Gerimis

Gerimis pagi ini. Matahari kedinginan. Selimutnya basah. Cahayanya masuk kamarku dengan lemah. Semoga dia tidak sakit flu.

Aku juga pernah kehujanan. Mungkin sering. Dari gerimis sampai hujan deras. Yang aku suka, ya, gerimis. Tetesnya tidak menyakiti kepalaku. Gerimis itu seperti jari-jari anak kecil yang malu-malu mengambil biskuit cokelat di dalam stoples saat diajak mamanya bertamu ke rumah saudara.

Gerimis juga seperti air mata yang jatuh barang satu-dua tetes ke pipi. Tidak deras karena memang tidak ada yang perlu ditangisi. Kesedihan kadang hanya perlu diakui, karena itu sangat manusiawi.

Gerimis itu seperti lagu ninabobo yang membuatmu enggan melakukan apa-apa, bahkan ke toilet. Kamu memilih tidur di atas kasur yang busanya masih keras atau sudah lembek. Dengan bantal yang sudah bau karena ketetesan ilermu saat tidur terlalu lelap. Juga guling yang sudah kempes karena kamu memeluknya terlalu erat. Gerimis membuatmu nyaman karena kelembutannya.

Gerimis mampu membangkitkan aroma rumput yang segar. Yang membuatmu bagai mendapat hari yang baru, harapan yang baru, suasana yang baru. Segar yang sejuk sekaligus hangat. Seperti kamu yang pulang malam dan kecapekan, lalu mandi air hangat. Lelahmu hilang, dan kamu mengantuk.

Gerimis adalah panah-panah kecil yang mengantarmu pada kenangan yang sudah dikubur. Kenangan tentang seseorang, tempat-tempat yang pernah kausinggahi, kebodohan-kebodohan yang membuatmu terbahak-bahak sekarang tapi dulu kau tutup-tutupi karena malu kalau ketahuan.

Gerimis turun rapat-rapat, seperti takut kena damprat emak-emak yang menjemur pakaian. Pernahkah gerimis datang sendirian? Aku tak pernah melihatnya. Gerimis itu seperti gerombolan penyamun yang menculik tandus padang pasir, dan menyanderanya agar gurun memberikan sedikit lahan bagi mereka untuk membangun oase. Supaya tak ada gersang yang merajalela.

Mungkin perumpamaan yang kubuat begitu berlebihan. Aku hanya ingin menunjukkan bahwa gerimis adalah sumber ilham. Hebat, kan? Gerimis, si hujan kecil-kecil, bisa menjadi sumber khayalanku. Dan kau bertanya, bagaimana bisa? Bagaimana prosesnya?

Tentu saja karena aku suka menonton gerimis di jendela. Bagiku, gerimis adalah sebuah tontonan yang selalu dirindukan. Padahal gerimis itu kurus. Sama sekali tidak menggemaskan. Gerimis tidak bisa dipeluk, apalagi dicubit.

Lalu, kenapa aku suka gerimis?

Mungkin karena gerimis itu seperti mencintai. Pelan, tapi pasti. Seperti tetesan air yang mampu melubangi batu. Butuh kesabaran, ketekunan, dan kerelaan. Karena kadang mencintai itu membosankan. Sama halnya dengan gerimis yang adalah repetisi. Gerimis selalu datang berulang, bergiliran dengan hujan deras. Kadang datang bersama petir, tidak jarang juga datang diam-diam sampai kamu tak sadar kalau gerimis mengintipmu dari jendela.

Gerimis pernah melihatmu menangis, telanjang, tersenyum sendiri. Tapi tak perlu malu sama gerimis. Gerimis bisa menyimpan rahasiamu. Seperti buku harian yang ada gemboknya. Yang kuncinya kamu sembunyikan tak tahu di mana. Gerimis menjadi saksi untuk semua cerita yang kamu lalui.

Gerimis adalah candu semanis madu. Bikin kamu ketagihan. Semakin kamu hanyut dalam derainya, semakin kamu mencintainya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.