Tak Harus Menulis Buku

Jujur saja, saya kerap kesal kalau ditanya, “lagi nulis buku apa?” Membuat saya bingung harus menjawab apa. Setelah Satin Merah terbit 12 tahun yang lalu, saya hanya menulis kumpulan cerpen Bukan Manusia. Selebihnya adalah buku-buku orang lain. Yup, saya adalah penulis bayangan alias ghostwriter. Dan sebagai seorang ghostwriter, saya harus menjaga identitas klien saya, berikut buku yang saya tulis atas nama mereka.

Profesi penulis memang kerap diidentikkan dengan penulis buku. Padahal, penulis itu banyak jenisnya. Ada jurnalis, kolumnis, esais, cerpenis, novelis, penyair, penulis naskah (teater atau film), penulis konten, penulis wara, penulis bayangan, narablog, dan entah apa lagi kalau masih ada.

Apalagi, di zaman serba canggih ini, ungkapan “buku adalah gudang ilmu” tidak begitu relevan seperti dulu. Orang cenderung memilih internet untuk kepoin apa saja, karena lebih praktis.

Tentu, saya masih membaca buku fisik. Kadang membelinya juga kalau ada rezeki lebih dan benar-benar membutuhkan bukunya. Tapi jika ada pilihan buku digital, kemungkinan besar saya akan memilih buku digital alih-alih buku cetak. Bukannya saya tidak lagi menikmati sensasi memegang buku, membuka-buka halamannya, merasakan kertasnya, dan memajangnya di rak buku. Tetapi karena tidak cukup space di rumah, dan buku fisik itu merepotkan (harus dibersihkan supaya tidak berdebu, harus menatanya supaya rapi, kalau mau pindahan harus mencari kardus untuk mengangkutnya).

Saya akui, ada sebuah kebanggaan ketika novel saya dan Brahm terbit. Mulai dari nama kami tercantum di kover, jadi banyak orang yang mengenal kami, dan buat portofolio. Tetapi setelah buku itu terbit, tugas kami tidak lantas berakhir. Mempromosikan novel adalah agenda utama kami. Kami melakukan semacam roadshow. Brahm kebagian di Surabaya sendirian. Setelah itu, dia meluncur ke Bandung dan bersama saya meworo-worokan Satin Merah di Gramedia Istana Plaza dan radio MGT.

Senang? Tentu. Tapi juga tidak nyaman. Secara, itu adalah pertama kalinya saya bicara di depan umum. Meski di radio kami siaran dan cuma suara kami yang diperdengarkan ke publik, tetap ada rasa tidak nyaman. Ada rasa was-was, gimana kalau nggak ada yang denger? Gimana kalau nggak ada pengunjung Gramedia yang nggak tertarik datang ke launching buku kami?

Kenyataannya memang tidak separah itu. Ada, kok, yang denger. Ada juga yang tertarik menyaksikan kami meluncurkan Satin Merah.

Tapi kalau boleh jujur, kami tidak mau melakukan semua itu. Kami lebih nyaman menulisnya.

Menulis itu pekerjaan intelektual. Ketika menulis, kamu harus berpikir keras. Melibatkan logika, wawasan, khayalan, sensori, pengalaman, memori, linguistik, estetika, etika, dan mungkin masih banyak lagi.

Menulis itu melelahkan. Energimu bisa terkuras walaupun kamu terlihat hanya duduk dan diam; hanya tanganmu yang bergerak. Tetapi otakmu digunakan secara penuh.

Tapi… TAPI… Menulis itu menyenangkan. Kamu bisa menceritakan khayalanmu. Kamu bisa menjadi siapapun yang kamu mau. Kamu bisa menggunakan bahasa yang indah yang tidak bisa kamu gunakan dalam kehidupan sehari-hari. Kamu bisa pergi ke sebuah tempat yang belum pernah kamu kunjungi (dalam khayalan sekalipun). Kamu bisa berkenalan dengan orang-orang yang ada hubungannya dengan tulisan kamu. Kamu bisa menciptakan duniamu sendiri.

Menulis itu harus dilakukan dengan rasa suka. Kalau kamu menulis hanya karena ingin kaya atau terkenal, kamu tidak akan bertahan. Banyak tantangan dalam menulis seperti kesulitan mengembangkan ide, naskahmu ditolak penerbit atau surat kabar, lingkungan yang tidak kondusif, karyamu di-bully orang (bahkan mungkin diberangus).

Menulis itu harus dengan kerelaan. Ketika karyamu dilepas ke publik (misalnya diterbitkan jadi buku, dimuat di surat kabar, diposting di blog atau medsos), itu artinya karyamu juga jadi milik orang lain. Dan orang bisa berbuat apa saja terhadap karyamu.

Kembali ke soal buku. Kalau kamu menulis dengan rasa suka dan rela, berarti kamu adalah penulis sejati. Kamu tidak memikirkan apakah tulisanmu jadi buku atau tidak, apalagi menerima royalti. Kamu tidak memikirkan apakah tulisanmu akan membuatmu jadi terkenal atau tidak. Kamu tidak berharap tulisanmu akan disukai orang atau tidak.

Kalaupun karyamu menjadi buku, berbanggalah. Tapi bukan karena namamu ada di kovernya. Bukan karena bukumu laris manis dan dicetak berulang-ulang. Bukan pula karena kamu jadi tenar dan jutawan.

Berbanggalah karena proses yang kamu lalui. Bagaimana kamu berusaha fokus pada apa yang kamu tulis. Bagaimana kamu melawan rasa malas dan ingin rebahan saja. Bagaimana kamu mematahkan opini orang yang mematahkan semangat kamu. Bagaimana kamu menyediakan waktumu untuk menulis, baik kalau kamu penulis purna waktu atau hanya paruh waktu. Bagaimana kamu mempertahankan idemu hingga sampai halaman akhir.

Karena sekarang zamannya internet, menulis pun tidak harus terpaku pada menulis buku. Kamu bisa menulis konten, naskah untuk YouTube atau siniar, bisa juga kamu menulis di platform menulis. Tulisan sependek apapun adalah karya. Jadi, tidak perlu berkecil hati kalau kamu tidak menulis buku.

Apalagi, dengan banyaknya alternatif wadah untuk menulis, kamu juga punya banyak pilihan seandainya naskahmu ditolak penerbit dan kamu belum mampu untuk menempuh jalur self-publish.

Semua tergantung kamu. Kamu yang memilih mau menulis apa, menjadi penulis apa, jalan mana yang kamu pilih untuk menerbitkan karyamu.

Menulislah untuk menyelesaikan kegelisahanmu. Menulislah untuk dirimu sendiri. Untuk kepuasanmu, pertama-tama. Baru kepuasan pembaca.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.