Sejak Oktober taun kemarin, aku kembali baca buku. Ngaku dosa, nih, kalo sebelum bulan kesepuluh itu, lamaaa… banget aku nggak baca buku. Sebetulnya ada banyak stok buku dan majalah di rumah yang belum kubaca. Cuma karena aku tuh picky reader, kalo judulnya aja nggak menarik, aku males bacanya. Ini juga baca buku lagi gara-gara liat story IG-nya temen yang pamer buku-buku yang dia baca saat itu.
Karena nggak memungkinkan buat beli buku, pinjem ke perpus juga males karena kejauhan, nggak ada pilihan selain baca ebook. Sebaga penulis belang betong, baca buku itu sebetulnya wajib buatku. Tapi karena kebanyakan nulis buat media digital, otomatis baca-baca di medsos lebih praktis buatku ketimbang baca buku.
Etapi, yang kubaca bukan status orang aja, ya. Aku baca puisi-puisi Mary Oliver atau penulis-penulis lain. Juga baca-baca teori tentang sastra atau penulisan. Jadi, biarpun kerjanya scrolling medsos, bacaanku cukup berdaging. Hehehe.
Tapi aku juga sadar, sih. Gimana-gimana juga baca buku itu nggak boleh ditinggalin. Kebetulan, aku, kan, ngikutin akun English Literature di Facebook. Tiap hari ada aja postingan tentang buku si A, si B. Yang kayak gitu bikin aku kepo. Dan akhirnya, aku nyari-nyari website yang nyediain ebook-ebook karya sastra klasik.
Awalnya aku coba literature.org. Di sini aku baca Little Women dan Candide. Kurang enakeun. Soalnya kalo mau baca harus online terus, nggak bisa didonlot. Jadi, aku balik lagi aja ke Gutenberg. Dulu, sih, ke website ini cuma buat liat-liat bukunya aja. Waktu zaman hp-nya belum pinter. Karena sekarang hp-nya udah pinter, jadi berani donlot buku-bukunya. Dibuka di laptop juga bisa. Tapi aku biasanya baca di hp. Lebih portable.
Melalui Gutenberg, aku udah baca 12 Years of A Slave, Crime and Punishment, Metamorphose, Great Gatsby, sama ada dua cerita anak. Semuanya pake Bahasa Inggirs. Yang di literature.org juga. Bukannya sok jago. Justru karena Bahasa Inggrisku nggak fasih makanya aku butuh belajar dan ngebiasain berbahasa Inggris. Biarpun aku nggak ngerti semua kosakata dalam bukunya, aku paham ceritanya secara global.
Semua buku di kedua website itu bagus-bagus. Ya iyalah, kelas internasional. Tapi, nggak semua buku menurutku menarik. Kayak Pride and Prejudice. Para pakar bilang itu novel bagus banget dan wajib dibaca. Tapi pengalamanku, baru baca beberapa halaman aja udah bosen. Sejauh ini yang menurutku bagus adalah Crime and Punishment. Halamannya banyak, tapi aku bisa bertahan baca karena penasaran aja sama nasib tokohnya.
Aku nggak ngerti, sih, apa kriteria sebuah buku sampe bisa dibilang bagus? Apa syarat-syaratnya sebuah karya bisa menang lomba atau penghargaan bergengsi. Menurutku, bagus atau nggaknya sebuah buku, ada hubungannya dengan selera.
Contohnya The God of Small Things. Buku itu menang Booker Prize tahun 1997. Tapi aku nggak tahan bacanya. Deskriptif banget, ngebosenin, ujung-ujungnya malah nggak paham ceritanya tentang apa. Biarpun lulusan Fakultas Sasta, nggak berarti semua karya sastra bisa masuk otakku. Puisi apalagi. Aku suka nulis dan baca puisi (tapi bukan dideklamasiin). Tapi kalo baca puisi karya orang, perlu bolak-balik jungkir balik biar aku bisa paham.
Jadi kalo orang lain bilang “novel anu keren” dan dapat award bergengsi, bisa aja itu nggak berlaku buatku.
Aku jadi inget cerita American Fiction. Tentang seorang penulis kulit hitam yang nggak PD karyanya diterbitkan. Tapi pihak penerbit keukeuh nerbitin. Si penulis nempuh berbagai cara buat ngebatalin penerbitannya. Setelah mengganti judul novelnya dengan istilah kasar, alih-alih nolak, si penerbit malah setuju nerbitin buku itu.
Yang lebih mengejutkan, novel itu masuk nominasi penghargaan buku bergengsi di Amerika. Sialnya lagi, si penulis kepilih buat jadi salah satu dewan juri. Untungnya di buku itu dia pake nama pena jadi juri-juri lain nggak tau kalo itu bukunya.
Waktu proses kurasi, bertemulah si penulis dengan rivalnya. Seorang penulis berkulit hitam juga yang karyanya best seller. Menurut si penulis best seller itu, bukunya si penulis tadi nggak layak jadi pemenang karena… kalo nggak salah, sih, karena terlalu mengada-ada atau mengekspoitasi kehidupan orang kuliy hitam. Mereka berdua sepakat untuk nggak meloloskan buku si penulis itu. Eeeh, tiga juri lain malah sepakat ngukuhin buku tadi jadi juara. Karena yang nggak setuju cuma berdua, kalah suara, deh, mereka.
See? Para dewan juri aja bisa beda pendapat nentuin siapa yang layak dapat penghargaan buku bergengsi itu. Soalnya masing-masing pasti punya pertimbangan yang berbeda.
Aku bukannya bermaksud menjelek-jelekkan buku-buku tertentu, terutama yang kusebutkan di atas. Tapi untuk menentukan sebuah buku bagus atau nggak, sekali lagi kubilang, itu ada hubungannya sama selera. Apa yang orang lain atau para pakar bilang bagus, belum tentu cocok sama preferensi kita.
Aku dulunya suka terkecoh dengan award-award atau prize-prize-an. Karya yang jadi juara belum pasti bagus menurutku. Ini pandai-pandainya kita mengenal diri sendiri, sih. Kalo kitanya tau persis gimana selera kita, apapun opini orang lain, nggak akan berpengaruh apa-apa buat kehidupan kita.