Menulis Orasi di Balik Pelaminan ngasih aku banyak perubahan. Dari yang tadinya sulit konsisten nulis sebuah cerita, jadi istikamah menulis sebuah cerita tanpa terdistraksi ide cerita lain (kecuali sekuelnya). Dari yang tadinya kerasan di zona nyaman dengan menulis cerita tentang hal-hal kecil dalam keseharian, jadi berani merambah bidang baru yang sebelumnya males aku pelajari. Dari yang tadinya “ngarang, ya, ngarang” aja, jadi bikin riset yang cukup serius dengan googling sana-sini, baca ini-itu. Nggak pake wawancara atau observasi lapangan. Terlalu ribet buatku.
Waktu baca Supernova: Ksatria, Puteri, dan Bintang Jatuh kelas tiga SMA dulu, aku emang pengin nulis cerita yang dialog-dialognya cerdas kayak percakapan Dimas dan Ruben. Kalo Supernova ilmiah, aku pengin yang sosial-sosial aja. Tokoh-tokohnya debat, tapi ada nada humornya juga. Tapi sampai Agustus kemarin belum kepikiran nulis cerita kayak gimana.
Gara-gara Agustus Kelabu, jadi terpantik, deh, bikin cerita tentang aktivisme. Terutama mahasiswa. Tapi aku nggak mau kalo tokohnya omon-omon doang. Dia harus cerdas, baca banyak buku, jadi punya landasan kuat kenapa dia bergerak.
Lahirlah Albi, mahasiswa aktivis jurusan HI. Kenapa HI? Bukan keren-kerenan, ya. Tapi kupikir, anak HI harus punya wawasan luas terutama soal politik dalam skala luas, bukan masalah personal atau lingkup negara aja. Anak HI juga harus baca banyak buku, mikir panjang, punya gudang kata-kata buat berdebat… Nggak tau, sih, ini bener atau nggak. Tapi bayanganku kayak gitu. Dan imajinasi itu kubangun dalam karakter Albi.
Sebagai “emaknya”, aku juga nggak boleh kalah pinter, dong. Demi Orasi di Balik Pelaminan dan kelangsungan hidup Albi di sekuelnya nanti, aku juga harus baca banyak buku. Gulir-gulir IG, baca postingan @berdikaribook, kurekap list buku yang sebaiknya aku baca. Ada banyak banget. Tapi karena keterbatasan anggaran buat beli buku, kemageran yang bikin aku ogah pinjem ke perpus (kecuali mediatek IFI), aku cuma bisa pinjem di iPusnas. Jadi, banyak juga, sih, buku di list yang nggak aku temuin.
Tapi, nggak berarti aku nyerah. Aku baca buku yang aku temuin di iPusnas. Kisah Tan Malaka berdasarkan Tempo, Menuju Indonesia Merdeka, Menjadi Aktivis Kampus Zaman Now, Menjadi Polisi yang Berhati Nurani dan Sederhana (sorry kalau judulnya nggak tepat), dan ada lagi beberapa buku yang aku nggak catet judulnya tapi relate sama ceritanya Albi dan Lara.
Ke depannya, kalo nulis sekuel Albi, aku harus lebih baca banyak buku lagi. Terutama tentang politik, sosial, dan aktivisme. Soalnya ceritanya seputar itu. Beda lagi sama naskah yang lagi kugarap. Salah satu tokohnya mahasiswa peternakan. Jadi, ya, kemarin-kemarin itu aku baca buku tentang pakan ternak. Ini juga di luar kemampuanku. Sejak kapan aku tertarik dengan peternakan? Taunya cuma makan produknya doang.
Ada buku yang aku baca sampai tamat dan ngerti isinya. Ada juga yang aku baca sebagian aja udah puyeng. Cuma nangkep dikit-dikit. Kadang aku stres, kok, aku bego banget, ya, nggak ngerti bacaan kayak ginian?
Tapi sebenernya soal ngerti atau nggak sama buku yang kita baca, itu wajar-wajar aja. Manusia, kan, nggak sempurna, ya. Dia keliatan sempurna bisa jadi karena apa yang dia sandang cocok buat dia. Bacaan juga gitu. Mudah dipahami, isinya relate sama kehidupan kita, bahasanya enakeun, bisa jadi karena buku itu sesuai sama kebutuhan kita. Jodoh-jodohanlah.
Jadi, aku juga nggak maksain diri buat bisa paham sebuah buku yang jelas-jelas bahasanya njelimet buatku. Begitu baca sampe setengahnya terus aku keblinger dengan isinya, aku stop dulu terus ganti baca buku lain. Mungkin kalo suatu hari nanti perlu, aku bakal pinjem buku itu lagi. Tapi minimal, dengan baca seperempat bagiannya aja, ada satu-dua kalimat yang aku ngerti walaupun kalimat itu bukan inti dari bukunya. Hehehe.
Belakangan ini, perjalanan nulisku sama dengan perjalanan baca. Kayaknya porsinya imbang, deh. Nggak semua isi buku yang aku baca tumpah ke tulisanku. Dari sekian banyak bacaan, mungkin cuma 30% yang keliatan di buku. Tapi aku perlu baca buat nyawa tulisanku. Buat bahan bakarnya. Ibaratnya, kita butuh tenaga buat lari sejauh 10 kilometer. Nggak cuma dimodalin asal makan, tapi juga harus bergizi. Beda, kan, bahan bakar yang berkualitas sama yang B aja?
Bacaan yang aku baca pun sekarang lebih banyak nonfiksi. Bukan berarti aku nggak mentingin fiksi. Karya fiksi atau sastra juga penting, kok. Tapi ini sesuai selera dan kebutuhanku saat ini aja. Dan semakin banyak yang kubaca, semakin aku ngerti kalo masih banyak yang aku belum tau dan paham.
Pantes aja, padi yang udah mateng kepalanya merunduk, bukan mendongak.