Tempat Sampah Bertopi dan Facebook

Di kamar saya di rumah Cicalengka, ada tempat sampah bertopi. Biasanya tempat sampah itu saya gunakan untuk membuang sampah kering. Kertas atau plastik bekas yang masih bersih namun tidak mungkin lagi digunakan. Sementara kemasan bekas makanan atau sisa makanan, saya buang ke tempat sampah luar. Saya tidak mau kamar saya banyak semutnya walau mereka hanya mengerubungi tempat sampah.

Namun tidak bisa dihindari juga kalau kadang-kadang keponakan saya dengan nakalnya membuang sampah organik ke tempat sampah bertopi, meski sudah saya larang. Bagaimana lagi, saya hanya bisa segera membuang sampah tersebut ke luar.

Kalau tidak ada kerjaan, sering saya menatap tempat sampah bertopi lama-lama dan berpikir tentangnya. Tempat sampah bertopi beda dengan tempat sampah biasa yang tidak bertopi. Bukan hanya dalam bentuk, tapi juga sifat.

Tempat sampah tidak bertopi, karena tidak memiliki tutup di bagian atasnya, terbuka. Apa yang ada di dalamnya bisa ia beritahukan kepada siapa saja. Mulai dari sampah yang meninggalkan aroma wangi (semisal botol bekas deodoran) sampai sampah yang berbau busuk. Tidak ada rahasia yang ia simpan. Semua hal ia umbar.

Sedangkan tempat sampah bertopi, karena punya tutup di kepalanya, tertutup. Ia menyimpan dengan apik apa yang ada di dalamnya. Tidak dibiarkannya orang-orang mencium isinya kecuali jika topinya dibuka. Aroma wangi maupun busuk tidak sampai diketahui orang. Tempat sampah bertopi rela memendam berbagai aroma dan jenis sampah (saya yakin jarang sekali ada orang yang konsisten memisahkan sampah organik dan anorganik) supaya orang-orang di sekitarnya tidak merasa terganggu.

Apa hubungannya dengan Facebook?

Teman saya pernah menulis status yang isinya kira-kira bahwa Facebook adalah tempat segala keperluan. Mulai dari curhatan pribadi, ajang promosi, tempat berjualan, dan entah apa lagi. Intinya, di Facebook orang bisa berbuat apa saja demi kepentingannya sendiri. Saya pun mengakui, saya menggunakan Facebook juga untuk berbagai keperluan. Mengetahui kabar saudara-saudara saya, curhat, menyimpan tautan yang saya suka, atau mempromosikan buku atau blog.

Saya tidak mempermasalahkan Facebook sebagai tempat jualan atau promosi. Bagaimanapun, ada banyak keuntungan dari kegiatan ini. Bagi pemilik akun atau bisnis, ini adalah online marketing, salah satu cara yang digunakan penjual untuk menjangkau daerah sejauh mungkin dalam rangka memasarkan produknya. Sedangkan bagi Facebookers, mereka bisa mendapatkan informasi mengenai sebuah barang, yang barangkali mereka butuhkan.

Sementara Facebook sebagai tempat curhat pribadi… Ini yang akan saya bincangkan di sini. Dulu saya suka menulis status tentang apa saja, bahkan mengenai hal yang tidak penting sekalipun, atau sesuatu yang seharusnya tidak saya bocorkan. Seakan-akan saya tidak sadar bahwa ada banyak orang yang mungkin membaca status saya dan menertawakan atau mencemoohnya. Hingga akhirnya saya sadar dan malu sendiri sudah blak-blakan di depan banyak orang. Ditambah jenuh karena Facebook gitu-gitu aja, saya pun mengurangi frekuensi Facebook-an. Dalam seminggu hanya satu kali saya buka Facebook dan sebisa mungkin saya tidak menulis status.

Namun karena kepentingan pekerjaan, saya kembali aktif di Facebook. Dan sekarang, saya kembali rajin membuka Facebook untuk mengetahui kabar dari keluarga di Bandung. Untuk itu, tidak jarang saya menelusuri berita demi berita yang muncul di homepage.

Seharusnya saya membaca yang penting-penting saja. Tapi dasar sok detektif, saya sering juga membaca status orang. Dan… saya kerap menemukan status-status yang isinya membuat saya tidak nyaman membacanya. Apa lagi kalau bukan status yang isinya berupa amarah atau omelan?

Saya hanya bingung, sebetulnya untuk siapa seorang Facebooker menulis status berupa curhatan? Dirinya sendiri atau orang lain? Saya akui, saya juga masih menulis status untuk diri sendiri. Sekedar melepaskan unek-unek, kebingungan, atau kebahagiaan yang meluap terlampau banyak. Namun sebisa mungkin saya tidak memperlihatkan kalau saya sedang ngamuk. Membaca “amukan” orang lain membuat saya gerah. Bisa dipastikan kalau saya berbuat sama, orang lain pun akan gerah membacanya.

Ada orang yang setiap hari ngedumel tentang masalahnya dengan orang lain (entah mengeluh atau mengadu pada siapa). Sampai-sampai saya berpikir, ini orang apa nggak ada kerjaan lain ya selain berantem dengan tetangganya?

Saya tidak mau ambil pusing dengan urusan orang lain. Saya juga tidak melarang orang lain untuk berbicara apa saja. Kalau kata-katanya menggerahkan, ya tidak usah didengar. Tapi tidak bisa disangkal kalau saya merasa sangat terganggu dan menyayangkan jika Facebook yang diciptakan untuk tujuan yang baik malah diisi omelan.

Saya sendiri ketimbang ngomel-ngomel di “tempat publik”, lebih baik “ngumpet”. Saat sedang marah, saya sama sekali tidak menyalakan komputer. Kalau mau ngomel-ngomel, saya menulis di kertas (bekas  pun tidak jadi soal), kalau sudah puas saya buang kertasnya.

Masalahnya, Facebook bisa diakses dari mana saja, semisal ponsel. Jadi orang dapat dengan mudah membuka Facebook dan berceloteh sesenang mereka. Yang penting perasaan plong, tidak ada lagi beban, begitu biasanya yang dijadikan alasan seseorang untuk ngomel-ngomel di media sosial. Padahal kalau saya pikir, tidak begitu juga. Bayangkan saja, saat kita berada di tempat umum lalu ngamuk-ngamuk, apa yang orang pikirkan tentang kita? Ngamuk sekali barangkali akan dilupakan orang. Tapi kalau berkali-kali?

Saya hanya belajar dari tempat sampah bertopi. Ia menyimpan, bahkan, sesuatu yang busuk, yang bisa membuat dirinya stres. Menyimpan amarah memang membuat tidak nyaman. Tapi saat kita tahu orang lain menginginkan kedamaian dan kita berusaha mewujudkannya, yang akan merasakan dampak baik tidak hanya orang lain, tapi juga kita sendiri.

Tags :

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.