Beberapa waktu lalu ada yang namanya program 30 Hari Menulis. Ini adalah sebuah program yang dirancang Theoresia Rumthe dan Maradilla Syachridar, di mana para blogger menulis setiap hari selama 30 hari.
Program 30 Hari Menulis, seperti kata Dilla dalam Salamatahari, dimaksudkan untuk mengembalikan semangat blogging. Gara-garanya Raditya Dika pernah men-tweet bahwa dia jarang memposting blog karena sudah punya Twitter.
Sejak ada Twitter, orang-orang tampaknya berbondong-bondong membuat akun di sini dan secara rutin meng-update-nya. Twitter tidak seperti blog ataupun Facebook. Di Facebook ada note-nya, tempat kita bisa menulis panjang-lebar. Di status pun kita bisa menulis panjang-panjang karena tidak ada batasan karakter. Sedangkan di Twitter sebaliknya, ada pembatasan karakter dan tidak ada note.
Jadi dalam sehari, Tweeps (pengguna Twitter) bisa men-tweet sebanyak puluhan kali. Tulisan yang biasanya bisa diposting sekaligus, ini harus berkali-kali karena terpotong oleh jumlah karakter. Saya akui, saya juga sering melakukan hal seperti itu. Tapi kalau membaca tweet orang lain, rasanya hal itu mengganggu juga.
So, kenapa tidak menulis blog saja? Kita puas menulis sebanyak-banyaknya yang kita mau. Lagipula, seringkali saya mendapati blog-blog yang terbengkalai. Tidak pernah di-update setelah sekian lama oleh pemiliknya. Bahkan ada yang tidak ada postingan sama sekali.
Dengan adanya program 30 Hari Menulis, orang-orang bisa kembali ngeblog dan memberdayakan kembali blognya yang tidak dipakai atau jarang di-update.
Ada yang berpendapat ngeblog itu sebaiknya dilakukan setiap hari. Tapi ada juga yang berpendapat bahwa ngeblog cukup seminggu sekali. Saya tidak tahu mana yang benar. Menurut saya, ngebloglah kapan saja kalian mau. Mau seminggu sekali, seminggu dua kali, setiap hari, dua kali sehari… terserah. Toh blog sejatinya adalah milik pribadi. Pemilik blog boleh mengatur postingan kapan saja dia mau.
Jadi, mau ikutan 30 Hari Menulis atau tidak, itu keputusan kalian.
Happy writing… Happy blogging…