Eksperimen Daun Kacang Ijo

Bisa dibilang, pekarangan rumah kami adalah laboratorium eksperimen botani. Sejak pandemi, kami nyoba nanem berbagai taneman pangan. Ada yang sukses kayak bayem brazil, pitaya alias buah naga, dan kemangi. Ada yang kadang berhasil, kadang gagal, kayak singkong.

Ada yang awalnya sukses tapi endingnya tragis, kayak tomat yang abis dimakan tikus atau kalong, dan kangkung yang kena hama semut merah dan tikus. Ada yang awalnya gagal, tapi ternyata bisa tumbuh dan dipanen juga kayak cabe rawit.

Eksperimen terakhir adalah kacang ijo. Yang ini lancar jaya dari awal karena ditanemnya pas mulai musim ujan.

Sampe kemarin mereka udah berbuah polong. Belum dikeluarin, sih, dari kulitnya. Kata paksu, “nanti aja kalo kulitnya udah item dan kering.” Tapi polong berbungkus kulit item itu kami petik dulu buat diamankan. Daripada diambil tikus.

Kami kepikiran buat manfaatin daun kacang ijo. Kalo bisa dimakan, lumayan buat nambah stok ketahanan pangan, biar nggak nyantap bayem brazil sama daun singkong melulu.

Googling-googling resep masakan berbahan daun kacang ijo, cuma nemu satu. Lebih banyak resep daun kacang panjang. Paksu akhirnya mutusin, masak dikit aja. Namanya juga percobaan.

Jadi, kami petik beberapa lembar daun kacang ijo. Waktu metik, kerasa bulu-bulu alus di kedua sisi daunnya. Paksu jadi ragu, beneran, nih, bisa dimakan? Aku juga ragu, sih. Bulu-bulunya itu, loh, kayak nggak aman.

Tapi eksperimen jalan terus. Daun kacang ijo aku cuci dan iris-iris, terus ditumis. Supaya nggak bau langu, takaran bumbunya kubanyakin.

Eksekusi beres, kuincipin satu sendok makan. Enak, sih, walau masih ada bau langunya. Waktu aku serahin ke paksu, dia bilang juga enak. Tapi dia terus keinget sama bulu-bulu alus di daunnya.

Entah karena sugesti, entah emang bener. Abis incipin tumis daun kacang ijo itu, paksu ngeluh tenggorokannya sakit. Kayak ada yang ngeganjel. Aku, sih, nggak apa-apa karena kayaknya tenggorokanku lebih kebal. Keluhanku cuma perut kerasa panas gara-gara pas incipin tadi sekalian makan irisan cabe rawit dari kebun.

Agak dilema, sih, mau disimpen buat makan siang, takutnya itu tumis daun kacang ijo bisa berefek fatal. Mau dibuang, sayang udah dimasak. Tapi dengan mempertimbangkan nyawa dan selera keluarga, akhirnya tumis daun kacang ijo itu dikompos sama sisa daun yang nggak kemasak. Daripada dihujat anak-anak juga karena mereka pasti bakalan nggak suka.

Sampe besok paginya, aku nggak ngerasain efek apa-apa dari tumis daun kacang ijo itu. Paksu juga sampe sekarang sehat wal afiat. Mungkin karena kami makannya cuma dikit. Nggak tau lagi kalo masakan itu kami jadiin salah satu menu maksi. Lebih banyak yang masuk perut, lain lagi hasilnya.

Nyoba hal-hal baru emang butuh pertimbangan dan keberanian. Kadang, belum bergerak kita udah mundur duluan. Nggak berarti kita nggak punya nyali, ya. Tapi kita kudu mikirin dampaknya kayak gimana. Baik buat kita sendiri maupun buat orang lain.

Jalan Pulang

Tak ada cara untuk kembali ke masa lalu
Sungai dalam perjalanan menuju laut
Trembesi tumbuh menjulang, menuju langit
Kupu-kupu tak akan menjadi ulat lagi

Tetapi masih ada jalan untuk pulang ke dalam batinku
Angin menyapu debu yang melapisi jalan
Kemarau merenggut rumput yang menutupi setapak
Hujan masih terlelap dalam awan

Dan aku menunggu bersama secangkir rindu
Kenangan telah mengendap di dasar kesabaran

Pengingat

Apapun yang terjadi, bertahanlah. Sekeras apapun hidup ini, tetaplah berdiri. Bukan agar kamu ditimpa lebih banyak ujian. Tetapi mungkin, di luar sana, ada seseorang yang menginginkanmu tetap hidup.

Ada seseorang yang diam-diam ingin menjumpaimu, tapi tak ada kendaraan yang dapat membawanya ke tempatmu, langkahnya kerap terjegal batu besar, waktunya banyak dihabiskan untuk hal-hal yang tidak dia inginkan tapi harus dia lakukan. Dan mendengar kabar baik tentangmu, seremeh apapun, adalah suntikan kebahagiaan baginya.

Bisa jadi, dia satu-satunya yang peduli padamu ketika yang lain ingin pergi. Bisa jadi, dia salah satu dari orang-orang yang pernah kau lewati di trotoar—tak kau sadari, tak kau kenali. Jarak membuatnya asing bagimu, tapi justru karena itulah, dia tak menghakimi kebiasaan burukmu, seandainya ada. Dia menyimpan ketulusan yang mungkin pernah kau pertanyakan.

Jadi, apapun yang terjadi, bertahanlah. Kebahagiaan kadang mengerjap lemah dalam situasi kelam. Seperti bintang di langit malam yang membuatmu sadar bahwa percikan kecil mampu membuat malam jadi berarti.

Bahasa Tersirat

Kadang angin enggan bertiup
Ia memilih bersembunyi di balik rimbun daun
Menitipkan desir dalam tiap uratnya
Semakin tak ketahuan saja hadirnya
Tetapi ia tak pernah meninggalkan semesta

Begitu juga aku
Tak mesti kujulurkan kepalaku dari jendela
Hanya untuk menjumpai awan
yang berarak di atas kebunku
Aku selalu ada untuk melukiskan jejaknya

Kepak sayap kupu-kupu juga tak bersuara
Dan hujan kadang turun dalam hening
Kesunyian adalah kedamaian hakiki

Aku hanya ingin menciptakan bahasa yang tersirat
Tak perlu kamus untuk menafsir
Setiap pasang mata punya penglihatan yang berbeda

Itulah keindahan yang tak akan pernah surut
Layaknya sajak yang diwariskan penyair

Pagar Laut untuk Tuan

Agaknya, darah nenek moyang
tak mengalir dalam diri Tuan
Tuan tak berniat jadi pelaut
dan mengarungi luas samudra
Tuan takut menerjang ombak
dan enggan menempuh badai

Tuan tak paham nikmatnya berlayar
Angin bertiup, Tuan meringkuk
Ombak berdebur, Tuan mendengkur

Tuan bukanlah seorang pemberani
Tuan hanyalah seorang pemimpi
Berambisi membangun rumah di atas laut
Dengan muslihat yang Tuan rajut

Kami tahu, pagar itu sengaja dipancang
agar ombak tak lagi menerjang mimpi Tuan
Tetapi jangan lupa, Tuan
Kami ini jutaan
Melebihi bilah bambu yang Tuan tancapkan
Kami sanggup mencabut satu per satu
dan menghempaskannya ke tepi

Jangan khawatir, Tuan
Bambu-bambu itu akan kami susun,
mengitari istana Tuan, mengurung Tuan di dalamnya
Sebab laut, Tuan, tak akan diam
Ia menelan segala yang tak seharusnya berdiri di atasnya