Musim Hujan

Musim hujan
Orang-orang jatuh cinta
merindu mendung
tak berdaya ketika gerimis turun

Hati yang berbunga
laksana bunga-bunga di taman
mekar berjejalan
Siapa paling semerbak,
dia berhak mendapat lebah
Siapa paling merona,
dia layak mendapat rama-rama

Hati yang berkabung
ibarat bunga yang layu
menunduk meratap tanah
Lupa akan sejuk
Abai akan semi

Tapi musim hujan
Awan meluruhkan ilham
Pena meneteskan aksara
Kata-kata mengaliri parit dan kali
Lautan sesak oleh puisi
Bagian paling sarat dalam kitab musim

Bukan Mereka

Orang boleh berpikir apa saja
tentangmu
Mereka boleh bicara apa saja

Tapi, siapa yang tahu
bagaimana kau letakkan benih dengan hati-hati
di dalam lubang yang kaugali penuh harap
dan kau sertakan doa agar pertiwi sudi
mengabulkan mimpimu
terhadap benih itu
agar tak hanya tumbuh menjadi daun, bunga,
ataupun buah yang kelak dapat kaupetik
tetapi juga agar akarnya mampu menguatkan tanah
dan menjaga air agar tak surut
di musim kemarau

Siapa yang tahu,
bagaimana kau perlakukan bibit itu
seperti anakmu sendiri
Kau sentuh dengan lemah lembut,
kau kecup dengan sarat kasih,
dan kau menunggunya tumbuh
inci demi inci,
mencatatnya dalam jurnalmu setiap hari

Dan siapa yang tahu,
apa saja yang kaubicarakan dengan rumput-rumput
yang memenuhi pekaranganmu
Orang melihatnya kau menjambak mereka
Tetapi sesungguhnya, kau hanya ingin
membuat mereka lebih berguna
dengan menyatukan mereka
bersama daun-daun kering
yang berguguran

Atau,
bagaimana kau menatap bulan,
menunggu bintang melesat,
menerima pagi seperti halnya pasrah pada senja,
bernyanyi saat hujan,
mengikuti derap rintiknya
yang menarik petrikor dari dalam tanah

Orang-orang hanyalah angin
yang berlalu tanpa membaca apa-apa
Orang-orang cuma punya api
yang membakar nafsu mereka

Orang boleh berpikir apa saja
tentangmu
Mereka boleh bicara apa saja
Tetapi kau adalah kau
Bukan bagian dari mereka

Kelak

Kelak, kau akan tahu,
siapa membutuhkan siapa.
Malam pada bulan,
atau bulan pada malam?
Hujan pada telaga,
atau telaga pada hujan?

Kelak, kau akan tahu,
siapa menginginkan siapa.
Kupu pada mawar,
atau mawar pada kupu?
Rumput pada pekarangan rumahmu,
atau pekarangan pada rumput?

Kelak, di waktu yang tak kauduga,
sungai tak lagi mengenal deras.
Kemarau membungkam riciknya
atau batu menghadang arusnya.
Tak ada lagi gemuruh di telingamu
dan kau tak perlu takut perahu kertasmu
hanyut tanpa terkejar.

Itu kelak.
Saat kau mengerti tak ada gunanya melawan.
Kelak, saat kau tak lagi mencari makna.
Kelak, saat kau biarkan angin menyapu debu
yang menyaput pandanganmu.

Kembalinya Sang Penyair

Huruf-huruf memilih menyimpan suara
dalam batinku
dan menahan jari-jariku
dari melukis setiap lekuknya
di atas kertas

Mungkin mereka bosan menguntai kata
Mungkin juga putus asa
sebab angin memilih berlalu daripada membaca
Dan sungai terlalu pongah dengan riciknya

Kuputuskan untuk berhenti menulis
Tak semua orang ingin mendengar
Tak semua orang mau membaca
Orang butuh bukti, bukan puisi

Tapi, siapa yang tega meninggalkan rimbun mangga
yang menjaga sarang burung?
Siapa yang sudi meninggalkan melati
yang menghalau bau selokan?

Lalu aku mendengar riuh dalam diriku
Semua aksara berdesakan
hendak keluar dari mulutku

Akar mencuat dari tanah
Menahan kakiku di halaman
Bunga telang menyembur tintanya
dan angin menyibak debu di pekarangan

Mungkin, di sinilah aku seharusnya berada
Berbicara pada rumput
Inilah aku
Kembali menganggit puisi

Pohon Hujan

Pohon hujan berguncang
entah oleh apa
Gerimis berguguran
di atas kemarau yang
tak lagi sanggup
mengeringkan tanah

Mungkin langit lelah
melihat bumi tanpa daun,
tanpa bunga
Maka ia membimbing musim
untuk menggoyang
pohon hujan itu.