Bagaimana kalau kepik itu sisa hujan yang tertinggal di daun basil? Kena gincu saat tadi pagi bibirku mencium daunnya sebelum lebah-lebah datang. Lalu terciprat air kubangan saat sepeda melintas jalan. Kau tidak akan menemukannya dengan mudah karena kepik itu bersembunyi di rimbun dedaunan, dan terbang saat kau berusaha menyentuhnya dengan ujung jarimu.
Hal-hal kecil seperti kepik tak pernah luput dari mataku. Semakin kecil, semakin aku tertarik. Walaupun itu remeh dan receh. Seperti puisi pendek yang kutulis di struk belanjaan minimarket. Yang kuselipkan ke dalam dompet dan kubawa ke mana-mana.
Bagaimana kalau kepik itu adalah mata-mata yang sedang mengintaimu? Diam-diam ia mengamatimu dari jendela kamar. Sampai ia mengerti setiap detail dirimu yang bahkan kau sendiri tak mengerti.
Bagaimana kalau kepik itu bunga api yang membeku karena tertimpa dingin sikapmu? Lalu ia mencari sejumput pijar matahari untuk meluruhkan es yang mengkristal dalam tubuhnya.
Bagaimana kalau kepik itu kawin dan menumpang hidup di kebunmu? Lalu beranakpinak dan tak akan musnah sampai kepalamu beruban. Seperti rindu yang kawin dengan sayang. Beranakpinak sampai entah berapa turunan.
Cobalah, sebentar saja amati kepik itu. Dan sayap dalamnya. Dan wajahnya yang tak terlihat. Dan geraknya yang cepat.
