Keranjang belanja, kresek bekas layak pakai, kotak thinwall. “Perlengkapan perang” saya kalau ke pasar. Kresek kadang tidak terpakai kalau saya kalah beretorika dengan penjual di pasar. Biarlah, daripada ribut-ribut perkara kresek. Butuh waktu dan kesabaran untuk menjelaskan kalau kita sedang mengurangi sampah plastik dan menolak kresek.
Sebetulnya tidak ada yang salah dengan kresek. Kresek mempermudah hidup kita. Kresek banyak membantu kegiatan kita, khususnya soal makanan. Enteng dibawa. Habis dipakai tinggal dibuang. Namun mengingat kressk sangat merusak lingkungan, kita pun setuju kalau penggunaan kresek, atau bahan plastik lainnya, dikurangi. Akan lebih baik lagi kalau dinolkan alias hidup tanpa plastik.
Bisakah?
Seharusnya bisa. Orang-orang zaman dulu bisa bertahan hidup tanpa plastik atau bahan sintetis lainnya. Misalnya:
- Membungkus atau membuat alas makanan dari daun. Atau, kalau mengirim makanan pakai rantang.
- Pembalut atau popok bayi dibuat dari kain yang dilipat lalu ditumpuk.
- Sabun dan sampo dari tanaman, misalnya lerak.
- Pencegah bau badan dari tawas.
- Tisu pakai saputangan.
Pada beberapa makanan, daun masih digunakan. Seperti lontong, ketupat, bugis, nagasari. Bahkan nasi bungkus pun memakai daun. Kesalahannya, ditambahi kertas nasi. Tujuannya masuk akal: supaya tidak ada minyak atau kuah tumisan yang menetes. Kalau dalam nasi kotak, makanan yang mengandung cairan ditempatkan di wadah plastik. Bukan solusi jitu juga, sih, karena tetap saja nyampah. Dan untuk nasi bungkus, kalau ada wadah tambahan juga bukan solusi karena jadi tidak praktis.
Sedangkan untuk popok, sekarang ada popok berulang kali pakai atau clodi (cloth diaper). Jadi kalau kotor, alih-alih dibuang, bisa dicuci dan dipakai lagi. Sama halnya dengan pembalut. Ada pembalut kain dan menstrual cup. Semuanya bisa mengurangi sampah. Tapi masih banyak yang belum familiar dengan semua itu. Masih banyak yang belum menggunakannya (termasuk saya). Sehingga, penggunaan pospak (popok sekali pakai) dan pembalut biasa pun masih banyak.
Teknologi bisa mempermudah kehidupan sekaligus merusak lingkungan. Keterbatasan membuat kita bisa memaksimalkan apa yang ada sekaligus menciptakan apa yang belum ada.
Tapi pada akhirnya, kita harus memilih mana yang sesuai dengan kebutuhan dan kehidupan kita.