Dilarang Menginjak Rumput

Biarkan aku berbaring di sini,
mendengarkan rumput berpuisi.
Diksinya amat pilu,
tentang dunia yang tak pernah memberi tenang.

Ada parang yang siap membebat.
Ada gunting yang bersedia memangkas.
Ada tangan yang hendak mencerabut.
Ada ludah yang sewaktu-waktu mencela.

Di balik semua beban itu,
rumput tetap berupaya tumbuh.
Kepik amat bergantung pada mereka,
juga belalang, ulat, bahkan ular.

Aku lantas bangkit.
Tak baik juga aku berlama-lama di sini,
menghalangi mereka menempuh caranya sendiri
untuk terus berdiri menjangkau matahari,
menengadahkan daun, merasai hujan.

Entah apa yang seharusnya kulakukan untuk mereka.
Kecuali satu hal sederhana:
memasang sebuah papan larangan—
DILARANG MENGINJAK RUMPUT!

250625

Tak selamanya hujan datang bersama gaduh
Kadang ia turun menahan gemuruh
Bukan untuk meluruhkan sunyi
Melainkan sekadar membasahi

Seperti bulan yang muncul di balik jelaga
Memantulkan cahaya bukan untuk menyilaukan
Hanya ingin menyampaikan pesan
Bahwa dalam gelap pun, cahaya kecil bisa kau temukan

Sering aku bertanya-tanya,
Apa yang disimpan hujan dalam butirnya?
Bagaimana rupa bulan yang tak pernah sampai ke mataku?

Tapi, apakah segalanya harus tampak?
Mungkin tidak
Selalu ada maksud yang memilih tak dikenali
Jika pun akhirnya kau tahu,
Biarlah rahasia itu tetap tinggal dalam sunyimu sendiri

Apakah Aku Mencintai Kebunku?

Segala yang hijau di halaman rumahku tumbuh bukan karena tanganku. Mereka hadir karena tangan tak terlihat yang membentuk dan mewarnai setiap helai daun, menuntunnya menjulur hingga menyentuh kulitku. Setiap pagi aku berjalan melewati mereka, sebelum membuka pagar dan pergi. Tapi sering kali aku tak benar-benar mendengar. Mereka barangkali ingin bercerita, tetapi aku lebih sering sibuk mendengarkan suara-suara di kepalaku sendiri.

Meski begitu, mereka tetap tinggal bersamaku. Akar-akar mereka berdenyut di tanah yang sama tempatku berpijak. Kadang muncul ke permukaan, seolah ingin mengingatkanku bahwa mereka ada, bahwa mereka ingin dijumpai. Dan yang bisa kuberikan hanyalah air. Atau daun-daun tua yang kukumpulkan agar tak melewati senja sendirian.

Lambat laun, tanganku tergerak. Aku mulai menyentuh daun-daun mereka lebih pelan, menatap pertumbuhan yang nyaris tak terlihat namun pasti, dan berdoa agar mereka terus hidup, meski musim terus berganti. Kupikir, mungkin beginilah caraku mencintai kebunku. Tanpa kata, tanpa janji. Hanya dengan tinggal, memperhatikan, dan merawat sebisaku.

Aku tidak pernah mengucap cinta pada kehidupan kecil di petak halaman ini. Tapi barangkali cinta justru tumbuh dari kehadiran yang setia, dari hal-hal yang dilakukan berulang kali. Mungkin cinta itu hadir karena kita terbiasa menyapa, karena kita tak lagi asing. Seperti yang dikatakan Mary Oliver:I walk in the world to love it. Maka mungkin, aku mencintai kebunku bukan karena aku sengaja, tetapi karena aku hidup bersamanya. Dan setiap langkah kecilku di atas tanah ini adalah cara tubuhku berkata: aku peduli.

Juni

Juni
Hujan masih menjejak bumi
Tanah basah
Bunga-bunga menganga
Akar terus berdenyut
Janin pohon tetap hidup
Kalender cuma melekat di dinding
Tak mampu mengendalikan musim

Ketika Idup Lagi Pedes-pedesnya

Belakangan ini, aku seneng makan yang pedes-pedes. Alasan pertama, cabe rawit di kebun udah merah-merah. Sayang kalo nggak dimanfaatkan. Mau dikasihin ke orang lain, terlalu dikit. Ini juga buat dimakan sendiri masih kurang, jadi harus beli buat nambah-nambah.

Kedua, sejak kemarin, badanku rada nggak enak. Hari ini meler terus dan kepala kerasa rada berat. Lumayan enteng kalo makan yang pedes-pedes. Apalagi dalam bentuk kuah kayak ceos.

Ketiga, idup akhir-akhir ini lagi melelahkan banget. Semua orang keliatan nyebelinnya dan semua hal ngebosenin. Aku bawaannya pengin ngamuk-ngamuk aja. Syukurlah aku bisa ngendaliin emosi.

Biarpun rasanya nggak enak banget, aku nggak mau ngelawan emosi kayak gini. Namanya juga idup. Kadang nyenening, kadang nyebelin. Dan walaupun kata-kata udah melimpah di lidah, nggak sampe keluarlah kata-kata makian atau umpatan. Nggak curhat juga ke siapapun, karena dari dulu, curhat nggak bikin aku nyaman.

Aku juga males nyari mood booster. Tapi kalo makan yang pedes-pedes, khususnya cabe rawit, aku lumayan hepi dan tenang. Padahal mulut kelabakan dan perut berasa mau mendidih.

Cabe mengandung capsaicin, zat yang bikin rasanya pedes. Nggak tau darimana asalnya zat ini. Nggak ngerti juga gimana prosesnya sampe dia bisa bikin aku hepi.

Apa karena dia juga ngalamin hal yang sama kayak aku, ya? Aku hepi karena kayak punya temen yang sama-sama galau.

Mungkin aja, sih. Cabe rawit tuh sebenernya bisa ngomong. Waktu gigiku ngegigit dan ngunyah dia, dia keluarin semua cerita dan unek-uneknya. Kisah dia pedih dan itu yang bikin dia pedes.

Setelah curhat, si cabe rawit ngerasa plong dan masuk tubuhku dibantu liur tanpa punya beban apa-apa lagi. Mulutku yang terdampak pedesnya. Tapi cerita yang dia tinggalin di mulutku itu bikin aku jadi paham kalo aku nggak sendirian. Ada banyak orang, atau something, yang punya pengalaman pedes juga.

Itulah kenapa aku jadi ikutan plong setelah makan, eh, dengerin cabe rawit curhat ke organ-organ di mulutku. Kepala jadi enteng. Ingus jadi encer. Semua yang membebani kepalaku berkurang.

Aku inget, waktu kami berempat lagi melalui masa kegelapan, dengerin cerita orang-orang yang kurang beruntung dari kami bikin kami termotivasi buat terus berjuang bertahan hidup dan bersyukur.

Sometimes, when life feels heavy, all we need is to listen to someone else’s pain, or even to something unexpected.