Melukis Musim

November telah tiba
Langit digelayuti mendung
Hujan bersiap turun
Waktu berjalan memikul beban

Tapi bagiku, ini adalah Mei
Daun-daun bersemi layaknya bunga
Derai hujan sehangat pancaran matahari

Di trotoar, orang-orang mengeluh tentang cuaca yang tak tentu
Di rumah, aku melukis musim sekehendakku
Menyapukan badai dan pelangi bergantian tanpa ragu

Kaktus

Aku selalu khawatir jika musim kemarau datang
Sumur akan kering dan kebunku akan mati

Aku memandang tapak dara dengan iba
Dia baru saja melahirkan bunga pertamanya
tetapi harus menghadapi teriknya matahari

Tak seperti kaktus yang tegar berdiri
Tak gentar menghadapi pergantian musim

Aku harus belajar darinya
yang tahu bagaimana menyimpan air
Hingga tak perlu lagi aku bertanya
kapan hujan akan datang lagi

Cukup

Beberapa hari kemarin nggak turun ujan di Surabaya. Cuacanya panas. Kayak mau kemarau. Tugas nyiram-nyiram kebun mulai rutin, deh.

Terus, dua hari yang lalu, malem-malem ujan. Lanjut sampe kemarin pagi. Cucian dijemur pagi, sorenya baru kering. Tapi aku jadi libur nyiram. Ke kebun cuma buat nyabutin rumput.

Tadi sore, sekalian lanjut nyabut rumput, aku siram-siram karena hari ini langitnya cerah banget. Air sumurnya jadi banyak berkat ujan deres dua hari yang lalu.

Sebelum ujan itu, aku sempet khawatir. Kalo kemarau panjang lagi, kira-kira air sumurnya abis, nggak, ya? Selama ini nggak pernah ada kasus sumur kering. Tapi aku khawatir aja.

Tadi sore, liat air sumurnya banyak, tiba-tiba aja aku ngerasa tenang. Apa yang aku khawatirkan kayaknya nggak bakalan kejadian. Soalnya Tuhan bakal ngasih kita rezeki sesuai kebutuhan kita.

Kasus kayak gini bukan baru kejadian sekarang. Sebelum-sebelumnya kami juga pernah ngalamin hal yang sama, tapi beda cerita. Kayak waktu keuangan kami lagi kolaps sementara anak-anak harus beli buku sekolah.

Nggak disangka, ada rezeki datang. Kami bisa beli buku sekolah buat anak-anak tanpa harus narik tabungan lagi.

Waktu mudik juga gitu. Biaya buat mudik, apa lagi jaraknya jauh, nggak dikit. Tapi kami berusaha buat menunaikan kewajiban kami sama keluarga kami di Bandung. Kami berdoa sekenceng-kencengnya sambil nyari-nyari celah rezeki buat modalin niat kami.

Datang, deh, malaikat penolong. Seakan tau rencana mudik kami, beliau ngasih yayah kerjaan. Penghasilannya, sih, nggak melimpah. Tapi itu cukup buat ongkos perjalanan kami dan segala printilannya.

Mungkin itu definisi cukup bagi kami. Memiliki sesuai yang dibutuhkan. Nggak kurang, nggak lebih.

Kalo selama ini aku khawatir terus soal masa depan, mulai sekarang aku harus percaya bahwa kalau apa yang kita rencanain emang baik, begitu waktunya tiba, Tuhan bakal ngemudahkan jalan kami.

Setelah Musik Usai

Musik berhenti berputar
Syair nostalgia berakhir jua
Ingar bingar sudah padam
Pesta telah usai

Maka, dengarlah tutur sungai
Mengalirkan kisah dengan deras
di telinga bebatuan
tentang mimpinya akan laut

Andai musik itu kembali mengalun, biar saja
Jadilah sungai yang patuh pada arus
Betapapun sakitnya jatuh di air terjun
atau pekatnya lumut yang ikut hanyut

Sebuah Pesan di Pagi Hari

Apa yang aku inginkan hari ini, Matahari, adalah jari kecilmu yang mengetuk jendela kamarku. Lalu, ditemani sorot hangatmu, aku berpikir tentang waktu, yang selalu mampu mengingat masa lalu dan membawanya ke hari ini.

Kenangan itu seperti secangkir kopi di hadapanku. Lebih banyak pahitnya daripada manisnya. Katamu, itu karena aku hanya menambahkan sedikit gula ke dalamnya.

Tetapi itu memang sengaja, Matahari. Aku tidak mau menambahkan terlalu banyak manis. Aku membiarkan pahit itu bertahan agar aku tidak lupa rasa sakit. Sebab sekali melupakan luka, penyembuhan justru semakin jauh. Ia menggerogoti waktu dan perhatianku.

Kadang, aku ingin menjadi seperti rumput. Tumbuh tanpa mengingat nasib pendahulu-pendahulunya yang mati karena ditebas. Tak takut dicibir karena tak seestetik tanaman-tanaman bunga yang sengaja ditanam. Rumput tumbuh tanpa memanggul beban apa-apa.

Kadang, aku juga ingin menjadi seperti awan. Berarak di atas bumi, menurunkan hujan tanpa peduli di bawahnya banjir atau kerontang.

Banyak sekali keinginanku, Matahari. Namun yang sangat aku inginkan pagi ini adalah kedatanganmu di kebunku. Rumah ini terlalu dingin sebab bediding semalam. Langit begitu bersih sehingga kau lekas kembali ke langit.

Singgahlah ke kebunku pagi ini dan embuskan napasmu ke dalam daun-daun. Biar aku tahu ke mana harus mencari hangat.