Ada sebuah kegiatan yang sangat saya kangeni saat ini: jalan-jalan di Bandung, naik angkot atau jalan kaki. Dari kecil sampai sebelum menikah, saya suka jalan-jalan di Bandung. Kota ini memang tidak semegah Jakarta, tapi banyak tempat yang membuat saya penasaran. Dalam rentang 2008-2011, saya punya cukup banyak kesempatan untuk menjelajahinya, bahkan sampai kesasar-kesasar.
Sebetulnya “petualangan” saya di Bandung sudah dimulai sejak SMP. Saya suka ikut kakak saya dan pacarnya (yang sekarang jadi istrinya) jalan-jalan. Kadang-kadang saya sendiri yang merengek minta diantar jalan-jalan. Oleh ayah, kakak saya diberi uang bensin untuk mengantar saya ke tempat yang saya inginkan. Dasar kakak saya senang bermobil, dia suka membawa saya melalui jalan-jalan yang “asing”. Kalau biasanya saya dan mama belanja di kawasan Alun-alun, kakak saya mengajak saya menyambangi kawasan Dago, Cihampelas, BKR. Namun dari situ, saya jadi tahu daerah-daerah di Bandung selain Alun-alun.
Lalu ketika SMA, saya diizinkan naik kendaraan umum ke Bandung bersama teman-teman. Nonton teater di Gedung Rumentang Siang, Kosambi. Berangkatnya pulang sekolah naik kereta api ekonomi. Pulang malam, naik bis gara-gara ketinggalan kereta. Kesempatan berikutnya sebelum nonton teater, mampir dulu ke Gramedia. Mulai angkot-angkotan. Karena tidak hafal rute angkot di Bandung, saya ikut teman-teman saja. Mungkin karena sering naik angkot di Bandung, mereka hafal rutenya.
Sejak saat itu, entah berapa kali saya main ke Bandung bersama teman, naik kereta api dan angkot. Satu kali malah pernah nyasar. Saya dan teman saya bermaksud ke IP di Jalan Pasir Kaliki. Lalu teman saya dengan sok tahunya naik angkot jurusan Cikutra. Ujung-ujungnya, kami malah ke BIP.
Petualangan di Bandung baru berlanjut setelah saya lulus kuliah. Karena semasa kuliah, saya jarang jalan-jalan di Bandung. Paling banter ke BIP atau Gramedia, yang lokasinya dekat sekali dengan CCF (sekarang IFI), atau ke Alun-alun. Kira-kira setengah tahun setelah lulus, saya yang emoh melamar kerja ke sana kemari dan ingin jadi penulis, mencari komunitas-komunitas menulis di Bandung.
Tobucil adalah tempat sekaligus wadah menulis yang sreg dengan feeling saya. Semula saya bertandang ke sini bersama teman. Setelah mendonorkan dua tulisan di blognya, saya pun kembali datang ke tempat ini sendirian dan berkenalan dengan Sundea serta kru Tobucil lainnya seperti Tarlen Handayani dan Syarif Maulana.
Karena saat itu status saya adalah pengangguran, uang saku saya tidak banyak. Untuk ke Bandung, saya harus berhemat. Berangkat naik KRD ekonomi, pulang naik KRD Patas. Kalau punya uang lebih, pergi pulang bisa naik KRD Patas. Sampai stasiun Bandung naik angkot jurusan Dago, turun di perempatan Jalan Merdeka atau Jalan Purnawarman. Dari situ, saya jalan kaki menyusuri Jalan Aceh hingga tiba di Tobucil.
Jalan kaki di atas trotoar Jalan Aceh, di depan markas Kodam III Siliwangi, membuat saya merasa gatal ingin menulis tentang jalan ini. Setelah mengambil beberapa gambar dengan kamera hp, saya pun mengirim tulisan tentang separuh Jalan Aceh ke rubrik bacakotabandung di blog Tobucil.
Sejak itu, saya jadi ketagihan membaca jalan-jalan lain di kota Bandung. Bersama teman, saya berpetualang ke toko buku dan rumah baca lainnya. Kami pergi ke Zoe di daerah Dipati Ukur (kalau tidak keliru Jalan Bagus Rangin… tolong koreksi kalau salah) dan perpustakaan ITB di Jalan Tamansari. Kendaraannya apa lagi kalau bukan kereta api, bus, elf, angkot, dan kaki. Jalan-jalan bersama teman itu menyenangkan. Ada teman ngobrol, makan dan bingung kalau tersesat.
