Sore tadi, aku menemukan seekor kupu-kupu mati di pinggir jalan. Sayapnya masih utuh, seakan memperlihatkan keinginan yang belum terwujud. Tak ada yang berani mengoyaknya. Sebuah keheningan yang menyertai kepergiannya.
Pernahkah kupu-kupu itu berpikir tentang hari ini? Saat sayapnya terbentang, tetapi tak lagi memeluk angin. Saat ia memandang langit, tetapi tak mampu lagi menyentuhnya. Langit yang dulu memberinya keberanian untuk terbang tinggi, yang kini hanya menjadi saksi kematiannya.
Tanah yang menadahi kupu-kupu itu mengantarku ke masa silam, ketika ia masih berupa ulat yang merayap perlahan di atas dedaunan.
Pernahkah seekor ulat membayangkan sayapnya kelak? Itukah yang memberinya alasan untuk terus hidup? Menggerogoti daun-daun hingga pohon meranggas, dan bersembunyi ketika bayang-bayang burung menghalau pelita matahari.
Siapa yang tahu, mungkin ulat juga punya Impian. Untuk memiliki sayap yang elok, yang bisa menarik perhatian kupu-kupu lain. Impian untuk terbang mengelilingi dunia yang ia tidak pernah tahu sebelumnya.
Mungkinkah ulat pernah meminta kepada Tuhan untuk memberinya warna dan pola yang indah di sayapnya? Tapi siapa yang menentukan warna untuk sayapnya itu?
Sudahkah kupu-kupu yang mati itu menuntaskan mimpinya? Atau ia meninggalkan dunia ini dengan sejumput pertanyaan yang tak pernah terjawab? Mungkin ia bermimpi terbang lebih tinggi hingga sayapnya berkedip di antara bintang-bintang?
Belum sempat aku meresapi semua itu, tukang sapu datang, menyeret jasadnya ke dalam gerobak sampah dengan begitu gegas dan tegas.