Tak seperti bocah kebanyakan,
hujan adalah anak yang mandiri.
Setelah dilahirkan awan,
ia tidak menangis ataupun minta menyusu.
Tidak pula seperti burung
yang harus belajar terbang dan diberi makan.
Hujan terlahir pandai terjun tanpa parasut.
Ia tidak takut luka meski jatuh di atas batu-batu.
Ia tahu, setiba di bumi,
ia harus menggali tanah,
membuat tempat untuk tinggal.
Bersama akar rerumputan,
hujan menjalani hari-harinya dalam gelap.
Ia bukan anak cengeng
yang merengek minta pelita.
Sebaliknya, hujan membimbing rumput
untuk tumbuh dan berani muncul ke permukaan.
Berkat hujan pula, cacing tanah tak pernah keriput.
Ia senang hujan membasahi tubuhnya,
membuatnya selalu lembap dan mengilat.
Membuat tanah empuk
hingga enak buat meringkuk.
Awan pun tak pernah merisaukan hujan.
Ia mengandung hujan cukup lama,
mendidiknya agar tak sia-sia bagi bumi.
Tak pernah awan meminta hujan untuk pulang.
Sebab ia percaya, hujan akan merindukannya
dan akan pulang bersama hangat matahari.
Hujan tak pernah sedih meninggalkan langit.
Hujan adalah bocah petualang.
Ia turun bukan untuk dikekang.
Tak ada cawan yang mampu menahannya.
Bendungan, telaga, bahkan samudra
hanyalah tempatnya sementara.
Hujan selalu ingin mengalir.
Hujan mencintai siklus.
Hujan tak mau menjadi derita bagi semesta.