Rabun

Karena faktor U dan keseringan pake gawai, mataku jadi rabun. Nggak bisa liat dengan jelas objek-objek yang ada di deket mata. Harus jauh. Nggak sampe parah banget, sih. Cuma pas natap layar hp atau baca tulisan aja. Mudah-mudahan nggak tambah parah.

Dari rabun ini, aku jadi mempertanyakan jarak. Sepenting itu, ya, jarak, buat bisa liat dengan jelas? Padahal jarak deket seharusnya bikin kita tau lebih banyak karena kita liatnya juga deket-deket. Mungkin ada jarak. Tapi, kan, nggak jauh.

Sementara kalo jauh, objek yang kita liat jadi nggak jelas. Banyak yang luput dari perhatian kalo objeknya berjarak banyak dari kita.

Tapi kenapa dalam beberapa kasus, jarak itu penting biar kita bisa liat apa yang nggak keliatan dari jarak dekat? Padahal jarak bisa bikin kita nggak mampu ngejangkau hal-hal yang ada di depan mata. Kayak bintang di langit yang nggak bakalan pernah bisa kita sentuh.

Apa mungkin objek yang deket kita punya potensi pijar yang bikin silau atau bisa membakar kayak bintang? Matahari, kan, mengandung api. Dari bumi aja pijarnya bisa bikin kita kepanasan dan bikin kulit jadi gosong. Apalagi kalo dari jarak deket?

Apa mungkin setiap objek di dunia ini, termasuk manusia, punya daya membakar yang dahsyat. Kalo nggak pandai-pandai jaga jarak, bisa-bisa kita kebakar.

Waktu aku SD, kakakku dines di luar Jawa. Karena belum ada surel, komunikasi cuma bisa lewat telepon atau surat. Telepon mahal karena interlokal. Jadi paling enak pake surat, walaupun butuh banyak waktu buat nulis dan suratnya nyampe tujuan.

Tapi lewat surat, aku bisa cerita banyak dibanding telepon. Lebih bebas aja. Padahal kalo lewat surat, percakapannya cuma satu arah. Nantinya kakakku bales suratku atau sebaliknya. Tapi ada intervalnya, nggak langsung kayak via telepon.

Setelah kakakku selesai dines dan kerja di kota deket rumahku, kami malah jarang ngobrol segitu sering ketemu. Nggak tau kenapa. Selain itu, karena udah deket, aku jadi nggak khawatir-khawatir banget soal keadaan kakakku. Beda sama waktu dia di luar pulau. Aku suka ngebayangin kakakku kenapa-kenapa, kalo sakit gimana.

Mungkin itu, ya, yang bikin jarak jauh jadi kerasa mendekatkan walaupun belum ada medsos atau aplikasi percakapan apapun. Jarak bisa jadi adalah kedekatan dalam bentuk yang lain.

Setaun belakangan ini, aku punya masalah yang pelik. Kalo dipikir-pikir, semuanya berkaitan sama jarak. Baru-baru ini masalahnya lebih pelik lagi. Dan kayaknya, jarak bener-bener diperlukan di sini buat nemu jalan keluarnya.

Semoga.

Secangkir Malam di Pagi Hari

Malam mencair
ke dalam cangkir
dijerang matahari pagi

Uap hangat meliuk-liuk
bergegas ke angkasa
menjelma gugusan awan

Waktu mengaduk
Denting berdetak
diiringi pusaran buih

Manis menyisip getir
Bulan dan gemintang larut
dalam pekat jelaga

Ampas menetap
menunggu senja
membasuh jejak

Hujan Kerasan di Rumahku

Subuh-subuh hujan mengetuk atap rumahku
Meluncur ke jendela
Mengintipku dari lubang ventilasi
Sebab tak kusambut hadirnya

Hujan terlampau lihai untuk kuabaikan
Ia menemukan celah di antara genting yang bergeser
Semalam seekor kucing terpeleset di atap
Mengejar tikus demi terus bertahan hidup

Hujan menetes dari plafon tua
Jatuh ke lantai, mengalir menelusuri garis-garis nat
Berusaha mencari kaki telanjangku
yang kusembunyikan di dalam selimut
Lalu menyebar jadi genangan
Memantulkan bayangan atap tempatnya masuk

Hujan menghambur hingga ke bawah sandal jepit
Bertutur tentang apa yang dilihatnya
saat masih dikandung awan

Hujan berbunyi kian keras
Menimpa cerita demi cerita
Tak juga berhenti ia berkisah
meski angin di luar mencarinya
dan petir memanggilnya pulang

Hujan kerasan di rumahku
Ubin menjaga dinginnya
Dan aku tak tahu kapan ia berhenti berkisah

Syukur

Berbaik hatilah pada malam
yang telah memberimu gelap
Segugusan bintang
tak cukup jadi penerang
Tetapi itulah yang kaucari
di langit kelam

Berbaik hatilah pada malam
yang sebentar saja menjenguk
kamarmu
Besok matahari datang
membawa kebisingan dunia
Kicau burung-burung yang
kehilangan pohon
Deru kendaraan yang tak mampu
mengendalikan waktu

Berbaik hatilah pada malam
yang mendekap mimpimu
dalam ketenangan bulan
Membuainya dengan sinar
yang redup agar
kau tak lekas terbangun

Selisih

Semalam
angin bertengkar dengan hujan
bulan ketakutan
sembunyi di balik awan

Pagi datang
kabut bertahan di atas jalan
menyembunyikan pohon-pohon tumbang,
merebah pasrah di atas kubangan

Matahari menolak siang
Burung-burung enggan terbang
Tanah menampik gersang

Dalam remang petang
Sebuah doa kupanjatkan
Semoga nanti malam
angin berdamai dengan hujan