Lukisan Bisu

Hujan turun tak membawa suara
Genting mendamba rintik
Namun hujan memilih membasahi tanah saja
Menyimpan rahasia di dalam akar

Akankah nanti tumbuh jadi kisah?
Ataukah waktu membawanya menuju sungai?

Hujan tak membawa dingin
Selimutku hangat karena wol, bukan cerita
Aku meringkuk sebab tak ada lagi yang bisa kuperbuat
Bolpoinku telah kering
Kertas putih mati karena rindu
Jendela kamarku: lukisan bisu

Tumbuh Nggak Kenal Kondisi dan Teori

Tahun lalu, kami nanem singkong gajah di pinggir jalan depan rumah. Setelah beberapa bulan, singkongnya tumbuh tinggi dan subur, padahal jarang dirawat. Daunnya gede-gede, batangnya juga. Umbinya nggak tau, karena di dalem tanah.

Kalo liat singkong biasa yang kami tanem di halaman, daun yang subur nggak ngejamin umbinya juga subur. Kami baru bisa liat umbinya segede apa kalo udah waktunya panen.

Bulan puasa kemaren adalah kira-kira tiga bulan sebelum masa panen singkong gajah. Pohonnya udah tinggi. Orang-orang juga mikirnya udah waktunya dipanen tuh singkong. Tapi karena umurnya masih kurang, kami tahan dulu.

Eeeh, gara-gara ujan angin, singkong gajahnya tumbang sampe narik kabel di atasnya. Terpaksalah kami tebang. Sebagian lagi dicabut aja, sekalian panen. Bener aja, umbinya masih kecil-kecil. Untungnya bisa dimakan walaupun kayak makan kayu.

Daunnya kumasak. Rasanya sama kayak daun singkong biasa. Sementara batangnya ada yang kami setek, sebagian lagi kami biarin aja di kebun. Bingung mau ditanem di mana lagi karena kurang lahan dan pot.

Tiga mingguan pasca panen, ternyata batang singkong yang kami biarin itu bertunas! Padahal akarnya nggak masuk tanah sama sekali. Akar yang tersisa, yang umbinya udah kami sikat habis, juga ngeluarin daun.

Wow!

Batang singkong itu paling kena ujan aja. Bahkan mereka udah mulai kering karena sering kepanasan juga. Tapi, kok, bisa bertunas?

Aku ambil pelajaran aja, bahwa tumbuh bisa dengan cara tak mengenal kondisi dan teori. Nggak wajib singkong gajah itu tumbuh dengan cara yang sama kayak pohon lain yang akar atau batangnya harus ditancepin ke tanah, terus disiram tiap hari, dikasih pupuk ini itu, dsb.

Singkong gajah itu ngebuktiin kalo dia mampu tumbuh dengan mandiri. Nggak bergantung sama manusia dan nggak harus nyentuh tanah.

Aku nggak tau sampe kapan tunas-tunas singkong gajah itu bakal bertahan. Cuaca masih suka berubah. Kadang panas seharian, kadang ujan deres. Tapi, kalo emang mereka harus tumbuh, apapun yang terjadi, nggak ada yang bisa ngalangin mereka.

Puisi Air Mata

Kerap aku bertanya padaku sendiri, ke mana air mata bunga mengalir ketika ia dipisahkan dari tangkainya?

Lalu aku tertegun saat menyadari, bahwa air mataku tak pernah menitik dan mengalir. Kesedihanku adalah puisi yang kutulis di atas kertas.

Memungut Gerimis

Aku kembali ke kebunku
memungut gerimis
Kemarau sebentar lagi tiba
dan aku harus mengisi kertasku
dengan sisa-sisa aksara
yang tertinggal di rimbun daun
sebelum terik meneguk ilham

Terlalu lama aku terlena hujan deras
Meringkuk dilingkup hawa dingin
Hujan pun berlalu dalam sungai

Sekarang tinggal gerimis
Danau pun menyusut
Bulan akan kehilangan cermin
Aku kehilangan puisi

Buku yang Bagus

Sejak Oktober taun kemarin, aku kembali baca buku. Ngaku dosa, nih, kalo sebelum bulan kesepuluh itu, lamaaa… banget aku nggak baca buku. Sebetulnya ada banyak stok buku dan majalah di rumah yang belum kubaca. Cuma karena aku tuh picky reader, kalo judulnya aja nggak menarik, aku males bacanya. Ini juga baca buku lagi gara-gara liat story IG-nya temen yang pamer buku-buku yang dia baca saat itu.

Karena nggak memungkinkan buat beli buku, pinjem ke perpus juga males karena kejauhan, nggak ada pilihan selain baca ebook. Sebaga penulis belang betong, baca buku itu sebetulnya wajib buatku. Tapi karena kebanyakan nulis buat media digital, otomatis baca-baca di medsos lebih praktis buatku ketimbang baca buku.

Etapi, yang kubaca bukan status orang aja, ya. Aku baca puisi-puisi Mary Oliver atau penulis-penulis lain. Juga baca-baca teori tentang sastra atau penulisan. Jadi, biarpun kerjanya scrolling medsos, bacaanku cukup berdaging. Hehehe.

