Between summer and winter, the trees sway,
Shedding red leaves, burnt after playing with fire.
The sun begins to shine lazily,
Rising late and setting early.
The afternoon slips by,
As if morning is greeted only by night.
And the trees, abandoned by their leaves, grow lonely,
Pierce the clouds with their sharp branches until they feel pain.
The rain falls in fits and starts,
Revealing the pain without wanting to seem weak,
Bringing a chill in the air.
Each drop’s biting through the skin,
Bringing cold all winter long.
Kuharap Dandelion Tak Pernah Melupakanku
Aku berharap dandelion tak pernah melupakanku. Aku yang menunggu mereka berbunga dan berubah warna jadi kuning, menahan mereka supaya bergeming saat diajak angin untuk mengembara di udara.
Tapi perpisahan itu datang juga. Waktuku bersama mereka telah usai. Dan angin melepaskan benih mereka satu per satu dari tunasnya. Mereka terbang berbaris, meliuk-liuk laksana rangkaian kereta api menelusuri sawah dan ladang.
Tak ada yang dapat membawa mereka kembali ke padang ini. Bahkan seekor semut yang ikut bersama mereka, memeluk benihnya seperti terbang mengenakan payung, memilih untuk terjun.
Aku berharap dandelion tak pernah melupakanku. Telah kusertakan kebahagiaanku dalam jiwa mereka. Kebahagiaan yang muncul saat kami duduk bersama, merasakan gerimis di antara dingin yang tak dapat dielak, merasakan hangatnya matahari di antara terik yang menyengat.
Aku berharap ini bukan perpisahan. Kami hanya menempuh perjalanan yang berbeda. Dan ingatan akan membawa kami pada pertemuan yang baru.
The Real Sadness
Dear rose,
every flower in this world has its own beauty,
and butterflies have their reasons to love you or not.
If one day you lose the butterfly you love
simply because you have thorns and
he thinks it will rip his wings out,
don’t ask him to return.
You don’t need to be sad.
That’s not your sadness.
It’s the sadness of the butterfly that
ignored the flower who loved him.
Keep blooming, for you are happy in loving.
Sepucuk Surat untuk Matahari Pagi
Selamat pagi, matahari pagi tersayang,
yang malu-malu menemui bumi dari celah bukit.
Sepertinya dunia akan sama seperti kemarin.
Bunga-bunga mekar dan layu,
ulat-ulat bermetamorfosa dan hijrah,
semut-semut berbaris dan
saling mengendus satu sama lain.
Terima kasih untuk tadi malam,
untuk menyinari bulan sehingga
tampak jelas di langit gelap.
Mimpimu membuatnya mempesona
dan tak ada yang mengalahkan kecantikannya.
Bahkan bintang-bintang lain hanya mampu menitik.
Noktah-noktah yang tak sebanding
dengan luasnya angkasa.
Terima kasih untuk sudi kembali bersinar
sampai nanti petang.
Walau mungkin awan menurunkan hujan
dan pelitamu membeku,
atau cahayamu dibelokkan hingga menjadi pelangi.
Orang-orang bisa berkata apa saja tentangmu
Yang mungkin membuatmu terbenam lebih cepat.
Tetapi tugasmu adalah berpijar,
bukan menanggapi kata-kata mereka.
Jadi, bersinarlah.
Terlihat atau tidak,
terik atau lemah,
siang atau malam.
Menyiram Rumput
Musim kemarau berlangsung lama banget. Kebunku hampir mati kekeringan. Kemangi nggak berbunga lagi, lebah-lebah keilangan tempat main, daun kangkung kecokelatan dan keriting.
Gimana kabarnya jahe, kencur, dan kunyit di dalem tanah? Daun mereka layu. Setelah kugali… Ternyata mereka mengerut dan suwung. Sementara di sekitar mereka rumput-rumput menari-nari sama angin, kayak mereguk semua nutrisi yang aku kasih untuk taneman-tanemanku sampe abis.
Tapi, aku nggak mau nyerah. Kebunku juga nggak boleh nyerah. Air sumur terus berkurang, tali timba kupanjangkan biar bisa ngejangkau dangkal.
Kusiram semua tanemanku tiap hari. Dua kali dalam sehari: pagi buat bekel mereka ngadepin terik matahari siang, dan sore buat ngelepas dahaga biar mereka bisa tidur nyenyak di malem hari.
Tapi dari hari ke hari, kebunku tetep gersang. Ke mana ijo daun-daun? Ke mana merah bunga-bunga? Semuanya berubah jadi kuning dan cokelat. Semuanya berguguran seolah-olah mereka pulang ke tanah tempat mereka berasal.
Sementara rumput-rumput tetep tumbuh dan menari sama angin. Makhluk apa mereka itu? Nggak ringkih di bawah sengat sang surya?
Aku baru sadar. Kayaknya selama ini aku nggak nyiram tanemanku.
Selama ini, aku nyiram rumput.