Raindrops Keep Fallin’ On The Earth

Salah satu tulisan favorit yang dimuat di Tobucil, 16 November 2008. Tulisannya udah diedit di beberapa bagian buat disesuaikan sama gaya penulisanku di blog ini.
***
Ada sebuah pertanyaan filosofis yang aku kutip dapat dari Dunia Sophie-nya Jostein Gaarder: mengapa hujan turun? Sebelum aku beranjak ke bab ‘Aristoteles’, aku udah tau jawabannya yang nggak kalah filosofis: supaya aku punya kerjaan daripada tidur melulu.

Ya. Musim ujan datang lagi. Ujan turun terus tiap hari. Aku mulai sibuk. Tiap pagi, aku harus nyempetin nyabut rumput-rumput liar di halaman rumah. Minimal setengah jam aku jongkok dan nyabutin nyawa rumput-rumput liar itu. Soalnya kalau nggak dicabuti, rumahku jadi keliatan kayak rumah nggak berpenghuni.

Sialnya, ada beberapa rumput (yang aku nggak tau namanya) yang sulit kucabut sampe akarnya. Jadinya, nggak sampe seminggu rumput-rumput itu tumbuh lagi. Diguyur ujan bukannya bikin mereka segan unjuk gigi, kayak aku yang kalo ujan turun suka males keluar rumah.

Rumput-rumput itu bandel, berani, nyalinya nggak ciut oleh senjata apapun. Kadang-kadang, aku ngerasa sia-sia bawa arit, cangkul, gunting rumput, dan golok ke hadapan mereka. Mereka tetep berdiri tegak. Sekalinya perkakas-perkakas itu mutusin urat nadi mereka, mereka cuma mati suri. Heran! Udah gitu mereka berani nongol di celah-celah batu dan paving block.

Mungkin kalo dihantam beton, baru mereka mati beneran. Tapi ada juga rumput-rumput yang aku tau namanya dan enggan aku bunuh. Soalnya rumput-rumput itu ada manfaatnya. Sebut aja: alang-alang, tempuyung, semanggi gunung, patikan kebo, dan bayam duri. Aku tau nama-nama terna itu dari salah satu bukunya Hembing tentang ramuan tradisional untuk pengobatan darah tinggi.

Tadinya aku mau biarin aja rumput-rumput yang berguna itu tumbuh. Siapa tau ada yang perlu untuk obat. Tapi kalo dibiarin terus, gimana jadinya halaman rumahku? Kebandelan mereka bikin aku kesel. Kayaknya percuma aja aku luangin waktu di tengah kesibukanku tidur seharian buat bersihin halaman, nggak ada rerumputan liar. Baru beberapa hari abis dicabut, mereka tumbuh lagi. Nggak peduli pinggangku kena encok atau tanganku luka-luka kegores perkakas demi ngelenyapin mereka dari muka bumi.

Akhirnya aku biarin aja mereka nikmatin musim ujan ini. Sementara aku liatin mereka nari, dengerin mereka ngoceh tentang merdunya bunyi ujan di atas genting, dan lihat mereka tumbuh tinggi dan subur!

Jujur, nih, aku iri sama mereka. Mereka tumbuh dengan bebas. Dieksekusi tukang kebun nggak bikin mereka mati. Mereka bisa idup lagi dalam hitungan hari. Kalau tanah tempat mereka bercokol ditutup adukan semen, mereka bisa nyari tempat lain buat unjuk diri. Malah, kayak yang aku bilang tadi, mereka bisa muncul dari celah-celah batu dan paving block.

Mereka juga nikmatin alam dengan leluasa. Terangnya siang, gelapnya malam, teriknya matahari, deresnya ujan, mereka lewatin tanpa keluh kesah seolah mampu nerima idup apa adanya. Anjing menggonggong kafilah tetap berlalu. Mungkin itu peribahasa yang tepat buat mereka.

Sebaliknya, peribahasa itu amat sangat nggak cocok buatku. Kalo matahari lagi bersinar garang, aku nggak tahan buat berteduh. Soalnya kalau aku kepanggang di bawah sengatan matahari, selain bikin kulit gosong, migrenku juga bisa kumat.

Gitu juga kalo ujan. Lima sampe sepuluh menit pertama aku bisa tahan. Sepuluh menit berikutnya juga masih oke. Lebih dari itu, bayar tarif parkir, eh, kudu siap-siap kena semprot bersinku. Padahal aku pedestrian. Pernah jalan kaki dari Natuna ke Gramedia Merdeka (naik angkot tanggung, soalnya deket), dari Kalam Dago ke Dipati Ukur, dari Diponegoro ke Pagergunung, dari Palasari ke Unla, dan sering ikut jalan santai di kampungku. Tapi kalo musim hujan gini, males. Musti rajin-rajin berteduh. Kalau lagi panas, sih, aku masih bisa pake topi yang kubeli waktu kuliah dulu.

Sebagai manusia, aku bisa sakit. Tapi, gimana rumput-rumput itu? Pernah, nggak, sih, mereka sakit? Dan gimana mereka kalau sedang sakit? Kenapa ada dokter buat manusia dengan spesialisasi penyakit yang berbeda-beda dan ada dokter hewan, tapi nggak ada dokter tumbuhan?

Tapi kayaknya rumput-rumput itu sehat-sehat aja, tuh. Ujan sederes apapun mereka terima dengan senang hati. Aku juga senang, sih, jadi nggak usah repot nyiram koleksi tanaman hias di halaman rumahku.

Waktu tulis cerita ini, langit mendung. Ujan bakal turun, deh. Aku nggak punya rencana pergi ke mana-mana, jadi selama ujan nanti aku baklan berdiri di balik jendela aja, mandangin halaman rumah yang dipenuhin rumputan liar sekaligus nyibak tirai ujan karena aku yakin, di dalem hujan ada pesan yang mau disampein langit.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.