When Agustus Nggak Kayak Agustus

Dua hari ini aneh banget. Dua hari yang lalu, sih, yang lebih aneh. Masa’ ujan turun di bulan Agustus? Biasanya, kan, bulan Agustus cuaca lagi panas banget. Tanah sampe kering, rumput banyak yang mati.

Jadi kemaren itu subuh-subuh langit mendung. Kadang-kadang emang kayak gitu. Subuhnya mendung, tapi seharian nggak ujan. Aku juga PD-PD aja ngejemur cucian kayak biasanya.

Anak-anak berangkat sekolah seperti biasa. Ara nggak bawa jas ujan soalnya ini bukan musim ujan. Tau-tau nggak lama setelah aku pulang dari pasar, ujan deres, dong. Untungnya aku udah pulang dan anak-anak jam segitu udah nyampe sekolah, udah mulai pembiasaan.

Tapi karena ujannya tiba-tiba banget, aku nggak sempet nyelametin jemuranku yang masih netes-netes. Mereka pasrah diguyur ujan.

Siangnya, langit gantian mendung dan panas. Jemuranku kering juga akhirnya dan aku berharap moga-moga nggak ujan lagi sebelum anak-anak sampe rumah.

Ternyata, sorenya ujan, dong. Lumayan deres kayak waktu pagi. Kira sampe nggak bisa sepedaan sore dan Ara masih di sekolah. Aku berharap ujannya brenti waktu Ara pulang.

Ternyata pas Ara pulang, ujan gerimis dan dia nggak pake pelindung apa-apa. Basahnya cuma dikit, sih. Tapi kasian juga dia pulang sekolah keujanan.

Karena dua hari yang lalu udah ujan, kirain kemaren cuacanya bakal bagus. Pagi-pagi emang sempat mendung, tapi kemudian langit cerah dan jemuranku kering semua. Eeeh, pas waktunya Ara pulang, ujan deres.

Ara bawa jas ujan, sih, sesuai permintaannya. Tapi pas nyampe rumah tetep aja baju seragam dan sepatunya basah. Kasian, kali ini dia keujanan cukup parah.

Kenapa, ya, cuaca berubah kayak gitu? Sebelumnya emang udah diprediksi kalo taun ini musim ujan bakal datang lebih awal. Tapi nggak di bulan Agustus juga keleueueus. Musim ujan biasanya, kan, dimulai di bulan-bulan berakhiran -ber.

Agustus kayak bukan Agustus lagi. Di bulan yang seharusnya full semangat agustusan, ketika lomba-lomba diselenggarakan di bawah terik matahari, taun ini diadakan di bawah langit mendung dan guyuran ujan. Kalo ada panjat pinang, pinangnya nggak usah dilumirin pelicin lagi. Soalnya licinnya udah ada dari air ujan. Yaaa… walaupun licinnya beda.

Aku jadi inget, Albert Camus pernah bilang kayak gini, “autumn is the second spring when every leaf is a flower.” Kutipan ini mengubah persepsiku soal musim gugur. Yang tadinya terkesan gloomy, jadi berwarna karena beberapa pohon berubah warna jadi merah atau warna-warna gonjreng lain. Nggak selalu harus cokelat dan langitnya abu-abu.

Artinya, nggak semestinya kita memandang hal-hal yang nggak biasa sebagai sesuatu yang buruk. Tapi sebagai sesuatu yang baru dan berbeda.

Ditambah kata Heraclitus, “the only constant is change.” Kita nggak bisa menghindari perubahan. Perubahan itu niscaya. Namanya juga idup. Nggak semua hal selalu sama, kan?

Published by


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Hayooo... Mau apa?