pasien di ruangan ini masuk ruang praktik dokter.
Keluar-keluar, tidak ada satu pun dari mereka yang mengambil kacamata itu.
Hingga tibalah aku bersama kacamata itu di ruangan ini.
Aku pun bertanya padanya, “Wahai, kacamata, siapa pemilikmu?”
Kacamata itu hanya menatapku, tapi tidak menjawab pertanyaanku.
Kami akhirnya berpandangan dan diam.
Aku tak lagi bertanya karena percuma.
Kacamata itu tak punya telinga.
Lalu, tibalah giliranku yang diperiksa dokter.
Kukatakan padanya kalau migrenku semakin sering kambuh.
Aku tidak mengharapkan nasihat darinya.
Aku hanya mengharapkan resep obat.
Stok obat di rumahku tinggal satu biji.
Aku perlu stok yang agak banyak, buat jaga-jaga kalau-kalau migrenku kambuh dan kambuh lagi.
Minimal, aku punya resep obatnya.
“Perbanyak istirahat. Tenangkan pikiran. Kalau emosi, tarik napas dalam-dalam dan hembuskan perlahan. Cobalah belajar meditasi dan pasrah menghadapi segala sesuatu yang terjadi dalam hidup Anda,” kata dokter sambil menuliskan resep obat.
Aku mengangguk saja.
Ketimbang harus mendengarkan ceramah dokter yang lebih panjang lagi.
“Kalau dalam satu bulan ini migrennya masih sering kambuh, coba periksa mata Anda. Barangkali ada masalah dan Anda harus memakai kacamata,” lanjut dokter.
Hah? Pakai kacamata?
Aku jadi ingat kacamata di ruang tunggu sana.
Apakah kacamata itu masih ada di atas meja?
Ternyata, sekeluar dari ruangan dokter, kacamata itu sudah tidak ada di atas meja.
Juga di atas kursi, di tumpukan majalah dan koran.
Mungkin saja ada yang membereskan ruang tunggu ini dan memindahkan kacamata tersebut dengan tujuan agar tidak pecah atau rusak.
Tapi di mana-mana kacamata itu tidak ada.
Aku semakin gelisah.
Apalagi tidak ada orang di ruang tunggu ini.
Aku adalah pasien terakhir.
Tidak ada yang bisa ditanyai perihal kacamata itu.
Apakah benar kacamata itu milik seorang kakek yang pikun dan saat aku diperiksa dokter, ia kembali untuk mengambil kacamata itu?
Bisa saja, kan, ketika di apotek kakek itu mendadak ingat kacamatanya ketinggalan di sini.
Atau mungkin ada pencuri yang mengambil kacamata itu?
Tapi di gerbang ada satpam.
Mustahil rasanya si pencuri bisa masuk dan…
Apakah kacamata itu begitu berharga sampai-sampai ada seorang pencuri yang berani mengambilnya?
Ah, beginilah kalau dokter praktik hanya diasisteni mesin.
Nomor antrean dicetak mesin.
Yang memanggil pasien juga mesin.
Tidak ada saksi.
Kecuali CCTV.
Mungkin aku seharusnya memeriksa CCTV demi mencari tahu siapa yang sudah mengambil kacamata itu?
Namun…
Aduuuh!
Migrenku kambuh lagi.
Aku tidak bisa lebih lama lagi di sini.
Aku harus pulang dan berbaring dan minum obat.
Sementara kacamata itu masih saja terngiang-ngiang di kepalaku.
Aku meninggalkan klinik dengan membawa tanda tanya besar.
Di mana kacamata itu sekarang?
Leher dan kepala sebelah kiriku terus berdenyut-denyut.
Rasanya tidak tahan lagi.
“Mari, Pak,” pamitku pada pak satpam.
Memotret Hujan (2)
Aku tak pernah menyerah memotret hujan. Selalu kucari cara untuk bisa memiliki fotonya yang estetis. Kemarau panjang kadang menghantam tanpa ampun. Banyak bunga yang mati karena layu.
Aku tak mau mati karena merindu. Tekadku sudah bulat. Sebelum musim hujan berakhir, aku harus sudah memiliki potretnya.
Aku harus memotret hujan!