Biarkan Laut Berbaring dengan Tenang

Biarkan laut berbaring dengan tenang
Cukuplah ombak yang membuatnya bergejolak
Sebab laut bukanlah milik segelintir orang
Laut adalah milik kita semua

Biarkan ikan-ikan berenang di laut
Biarkan karang tumbuh di dasarnya
Biarkan perahu-perahu berlayar di permukaannya
Dan biarkan nelayan-nelayan menjemput kemujuran mereka

Setiap kita punya tempat sendiri-sendiri
Tak perlu merampas laut dan menjadikannya istana
Ketamakanmu sementara
Perihnya laut selamanya

Biarkan laut berbaring dengan tenang
Lepaskan deretan bambu yang melukainya
Dan jika kau masih mengapung di atas bahtera ambisi,
tunggu saja!
Gelora samudra akan menenggelamkanmu

The Bright Side of The Moon

Waktu gulir-gulir IG, nemu tulisan ini. Tentang gerhana bulan pertengahan 2021 lalu. Tulisannya aku revisi dikit.

***

Berdasarkan info dari mana-mana, malem ini ada gerhana bulan total yang bisa diliat di Indonesia. Super blood moon. Namanya nyeremin, tapi bikin penasaran kayak film thriller.

Dari sore aku udah siap-siap bareng suami dan anak-anak buat nonton gerhana. Langitnya masih biru. Matahari belum tenggelam sepenuhnya ke cakrawala. Bulannya juga belum keliatan. Di sebelah rumah kami ada rumah berlantai tiga punya tetangga. Bangunannya itu ngalangin pemandangan ke ufuk timur. Tapi kupikir nggak bakalan sampe ngeganggu kami yang mau liat gerhana. Soalnya, puncak gerhanana bakal terjadi lewat magrib, kira-kira pukul enam lebih. Jam segitu bulan kayaknya udah tinggi. Udah bisa kami liat dari tempat jemuran di atap.

Abis makan malam sekitar pukul 18.20, aku cek ke atas. Langitnya udah gelap. Tapi di langit cuma ada beberapa bintang. Bulannya nggak ada secuil pun. Apa sekarang udah puncak gerhana? tanyaku waktu itu. Tapi, masa’ secepat itu?

Aku coba cek dari halaman depan rumah. Nggak ada juga bulannya. Malah langitnya yang rada sebelah timur tambah nggak keliatan gegara bangunan rumah milik tetangga.

Kami sempet pasrah. Kayaknya kami harus ngelewatin gerhana bulan total kali ini, deh. Nggak apa-apa, sih. Abis gerhana, kan, bulannya purnama kayak biasanya. Idup bakal jalan terus.

Tapi, gimana-gimana juga kami penasaran dengan sisi gelap bulan. Akhirnya, selesai salat isya dan ngaji, suami ngecek ke atas. Ternyata…

… udah selesai, dong, puncak gerhananya! Bulannya udah ngelewatin fase sabit, mau balik lagi jadi purnama. Warnanya juga nggak merah, tapi putih kayak biasa. Ah!

Nggak tau kapan bakal ada gerhana bulan lagi. Baik yang total atau sebagian. Warna merah darah atau warna lain. Ada pun, belum tentu bisa diliat dari Indonesia, khususnya Surabaya.

Tapi, apa cuma gara-gara kelewat waktu puncak gerhana itu peristiwa gerhana bulan jadi nggak berarti apa-apa? Apa kalo nggak liat sisi gelap bulan, idup jadi berasa nggak sempurna?

Kalo dipikir-pikir, sebenernya nggak bisa nyaksiin gerhana itu patut disyukuri juga. Gerhana bulan total itu, kan, bikin kita jadi nggak bisa liat terangnya bulan yang cantik. Satu-satunya cahaya di malam hari jadi ketutup sama bayangan bumi dan buat beberapa orang, itu mungkin peristiwa yang sangat menakutkan.

