Pada daun yang terbaring di atas tanah,
tersirat kerinduan akan pohon yang telah ia besarkan,
dan akar yang memberinya hidup,
juga kuntum-kuntum sekar dan butir-butir buah yang pernah ia asuh dengan asih,
ulat yang hampir menggerogoti helainya,
dan burung yang meninggalkan kotoran di permukaannya.
Menanti daun itu pada binasa yang disebab api,
atau remuk tergerus sepasang sepatu,
hingga menjadi serbuk yang hujan leburkan dengan tanah.
Pada risalah yang terbakar
dan menjadi silalatu yang dihembus angin,
terpercik kerinduan akan kata-kata yang telah ia beri makna,
juga tinta yang menjadikannya bernyawa,
dan tafsir-tafsir tentang gulana yang menembus tingkap ilusi.
Berharap risalah itu pada ingatan untuk mengabadikan patinya,
menjadikannya kitab yang diselami sepanjang masa.
Pada laut yang membiru karena langit,
terbentang kerinduan akan sungai yang menuntunnya melewati liku,
juga ikan-ikan yang berceloteh tentang arus yang menuntun mereka,
dan muara yang mengantarkannya pada ombak.
Mengerti laut itu,
tanpa harus mengalir ke samudra,
matahari akan menjadikannya uap yang menimbun hujan,
menjadikannya siklus yang terus berputar.
Dan pada diri yang sedang menggambar garis pada wajah yang licin,
terkenang pagi kala surya merangkaki bahu bumi,
juga bara yang membakar arang menjadi jelaga,
dan hujan yang kadang tidak menjanjikan ketenangan.
Pasrah diri itu pada lembayung yang mengaburkan langit biru
dan meredam bising
langkah-langkah kaki yang berlari.