Pagar Laut untuk Tuan

Agaknya, darah nenek moyang
tak mengalir dalam diri Tuan
Tuan tak berniat jadi pelaut
dan mengarungi luas samudra
Tuan takut menerjang ombak
dan enggan menempuh badai

Tuan tak paham nikmatnya berlayar
Angin bertiup, Tuan meringkuk
Ombak berdebur, Tuan mendengkur

Tuan bukanlah seorang pemberani
Tuan hanyalah seorang pemimpi
Berambisi membangun rumah di atas laut
Dengan muslihat yang Tuan rajut

Kami tahu, pagar itu sengaja dipancang
agar ombak tak lagi menerjang mimpi Tuan
Tetapi jangan lupa, Tuan
Kami ini jutaan
Melebihi bilah bambu yang Tuan tancapkan
Kami sanggup mencabut satu per satu
dan menghempaskannya ke tepi

Jangan khawatir, Tuan
Bambu-bambu itu akan kami susun,
mengitari istana Tuan, mengurung Tuan di dalamnya
Sebab laut, Tuan, tak akan diam
Ia menelan segala yang tak seharusnya berdiri di atasnya

Biarkan Laut Berbaring dengan Tenang

Biarkan laut berbaring dengan tenang
Cukuplah ombak yang membuatnya bergejolak
Sebab laut bukanlah milik segelintir orang
Laut adalah milik kita semua

Biarkan ikan-ikan berenang di laut
Biarkan karang tumbuh di dasarnya
Biarkan perahu-perahu berlayar di permukaannya
Dan biarkan nelayan-nelayan menjemput kemujuran mereka

Setiap kita punya tempat sendiri-sendiri
Tak perlu merampas laut dan menjadikannya istana
Ketamakanmu sementara
Perihnya laut selamanya

Biarkan laut berbaring dengan tenang
Lepaskan deretan bambu yang melukainya
Dan jika kau masih mengapung di atas bahtera ambisi,
tunggu saja!
Gelora samudra akan menenggelamkanmu

Hujan, Seperti Puisi

Hujan yang tak pernah turun
di musim penghujan,
seperti puisiku buatmu
Terbelenggu mendungnya mega
yang enggan memberi celah
untuk jatuh ke tanah

Hujan yang turun diam-diam,
seperti puisiku buatmu
Menyebut namamu pelan-pelan
lalu menyembunyikannya
dalam rona kembang

Hujan yang turun dengan deras,
seperti puisiku buatmu
Mencurahkan semua rindu tanpa ragu
Menumbuhkan semua rumput
tanpa kendali

Hujan yang menjadi genangan,
seperti puisiku buatmu
yang menunggu kaubaca
Tetapi lantas lenyap diserap tanah
tanpa sisa

Secangkir Malam di Pagi Hari

Malam mencair
ke dalam cangkir
dijerang matahari pagi

Uap hangat meliuk-liuk
bergegas ke angkasa
menjelma gugusan awan

Waktu mengaduk
Denting berdetak
diiringi pusaran buih

Manis menyisip getir
Bulan dan gemintang larut
dalam pekat jelaga

Ampas menetap
menunggu senja
membasuh jejak

Hujan Kerasan di Rumahku

Subuh-subuh hujan mengetuk atap rumahku
Meluncur ke jendela
Mengintipku dari lubang ventilasi
Sebab tak kusambut hadirnya

Hujan terlampau lihai untuk kuabaikan
Ia menemukan celah di antara genting yang bergeser
Semalam seekor kucing terpeleset di atap
Mengejar tikus demi terus bertahan hidup

Hujan menetes dari plafon tua
Jatuh ke lantai, mengalir menelusuri garis-garis nat
Berusaha mencari kaki telanjangku
yang kusembunyikan di dalam selimut
Lalu menyebar jadi genangan
Memantulkan bayangan atap tempatnya masuk

Hujan menghambur hingga ke bawah sandal jepit
Bertutur tentang apa yang dilihatnya
saat masih dikandung awan

Hujan berbunyi kian keras
Menimpa cerita demi cerita
Tak juga berhenti ia berkisah
meski angin di luar mencarinya
dan petir memanggilnya pulang

Hujan kerasan di rumahku
Ubin menjaga dinginnya
Dan aku tak tahu kapan ia berhenti berkisah