Ketika Kemangi Kami Tinggal Satu

Sedih banget waktu kami harus ngaku kalo kemangi yang kami punya tinggal satu. Ada satu lagi yang masih batita, tapi di ambang sekarat. Satu-satunya kemangi yang kami punya, ya, tinggal satu. Itu pun saking emannya kami sama dia, nggak pernah dipetiki daunnya. Cuma disiram-siram tiap hari biar tumbuh lebat kayak orang tua dan sodara-sodaranya yang udah nggak ada.

Kami pernah beberapa kali nyemai batang kemangi dari kemangi yang tersisa itu. Tapi gagal melulu. Baru direndem beberapa hari, mati. Yang terakhir setelah direndem keluar akar. Tapi mungkin karena terlalu kecil, dari batang yang masih bayi, begitu ditanem kemangi itu mati tiga hari kemudian.

Di pasar banyak yang jual kemangi. Tapi kami nggak nyoba menyemai lagi karena batangnya udah nggak seger karena udah kelamaan dipotongnya. Satu-satunya cara buat nanem lagi cuma dengan motong dahan dari kemangi yang ada, atau beli benihnya. Kami nggak nyoba opsi kedua. Pengalaman nanem cabe dari benihnya (biji), gagal. Kemampuan kami kayaknya sebatas nyetek aja.

Continue reading

The Lost Words

I cook for dinner:
a pot of soup and chicken drumsticks.
The salt sinks to the bottom of the pot,
and the chicken turns brown.
The aroma of both fills the air.
But my mind wanders to the sunset
spilling purple on the horizon.
So many words to describe
how the sky changes because of the sun.
I want to run to my papers
and reach my pen.
Only to document the scene.
But wait!
I can’t leave the kitchen.
The vegetables will soften
and these chicken drumsticks will burn.
Like the sky, left behind by the sun.

I take a shower.
The puff foams like a mouth
uttering many words.
Water sprays from the tap.
And I think of the rain,
soft drops sliding down the window.
So many words to describe
how the world is conquered by water’s touch.
I want to run to my papers
and reach my pen.
But my hands are still covered in soap.
I must finish scrubbing myself
or this dirt will cling to my skin forever.
Like a memory that refuses to fade.

It’s time to sleep.
The stars twinkle playfully,
trying to cheer the dark sky.
I think of the moon,
Its pale light casting long shadows
on my bedroom wall.
So many words to describe
how the moon uses the night’s darkness to reveal itself.
I want to run to my papers
and reach my pen.
But my body is weighed down by the day’s burden.
I must sleep soon,
or tomorrow I’ll wake late,
busy with tasks, missing the chance
to pour my ideas onto the page.

And when I finally sit,
pen in hand at the long-waiting table,
all the words have slipped away.
Like yesterday, when I had no time to capture them.

Sebuah Cerita tentang Kebun Kami

Musim kemarau taun ini gila-gilaan. Apa, ya, yang bikin matahari semangat banget bersinar? Awan-awan aja nggak berani nengokin bumi. Sekalinya ada, langsung lenyap seketika.

Kebun kami kena imbasnya. Biarpun semua taneman disiram dua kali sehari tiap harinya, banyak yang akhirnya nyerah. Layu, terus mati. Taneman nggak jelas yang ditanem paksu juga ngeranggas dan daun-daunnya kayaknya males banget tumbuh lagi.

Padahal sebelum musim panas menyengat ini dateng, taneman itu tergolong subur. Daun-daunnya emang kecil-kecil; nggak bisa buat neduhin pekarangan. Tapi di sela-sela daun-daun itu, lahir buah-buah kecil warna item, yang kami duga makanan kesukaan burung-burung.

Banyak burung kecil yang dateng dan bertengger di dahan taneman itu. Sambil makan buahnya. Seneng, deh, liatnya. Kebun kami jauh dari kesan mati. Kebun kami kayak semesta kecil tempat aneka taneman dan hewan kecil hidup.

Sekarang pemandangan kayak gitu nggak keliatan lagi. Burung-burung masih pada berkunjung, sih. Tapi kami nggak punya apa-apa buat ngejamu mereka. Tau, dong, gimana rasanya kedatengan tamu tapi nggak bisa ngasih mereka suguhan? Sedih, malu, nggak enaklah pokoknya.

Beberapa taneman yang masih sanggup bertahan cuma pitaya, kamboja jepang, kangkung, dan cabe. Kalo pitaya dan kamboja jepang kayaknya emang udah bawaan oroknya bandel gitu. Tapi kangkung dan cabe… rada-rada ajaib mereka bisa tetep tumbuh di tengah kemarau ekstrem kayak sekarang.

Di balik kekeringan ini, tetep ada yang patut disyukuri. Tapi paksu ngingetin kalo nanti begitu musim ujan dateng, pasti ada juga masalah baru. Burung-burung mungkin nggak bakalan sering-sering berkunjung. Sementara rumput-rumput yang sekarang tenang-tenang aja di dalem tanah, nanti bakal berpesta tiap hari di kebun kami.

Kangkung pun mungkin bakal kewalahan dengan air ujan yang ngegenang. Gitu juga dengan pitaya dan kamboja jepang. Sementara cabe… belum paham, tuh, bakal gimana nasibnya.

Semua ada waktunya. Semua bakal kena giliran tumbuh dan layu.

Dan kebun kami selalu tenang dan sabar ngadepin setiap musim dan problemnya.

Kesempatan Kedua

Ketika kecil, aku tak pernah menyelidiki
di mana debu bersembunyi ketika hujan turun
Aku selalu berdiri di balik kaca jendela
Memandang hujan sambil memendam ingin
untuk merasakan pecahannya di telapak tanganku
Meski kutahu pecahan hujan akan membuatku terluka
Hujan, bagiku, boleh dilihat, tapi tak boleh dipegang

Aku juga tak pernah bersitatap dengan bintang-bintang
Malam adalah waktu terlarang untuk keluar rumah
Semua kelelawar terbangun
dan sayap lebarnya mampu merenggutku ke dalam gua
di dunia antah berantah yang membuatku tak bisa kembali
pada kehangatan rumah

Sekarang, aku punya lahan yang cukup luas
untuk kujadikan padang bunga
Tetapi, tak satu pun bunga kutanam di sini
Selain mawar, yang kaukenal punya duri
dan mampu melindungi diri
Itu pun masih membuatku was-was
Sebab tangan-tangan jahil yang tahu cara mendekatinya
tanpa harus merasa sakit

Apapun selalu membuatku cemas
Apapun selalu kupandang buruk
Kekhawatiran ini datang dari jendela rumahku
yang lebih kecil dari mataku
dan mempersempit pandanganku

Aku ingin kembali menjadi kanak-kanak
Aku ingin bumi melanggar arah berputarnya
sementara kakiku berjalan mundur

Namun tak semudah itu
Arah jatuhnya hujan bisa menyimpang karena angin
Sinar matahari bisa terhalau gedung-gedung tinggi

Hanya pada daun-daun mudalah aku bisa meletakkan harapanku
Mereka pasti tahu,
bagaimana seharusnya menyerap air dari akar dengan baik,
bagaimana seharusnya memaklumi ulat-ulat yang butuh makan,
dan bagaimana seharusnya mereka memahami
bagaimana angin kencang mengajari mereka
untuk bertahan pada kekuatannya