purnama

perlahan, ia menjauh dari matahari
setelah semalam jadi primadona
berkilau, menantang gelap

di balik rimbun pohon, ia mengintip
jika sudah tampak kening sang surya,
ia harus mengambil sejumput awan
untuk menyeka wajahnya hingga pucat
lalu menyaru dalam biru

nanti, begitu senja menutup langit
dan sang surya merengkuh cakrawala,
ia akan naik lagi
ke atas pentas gemerlap bintang
berbekal kilau yang gugur bersama angin malam

tiga malam, ia merasa lengkap
sampai kalender memanggilnya pulang
hari-hari yang ditakar jam, menit, dan detik
telah disiapkan untuknya
sebelum wajahnya kembali penuh

Nggak Semua Daun Sama

Kalo aku peratiin, daun-daun yang ada di kebunku nggak sama warnanya. Sekilas, mereka kayak sama. Kalo nggak ijo muda, ijo tua. Ada juga yang kuning atau cokelat karena dimakan waktu. Tapi kalo dilihat lebih saksama, beda. Bedanya, sih, tipis-tipis dan sulit ngedeskripsiinnya.

Di depan rumah tetangga sebelah dan depan rumah, ada taneman pucuk merah. Waktu daunnya baru tumbuh, warnanya ijo. Lama-lama, warnanya pucuknya jadi merah. Bukan karena pengaruh alam apalagi dicat, tapi emang udah bawaannya.

Ada juga sri rezeki. Aku nggak punya dan tetanggaku juga kayaknya nggak punya. Tapi ada taneman kayak gitu. Daunnya udah merah jambu sejak lahir. Bagian yang deket tangkainya lebih tua warnanya, sementara yang tengah sampe pucuk, warnanya merah jambu rada mudaan. Tapi kalo udah tua, sih, warnanya berubah jadi cokelat.

Atau kastuba. Ini lebih aneh lagi. Awalnya dia terlahir sebagai daun. Tambah umurnya, dia berubah jadi bunga. Dari warna ijo jadi warna merah.

Beberapa daun taneman hias juga punya beragam motif. Ada yang bintik-bintik putih, ada yang garis-garis, ada yang bagian pinggirnya ijo tua tapi makin ke tengah makin muda. Bentuknya juga beragam. Ada yang bergelombang, meruncing, menjari, rada bunder, tepinya runcing-runcing, panjang. Ada yang kecil-kecil, ada yang gede-gede juga.

Sama kayak bunga. Beda bentuk, beda warna, beda baunya juga. Dan semua itu terjadi karena banyak faktor. Ada yang warnanya berubah karena pengaruh sinar matahari, usia, atau karena dia emang ditakdirkan buat berubah warna.

Apakah ada yang pernah protes dengan keanekaragaman kayak gitu?

Kayaknya nggak ada, deh. Setauku, orang-orang malah suka dengan keunikan daun-daun. Saking sukanya, ada yang sampe ngoleksi macem-macem taneman hias kayak yang pernah booming belasan taun lalu. Aku juga kemakan tren itu.

Ada juga yang nggak peduli dengan penampilan. Tapi care banget sama khasiatnya. Orang yang kayak gini biasanya nanem taneman obat (toga) atau taneman pangan. Kayak aku sekarang. Aku nggak berminat nanem taneman hias lagi. Aku sekarang lebih ngedepanin fungsi. Kalo taneman hiasnya cuma buat estetika-estetikaan aja, kemungkinan besar nggak bakalan kupilih. Tapi kalo ada khasiat pangan atau obat, boleh, tuh, ditanem di kebunku.

Semua tergantung selera dan kebutuhan masing-masing orang. Dan nggak semua daun harus punya warna yang sama. Nggak semua orang harus berbuat yang sama juga. Beda-beda juga bisa keliatan menarik, kok.

Terang Bulan di Atas Hujan

Ia hendak menolong hujan menelusuri malam
Menyelinap di antara lalu lalang kendaraan
Mericik di antara deru dan klakson
Mengalir di jendela-jendela yang terkatup rapat

Bulan menjadi saksi hujan
yang kepayahan menemuimu
Yang bahagia melihatmu
meski
wajahmu membeku
di bawah payung yang terkembang

Puisi Tak Kasat Mata

Kadang, puisiku tak terdengar
Ia menelan suaranya sendiri dalam ingar
Atau menyaru dalam samar

Tak perlu kaucari di mana kuletakkan diksi-diksi
Benakku mampu berfungsi sebagai laci
Di dalamnya sarat puisi yang sengaja tak kubagi

Banyak bait yang kupeluk diam-diam
Tak semua lara layak dipajang
Dan tak semua tawa pantas diperlihatkan

Huruf-hurufku memilih tinggal dalam sunyi
Tetapi mungkin suatu hari nanti,
puisi itu menampakkan diri
di ujung jalan yang tanpa sengaja kau lalui