Pakai yang Kamu Punya
Minimalisme identik dengan kegiatan declutter atau menyingkirkan barang yang tidak lagi digunakan. Namun, seringkali terjadi miskonsepsi declutter dalam minimalisme.
Menjadi minimalis berarti menjalani hidup sederhana dengan menggunakan barang-barang yang esensial. Barang yang tidak diperlukan… nggak usah punya, deh. Nggak ada gunanya, kan?
Tapi kalau di rumah sudah telanjur menumpuk barang, mau tidak mau kita harus melakukan declutter, beres-beres. Barang yang tidak dipakai, bisa disumbangkan atau dijual. Bisa juga di-upcycle menjadi barang lain. Contohnya, baju yang sudah sobek bisa dibuat lap, keset, atau lainnya.
Sayangnya, ada orang yang membuang begitu saja benda yang sebetulnya masih bisa digunakan. Punya kaos yang sudah belel, bukannya dijadikan pel-pelan, malah dibuang ke tempat sampah. Saya akui, saya juga pernah melakukan hal seperti itu. Hanya karena tidak suka dengan gelas plastik yang gambarnya sudah memudar, saya buang, deh, ke tempat sampah. Padahal gelas itu masih bisa digunakan sebagai wadah sikat gigi atau pot semai dengan melubangi bagian bawahnya.
Sekarang saya paham, declutter tidak berarti menyingkirkan jauh-jauh. Tetapi bisa saja mengubah fungsinya. Gunanya tentu saja untuk meminimalisir sampah. Menjalani gaya hidup minimalis bukan hanya mengurangi pakaian atau perabot. Bukan juga terlampau ngirit sampai dikira pelit.
Menjadi minimalis tidak berarti harus membuang barang lama yang coraknya keramean, misalnya, lalu membeli barang baru yang desainnya lebih simpel. Berdonasi atau menjual barang bekas bisa saja kita lakukan, tapi itu kalau kita sudah tidak lagi punya ide untuk memfungsikan kembali barang lama. Kalau kita masih bisa menggunakan barang yang kita miliki, itu lebih baik.
Sebab, salah satu tujuan minimalisme adalah sustainable. Keberlanjutan. Artinya, kita berusaha memperpanjang umur sebuah barang, bagaimana pun fungsinya. Entah pakaian sobek yang berulangkali diperbaiki agar bisa tetap dikenakan, digunting-gunting menjadi lap, atau didaur ulang menjadi tas atau barang lain.
Bagi mereka yang suka kepraktisan, mendonasikan barang adalah solusi yang bisa dipilih. Namun harus kita ingat juga, apakah si penerima membutuhkan barang yang kita berikan? Kalau ujung-ujungnya dibuang ke tempat sampah, percuma saja kita berdonasi. Jadi kalau mau berdonasi barang, pilih sasaran yang tepat. Misalnya menyumbangkan pakaian bekas kepada korban bencana alam. Itu pun harus dipastikan dulu, apa yang kita berikan masih layak pakai. Bukan yang sudah cacat.
Repot juga, ya, ternyata. Itulah kenapa para minimalis seperti Joshua Becker atau Francine Jay mengatakan less is more. Karena dengan memiliki sedikit barang, kita punya banyak ruang kosong di rumah, punya banyak waktu dan tenaga untuk mengerjakan hal lain yang lebih berguna (daripada beberes melulu, ya, kan?), punya lebih banyak tabungan karena jarang shoping.
Tapi jangan lekas-lekas menyingkirkan semua barang di rumah, ya. Simpan dan rawat baik-baik barang yang masih digunakan serta maksimalkan fungsinya, tunda dulu membeli yang baru. Menjadi minimalis tidak harus mengeliminasi semua barang rusak dan menggantinya dengam yang baru. Ada kalanya apa yang kita pikir tidak berguna malah menunjukkan manfaatnya yang tidak terduga.