Namun tidak bisa disangkal juga kalau saya lebih suka pergi sendirian. Lebih bebas. Maka untuk beberapa kesempatan, saya pergi sendirian. Cuma pamit mama dan berpetualanglah saya di rimba kecil kota Bandung. Apalagi saya perlu riset untuk Satin Merah. Teman kuliah saya sempat mengantar ke rumah bacanya Pak Asas dan PSS karena saya tidak akrab dengan daerah Buah Batu. Seterusnya, saya selalu pergi sendirian.
Selain untuk Tobucil dan Satin Merah, saya juga menulis tentang Bandung untuk Warung Fiksi. Ada semacam simbiosis mutualisme di sini. Warung Fiksi yang bermarkas offline di Surabaya senang punya koresponden di daerah Bandung (alias saya) karena bisa menghadirkan tulisan tentang pariwisata Bandung secara detail dan nyata. Di sisi lain, saya senang menyambangi berbagai tempat di Bandung dan menuliskan laporannya. Sehabis berkunjung ke taman ini, taman itu, museum ini, museum itu, saya selalu membuat tulisan tentangnya. Tujuan sebenarnya adalah diary. Tapi kalau bisa digunakan untuk misi lain yang lebih baik, saya juga senang.
Dampak dari membaca kota Bandung ini adalah, saya merasa sangat dekat dengan Bandung. Suasana berbagai tempat dan jalan, kebrutalan angkot, seolah merupakan sosok-sosok yang menemani saya tumbuh selama beberapa tahun terakhir. Ada yang baik, ada yang tidak. Ada yang pas di hati, ada yang tidak. Dan kami seakan berusaha untuk saling mengenal satu sama lain dalam waktu yang hanya sementara.
Ada masa yang mungkin tidak akan kembali. Itulah gunanya dokumentasi. Untuk mengingatkan hal-hal yang mungkin terlupakan. Atau untuk mengobati rasa kangen. Meski tidak benar-benar memulihkan, namun bisa menghibur. Dan saya bersyukur sudah menuliskan dan menyimpan gambar apa-apa yang saya tangkap dengan mata, telinga dan hati.
Mungkin saya akan tinggal di Surabaya lebih lama daripada di Bandung. Namun di setiap jalan yang saya lewati di kota kembang tersebut, pasti ada jejak kaki saya di sana 😀
I miss Bandung as I miss my life and my family out there.
Aduh, membaca tulisan ini jadi terharu. Sebuah tulisan yang merindukan sesuatu yang sangat. Appaun itu kenangan waktu kecil remaja akan sangat terkesan.
Kalau Bandung, saya juga punya pengalaman petualangan seperti kamu. Tapi malah lebih seru karena aku naik sepeda. Waktu itu baru saja diumumkan hasil seleksi UMPTN. Untuk kedua kali saya gagal masuk ITB. Sedih, akhirnya saya putuskan melupakan ITB saja (dan menikmati UNAIR, hehehe).
Maka liburan tahun ajaran baru, saya ikut kakak kelas yang kuliah di ITB. Para alumni sekolah SMA yang kuliah di ITB mengkontrak rumah di sana. Tempatnya di Batik Pekalongan.
Di sana, saya pinjam sepeda dan berkeliling Bandung. Tentu saja tempat yang saya jelajahi sampai sedetil-detilnya adalah ITB. 2-3 hari setelah keliling-keliling Bandung, saya mulai keliling kota Bandung. Dengan bersepeda saya putari kota Bandung. Tanpa tujuan, tanpa peta. Berkeliling-keliling.
Setelah seminggu di sana saya pulang. Saya puas meski tidak kuliah di ITB dan tinggal di Bandung, saya sudah merasakan bagaimana ITB dan Bandung meski hanya sebagai pelancong, Kelak saya tahu, takdir diterima di UNAIR itu terbaik bagi saya. Barusan saya tulis artikel tentang itu di sini, http://www.enerlife.web.id/2013/kubah-16-silaturahim-menyelamatkan-saya-dari-drop-out-kuliah/.
Pak Yusuf pernah ke Bandung? Kapan, Pak?
Kalau ke Bandung sering… Tapi petualang keliling Bandung naik sepeda selama seminggu itu waktu kuliah tingkat I. Insya Allah liburan semester besok, entah selama seminggu atau 2 minggu, Zidan akan liburan di Bandung. Ke rumah saudara di jl bypass Soekarno Hatta. Perumahan apa itu yang ada kantor pusatnya Amanda itu.
Perumahan margahayu raya
Perumahan di daerah Soetta itu banyak sekali, Pak. Saya aja nggak hafal. Hehehe.
Pingback: Menyimpan Keseharian Kiara | rie yanti
Pingback: Mudik | rie yanti
Pingback: Pakansi Ning Semarang (Bag. 1: Siap-siap dan Berangkaaat…) | rie yanti