Produk Akulturasi

Tahun ini, tepatnya bulan kemarin, genap 12 tahun saya tinggal di Surabaya. Biasanya kalau pulang kampung ke Cicalengka, ada yang bertanya, “betah, nggak, di sana?” Saya tidak bisa jawab “ya” atau “tidak”. Karena, di mana pun saya tinggal, ada plus dan minus yang saya rasakan karena perbedaan kultur. Apalagi Bandung dan Surabaya jauh berbeda. Satu daerah dingin, satunya daerah panas. Satu berbudaya Sunda, satunya berbudaya Jawa.

Ngomong-ngomong soal budaya, saya jadi ingin berbicara soal suku. Tidak ada maksud menjelek-jelekkan suku tertentu, sih. Saya hanya ingin berbicara tentang kehidupan saya sebagai sebuah produk akulturasi. 

Saya lahir di Cicalengka, sebuah kecamatan di Kabupaten Bandung. Dibesarkan dalam kultur Sunda, diajak bicara dalam Bahasa Sunda walaupun tidak fasih-fasih amat, membuat saya yakin kalau saya urang Sunda. Apalagi, mama asli orang Cicalengka. Sementara papap (sebutan saya untuk papa ̶ orang Sunda biasanya memanggil “papa” dengan “papap”) lahir di Cimahi.

Tapi, banyak yang bilang saya ini bukan orang Sunda, melainkan orang Jawa. Otak kecil saya langsung protes mendengar pernyataan itu. Bagaimana bisa seseorang yang orang tuanya lahir di tanah Sunda, berbicara dalam Bahasa Sunda, dibesarkan di tengah kultur Sunda, malah dibilang orang Jawa? Kalau Jawa Barat, oke. Namun Jawa yang dimaksud di sini, ya, orang Jawa. Jawa Tengah, Jogjakarta, atau Jawa Timur.

Usut punya usut, ternyata papap keturunan Indramayu. Menurut orang Sunda, orang Indramayu bukanlah orang Sunda, melainkan orang Jawa. Menurut Sejarah (moga-moga saya tidak salah paham), Indramayu dan Cirebon selaku wilayah pesisir, sering didatangi orang-orang Jawa. Banyak orang Jawa yang menetap di Indramayu sehingga terjadilah akulturasi kebudayaan di sana. Yang mendominasi adalah budaya Jawa.

Jadi, sekalipun Indramayu dan Cirebon berada di provinsi Jawa Barat, mereka bukanlah orang Sunda. Tapi tetap, saya tidak terima kalau saya dibilang orang Jawa. Saya punya alasan yang mungkin lucu. Ketika itu saya masih kecil. Salah satu kakak saya punya teman dari Jawa Timur. Bicaranya medok Jawa dan saya tidak suka. Saya takut, kalau jadi orang Jawa, saya bakal ngomong seperti itu.

Protes saya terhadap identitas kesukuan saya tidak sampai di situ. Menginjak remaja, saat sedang puber dan mulai suka sama lawan jenis, saya kembali diingatkan bahwa saya orang Jawa dan kelak kalau menikah, harus sama orang Jawa. Saya sedang suka sama cowok, satu sekolahan, dan dia orang Sunda. Dikasih pernyataan soal jodoh tadi, saya sedih dan marah. Saya, kan, maunya sama cowok yang saya suka itu, yang orang Sunda. Kenapa saya harus menikah sama orang Jawa?

Sejak itu saya tidak peduli soal identitas. Masa bodoh saya dibilang orang Sunda atau orang Jawa. Saya ingin hidup bebas. Saya ingin menentukan sendiri hidup saya. Terutama soal pasangan.

Laaaah…. Ujung-ujungnya malah saya menikah dengan orang Jawa. Wong Suroboyo pula. Saya kenal Brahm awalnya sebagai seorang blogger, penulis. Saya pikir, saya bisa belajar menulis dari dia. Memang. Saya belajar menulis sambil praktek. Kami bekerja sama menulis Satin Merah. Setelahnya, relasi kami semakin dekat, lebih dari teman, dan akhirnya menjalin hubungan yang serius, kemudian menikah. Saya sadar Brahm orang Surabaya. Tapi saya lupa dia orang Jawa. Saya baru menyadari hal ini ketika saya berbicara pada mama tentang rencana saya menikah dengan Brahm. Mama merestui dan bilang, “wajar kalau kamu nikah sama orang Jawa, karena kamu memang orang Jawa.”

Seketika saya mikir, dan tertawa sendiri. Apa yang sebelumnya saya tampik, akhirnya harus saya jalani.

Yang menjengkelkan, waktu kecil saya dibesarkan dalam budaya Sunda, di tanah Sunda, malah dibilang orang Jawa. Setelah menikah dan diboyong suami ke kota pahlawan, oleh orang-orang Surabaya saya dibilang orang Sunda. Kalaupun saya bilang Indramayu itu menganut budaya Jawa, bagi mereka Indramayu adalah bagian dari Sunda.

Lalu, bagaimana dengan anak-anak?

Saya dan Brahm tidak mau membebani Kiara dan Akira dengan identitas kesukuan. Pastinya, sih, mereka tahu ada dua budaya yang mengalir pada mereka. Sunda dan Jawa. Tapi kami tidak memaksa mereka untuk memilih yang mana. Bahasa sehari-hari kami, ya Bahasa Indonesia, yang diselipi beberapa kosakata Bahasa Jawa. Dan sesekali, bicara Bahasa Sunda karena setahun sekali kami pulang ke Bandung. Anak-anak perlu diajari Bahasa Sunda supaya tidak bengong melihat saya berbicara Bahasa Sunda dengan saudara-saudara saya.

Bagi kami, yang penting anak-anak kami adalah anak-anak yang baik dan selalu taat pada ajaran agama yang kami anut, yakni Islam.

Published by


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Hayooo... Mau apa?