Ketika Bulan Tak Menjadi Puisi

Bulan menyungging senyum di atas sana
Berharap hening menambah pesonanya
Seperti malam-malam sebelumnya,
ia menunggu dipuja
Menanti penyair-penyair menuliskan namanya

Namun jalan-jalan masih gaduh
Suara-suara mengoyak sunyi
Klakson dan deru mengalah
Manusia menggemakan keadilan

Dan gaduh itu menjelma ricuh
Saat sekuntum mawar yang tangkainya
belum mampu berdiri tegak,
gugur kelopaknya
tersebab angin yang enggan dibendung
dan takut serbuan debu musim kemarau
yang kering dan hampa sebab telah dirampas patinya

Lalu, berbatang-batang lilin dinyalakan
Mengenang mawar yang belum mekar sempurna itu,
namun harus kembali menjadi tanah

Malam itu dan malam-malam berikutnya,
Semua mata terpaku pada jalan itu
Kepala terlalu berat untuk mendongak
Dan penyair-penyair tak lagi sanggup
membayangkan wajah bulan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.