Nah, dengan melewatkan (atau kelewatan) gerhana bulan total, kita nggak harus ngelaluin fase menakutkan kayak gitu. Kita selalu liat bulan dengan sisi terangnya.

Have you ever seen the dark side of the moon?

I haven’t, and I think I should be grateful for that,

because the moon always shows me its bright side.

Taun Uler

Imlek. Taun uler.

Tiba-tiba aku inget game di hp Nokia yang aku punya taun 2002 lalu. Hadiah ultah terakhir dari papap. Nama game-nya nggak tau apa. Pokoknya tentang uler yang dikasih makan. Tiap kali ulernya makan, tubuhnya memanjang. Kalo makannya banyak dan kepalanya nggak nubruk ekornya, permainan bisa lanjut sampe game over.

Tiba-tiba lagi, aku inget naskah novel yang aku tulis sejak akhir 2023 lalu. Sampe sekarang belum selesai. Selain karena aku masih belum nentuin ending-nya kayak gimana, juga karena sewaktu-waktu ada penambahan ide cerita buat diselipin di sana-sini. Panjang naskahnya sejauh ini masih belum memenuhi persyaratan buat dikirim ke penerbit. Namanya juga belum selesai. Tapi, segitu aja udah bikin aku lumayan bangga. Ternyata napasku panjang juga sampe bisa nulis naskah sebanyak itu.

Continue reading

Let It Flow, Rie

Aku mencari bulan
Di antara kawanan awan
Sudah bosan aku dengan hujan
Atap bocor, jalan banjir, tanah kebasahan

Udah seminggu lebih aku nggak mood nulis. Masih bagus bisa lahir sebiji puisi yang kutaruh di PPP beberapa hari yang lalu, dan sebatang curhatan soal rabun dan jarak. Selain itu, nggak ada. Bahkan mau baca-baca platform aja kayaknya perlu effort yang full. Lagi serba males, nih.

Aku coba paksain buat move on. Buka-buka medsos, blog sendiri dan blog temen. Tapi kalo lagi nggak mood parah kayak gini, sih, apapun yang dibaca kayaknya nggak bisa masuk kepala. Yang ada malah jantung debar-debar nggak stabil, emosian, mager…

Sebenernya nggak ada yang nuntut aku nyelesein tulisan apapun secepatnya. Beberapa hari ini untungnya lagi longgar. Tapi nggak produktif itu nggak enak banget. Energi kekuras, tapi nggak banyak karya yang dihasilkan. Lebih banyak corat-coret laptop sama hp aja.

Di atas itu ada puisi cuma satu bait aja. Nggak tau bakalan ada lanjutannya atau nggak. Ide ada di mana-mana. Tapi ngembangin idenya itu yang nggak gampang. Kadang, aku bisa lancar nulis tanpa rencana. Ngalir gitu aja. Hasilnya bisa lebih cepet dan lebih bagus daripada yang direncanain. Nggak tau kenapa.

Mungkin gitu, ya, biarin segala sesuatu terjadi dan kita ikutin aja arahnya ke mana. Kadang kalo direncanain, kitanya terlalu fokus ke tujuan dan nggak nikmatin perjalanannya.

Tiba-tiba, aku inget lagunya TLC:

Don’t go chasin’ waterfalls
Please stick to the rivers and the lakes that you’re used to

So, let it flow, Rie…

Hujan, Seperti Puisi

Hujan yang tak pernah turun
di musim penghujan,
seperti puisiku buatmu
Terbelenggu mendungnya mega
yang enggan memberi celah
untuk jatuh ke tanah

Hujan yang turun diam-diam,
seperti puisiku buatmu
Menyebut namamu pelan-pelan
lalu menyembunyikannya
dalam rona kembang

Hujan yang turun dengan deras,
seperti puisiku buatmu
Mencurahkan semua rindu tanpa ragu
Menumbuhkan semua rumput
tanpa kendali

Hujan yang menjadi genangan,
seperti puisiku buatmu
yang menunggu kaubaca
Tetapi lantas lenyap diserap tanah
tanpa sisa