Wasiat

Kau tahu, kenapa aku punya halaman yang luas?

Supaya kau tak perlu repot-repot mencari makam untuk mengubur jasadku
Galilah tanah di bawah pohon kamboja yang telah kutanam sejak lama
Biarkan lembar-lembar mahkotanya berjatuhan dan berserakan di atas pusaraku
agar kau tak mesti repot-repot memetik mawar atau bunga lain
Biarkan aromanya semerbak meski tak seharum melati

Kuburkan juga bersamaku puisi-puisi yang telah kutulis
agar kau tak perlu komat-kamit membacakan doa untukku
Aku telah memilih doa mana yang kubutuhkan,
yang kutulis bersama puisi-puisiku itu

Dan pasangkan nisan bertuliskan:
“Di sini beristirahat dengan tenang,
seorang pujangga yang mencintai rumput.”
Dan biarkan rumput-rumput tumbuh liar di sekeliling kuburku
agar mereka menemaniku
sehingga kau tak perlu sering-sering berziarah dan berpikir
bahwa aku kesepian di dalam tanah

Bulan Baru

Bulan habis bertandang ke rumah senja
Parasnya berkilau seperti kencana
Meski wujudnya bukan purnama
Malam ini, bulan jadi primadona

Tapi badannya bau matahari
Bulan tak bisa mandi
Dia juga belum sikat gigi
Awan-awan kering sebab hujan diserap pelangi

Lawan!

Subuh tadi ujan nanggung. Nggak gerimis, nggak deres. Mataharinya males-malesan bangun dan ngelipet awan.

Apa ini pertanda nggak enak?

Nggak tahu dan mudah-mudahan nggak. Sampe rada siangan, langit masih rada mendung. Tapi nggak berarti aku dan paksu juga males ke TPS. Gimana-gimana juga Pemilu kali ini punya tujuan yang jelas: menyelamatkan negara.

Kami bukan sok pahlawan. Tapi sebagai rakyat, apa lagi yang bisa kami lakukan untuk negara tercinta ini selain memilih 01 atau 03? Malah tadi aku lihat yang biasanya golput, jadi ngasih suara. Berarti emang ada yang nggak beres di negeri ini.

Continue reading

Kepik

Bagaimana kalau kepik itu sisa hujan yang tertinggal di daun basil? Kena gincu saat tadi pagi bibirku mencium daunnya sebelum lebah-lebah datang. Lalu terciprat air kubangan saat sepeda melintas jalan. Kau tidak akan menemukannya dengan mudah karena kepik itu bersembunyi di rimbun dedaunan, dan terbang saat kau berusaha menyentuhnya dengan ujung jarimu.

Hal-hal kecil seperti kepik tak pernah luput dari mataku. Semakin kecil, semakin aku tertarik. Walaupun itu remeh dan receh. Seperti puisi pendek yang kutulis di struk belanjaan minimarket. Yang kuselipkan ke dalam dompet dan kubawa ke mana-mana.

Continue reading

Siklus

Pada daun yang terbaring di atas tanah,
tersirat kerinduan akan pohon yang telah ia besarkan,
dan akar yang memberinya hidup,
juga kuntum-kuntum sekar dan butir-butir buah yang pernah ia asuh dengan asih,
ulat yang hampir menggerogoti helainya,
dan burung yang meninggalkan kotoran di permukaannya.
Menanti daun itu pada binasa yang disebab api,
atau remuk tergerus sepasang sepatu,
hingga menjadi serbuk yang hujan leburkan dengan tanah.

Pada risalah yang terbakar
dan menjadi silalatu yang dihembus angin,
terpercik kerinduan akan kata-kata yang telah ia beri makna,
juga tinta yang menjadikannya bernyawa,
dan tafsir-tafsir tentang gulana yang menembus tingkap ilusi.
Berharap risalah itu pada ingatan untuk mengabadikan patinya,
menjadikannya kitab yang diselami sepanjang masa.

Continue reading