Sebuah Reuni Daring Singkat dan Mendadak

Tepat hari Senin kemarin, menjelang sore ketika sedang menunggu anak-anak mengaji, saya buka IG, menyimpan foto di sana. Di waktu yang sama, Hendra, salah seorang sahabat saya semasa kuliah, juga sedang online. Awalnya kami berkirim DM. Kemudian Hendra ngajak video call.

Lalu kami mengobrol cukup banyak di waktu yang cukup singkat, diselingi angin berhembus yang membuat sinyal internet di ponsel saya berkali-kali mati, lalu nyambung lagi. Waktu reuni yang kurang dari satu jam rasanya tidak cukup. Banyak sekali yang ingin kami bicarakan. Maklum, terakhir kami bertemu adalah 16 tahun yang lalu.

Tapi, rasanya lebih dari itu kami tidak ngobrol. Sejak awal kuliah, Hendra masuk geng saya. Kami terdiri dari 11 orang waktu itu, terdiri dari saya, Atih, Retno, Serina, Bunga, Tia, Hendra, Riswanto, Elita, Wendi, dan Lina. Selama dua semester kami bersama-sama, kuliah bareng, makan bareng, kadang main di kosan teman (kebanyakan anak rantau).

Lalu, satu per satu keluar. Ada yang kuliahnya dobel dan memilih untuk keluar dari Sastra Perancis, ada yang pindah ke perguruan tinggi lain, ada yang kuliahnya beda mulai semester tiga, ada juga yang ghosting. Tapi karena kebanyakan masih menetap di Sastra Perancis, biasanya kami menyempatkan untuk ketemu pada jam istirahat dan maksi bersama. Atau kami manfaatkan mabim untuk reuni kecil-kecilan.

Di semester tujuh, ada lagi perpisahan babak kedua. Sebagian dari kami sudah memilih jurusan. Ada yang sastra, ada juga yang linguistik. Jadi, di fakultas sastra itu (kecuali jurusan sejarah), ketika menginjak semester tujuh, mahasiswa diharuskan memilih sastra atau linguistik untuk diperdalam. Saya memilih linguistik bersama Retno, sedangkan Hendra dan Serina masuk sastra.

Beda kuliah, beda jadwal, kadang beda tempat kuliahnya juga, membuat hubungan kami renggang. Kalau kebetulan ketemu, bisa ngobrol walau sebentar. Tapi seringnya, kami tidak tahu masalah masing-masing.

Waktu kelulusannya juga beda. Hendra lulus duluan bersama Serina dan Retno. Saya datang ke wisuda mereka bersama Atih, Bunga, Tia, dan Wendi. Ketika saya yang wisuda di gelombang berikutnya, Retno, Hendra, Bunga, Atih, dan Tia hadir. Serina mungkin sudah di Prancis waktu itu.

Pasca wisuda, saya masih ke Jatinangor untuk menyelesaikan urusan administrasi dan main ke kosan Retno. Sekalian cari inspirasi mau kerja apa dan di mana.

Ketika sudah tidak ada urusan lagi di Jatinangor, ada lagi perpisahan berikutnya. Dengan teman-teman saya yang lain. Pada beberapa kesempatan, kami masih bertemu. Seperti saya dan Atih yang sempat jalan-jalan (Atih ikut menemani saya riset untuk Satin Merah ke PSS dan Rumah Baca Buku Sunda jeung Sajabana). Retno juga menemani saya ke kampus waktu saya ada urusan terkait Satin Merah. Waktu itu tahun 2010.

Setahun kemudian, saya menikah. Hanya mengundang orang-orang terdekat dan tahu rumah saya. Di antaranya Atih, Bunga, dan Retno. Retni tidak datang sehingga diwakili adiknya.

Lepas itu… Kami menjalani kehidupan sendiri-sendiri. Saya juga pindah domisili ke Surabaya, punya anak… Kabar mengenai teman-teman saya, saya dapatkan melalui Facebook dan Instagram. Tapi karena bukan pegiat medsos, saya sering ketinggalan berita.

Jadi ketika video call bersama Hendra dan bertukar kabar tentang teman-teman kami, buat saya itu seperti membuka harta karun. Saya  tidak pernah menghitung isinya, tapi saya tahu itu sangat berharga.

Ya, teman itu sangat berharga. Kehilangan teman itu… Duh! Sedih banget!

Belasan tahun tidak bertemu dan terpisah ruang (saya di Surabaya, Hendra di Sydney), bisa dipastikan, banyak hal yang tidak kami ketahui. Banyak perubahan pada diri kami masing-masing dan kami tidak bisa saling menyaksikan. Kami tumbuh sendiri di ranah yang berbeda. Tahu-tahu, begitu ketemu lagi, kami sudah menjadi orang yang lain dari sebelumnya.

Tapi, banyak juga peristiwa di masa lalu yang kami ingat, kebodohan-kebodohan yang pernah kami perbuat dan alami. Saya dan Hendra kebetulan tidak pernah punya konflik. Tapi kalaupun ada, paling-paling kami bakal ketawa.

Itu baru saya dan Hendra. Berdua saja sudah heboh, apalagi kalau banyakan.

Kami menunggu kabar dari teman-teman kami yang lain. Untuk berbagi cerita tanpa meninggalkan kesan pamer. Karena pada jarak yang membentang di antara kami, waktu yang kami lewati sendiri-sendiri, terdapat berbagai masalah dan tantangan yang mati-matian kami hadapi.

Semoga ada kesempatan untuk kembali berjumpa.

Pohon terus tumbuh

Daun tua lepas dari dahan

Berganti daun baru

Tapi akarnya masih bertahan

Di dalam tanah yang sama

Published by

Rie Yanti

A wife, a mom, and a writer at Warung Fiksi. Please visit this page to know me more.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.