Tapi aku juga sadar, sih. Gimana-gimana juga baca buku itu nggak boleh ditinggalin. Kebetulan, aku, kan, ngikutin akun English Literature di Facebook. Tiap hari ada aja postingan tentang buku si A, si B. Yang kayak gitu bikin aku kepo. Dan akhirnya, aku nyari-nyari website yang nyediain ebook-ebook karya sastra klasik.

Awalnya aku coba literature.org. Di sini aku baca Little Women dan Candide. Kurang enakeun. Soalnya kalo mau baca harus online terus, nggak bisa didonlot. Jadi, aku balik lagi aja ke Gutenberg. Dulu, sih, ke website ini cuma buat liat-liat bukunya aja. Waktu zaman hp-nya belum pinter. Karena sekarang hp-nya udah pinter, jadi berani donlot buku-bukunya. Dibuka di laptop juga bisa. Tapi aku biasanya baca di hp. Lebih portable.

Melalui Gutenberg, aku udah baca 12 Years of A Slave, Crime and Punishment, Metamorphose, Great Gatsby, sama ada dua cerita anak. Semuanya pake Bahasa Inggirs. Yang di literature.org juga. Bukannya sok jago. Justru karena Bahasa Inggrisku nggak fasih makanya aku butuh belajar dan ngebiasain berbahasa Inggris. Biarpun aku nggak ngerti semua kosakata dalam bukunya, aku paham ceritanya secara global.

Semua buku di kedua website itu bagus-bagus. Ya iyalah, kelas internasional. Tapi, nggak semua buku menurutku menarik. Kayak Pride and Prejudice. Para pakar bilang itu novel bagus banget dan wajib dibaca. Tapi pengalamanku, baru baca beberapa halaman aja udah bosen. Sejauh ini yang menurutku bagus adalah Crime and Punishment. Halamannya banyak, tapi aku bisa bertahan baca karena penasaran aja sama nasib tokohnya.

Aku nggak ngerti, sih, apa kriteria sebuah buku sampe bisa dibilang bagus? Apa syarat-syaratnya sebuah karya bisa menang lomba atau penghargaan bergengsi. Menurutku, bagus atau nggaknya sebuah buku, ada hubungannya dengan selera.

Contohnya The God of Small Things. Buku itu menang Booker Prize tahun 1997. Tapi aku nggak tahan bacanya. Deskriptif banget, ngebosenin, ujung-ujungnya malah nggak paham ceritanya tentang apa. Biarpun lulusan Fakultas Sasta, nggak berarti semua karya sastra bisa masuk otakku. Puisi apalagi. Aku suka nulis dan baca puisi (tapi bukan dideklamasiin). Tapi kalo baca puisi karya orang, perlu bolak-balik jungkir balik biar aku bisa paham.

Jadi kalo orang lain bilang “novel anu keren” dan dapat award bergengsi, bisa aja itu nggak berlaku buatku.

Aku jadi inget cerita American Fiction. Tentang seorang penulis kulit hitam yang nggak PD karyanya diterbitkan. Tapi pihak penerbit keukeuh nerbitin. Si penulis nempuh berbagai cara buat ngebatalin penerbitannya. Setelah mengganti judul novelnya dengan istilah kasar, alih-alih nolak, si penerbit malah setuju nerbitin buku itu.

Yang lebih mengejutkan, novel itu masuk nominasi penghargaan buku bergengsi di Amerika. Sialnya lagi, si penulis kepilih buat jadi salah satu dewan juri. Untungnya di buku itu dia pake nama pena jadi juri-juri lain nggak tau kalo itu bukunya.

Waktu proses kurasi, bertemulah si penulis dengan rivalnya. Seorang penulis berkulit hitam juga yang karyanya best seller. Menurut si penulis best seller itu, bukunya si penulis tadi nggak layak jadi pemenang karena… kalo nggak salah, sih, karena terlalu mengada-ada atau mengekspoitasi kehidupan orang kuliy hitam. Mereka berdua sepakat untuk nggak meloloskan buku si penulis itu. Eeeh, tiga juri lain malah sepakat ngukuhin buku tadi jadi juara. Karena yang nggak setuju cuma berdua, kalah suara, deh, mereka.

See? Para dewan juri aja bisa beda pendapat nentuin siapa yang layak dapat penghargaan buku bergengsi itu. Soalnya masing-masing pasti punya pertimbangan yang berbeda.

Aku bukannya bermaksud menjelek-jelekkan buku-buku tertentu, terutama yang kusebutkan di atas. Tapi untuk menentukan sebuah buku bagus atau nggak, sekali lagi kubilang, itu ada hubungannya sama selera. Apa yang orang lain atau para pakar bilang bagus, belum tentu cocok sama preferensi kita.

Aku dulunya suka terkecoh dengan award-award atau prize-prize-an. Karya yang jadi juara belum pasti bagus menurutku. Ini pandai-pandainya kita mengenal diri sendiri, sih. Kalo kitanya tau persis gimana selera kita, apapun opini orang lain, nggak akan berpengaruh apa-apa buat kehidupan kita.