Menjadi Ibu RT

Tidak peduli pukul berapa saya tidur saban malam, subuh-subuh saya bangun. Selesai salat, saya mencuci dan memasak makanan Kiara. Dua pekerjaan yang enteng. Tapi kalau Kiara tiba-tiba bangun dan ngajak main, kedua kegiatan itu pun jadi sukar dilakukan. Seharusnya saya bisa rampung nyuci dan masak tidak sampai satu jam. Malah kalau bisa ditambah mandi. Tapi jika Kiara tidak kembali tidur, sampai siang pun pekerjaan saya tidak akan tuntas.

Mangkel? Jelas. Mau minta tolong suami, kadang dia tidur hanya beberapa jam. Minta tolong sama mama mertua, beliau juga harus belanja dan memasak. Pokoknya pagi hari adalah saat yang paling sibuk di rumah ini. Saya cuma bisa pasrah di hadapan Kiara yang menjerit dan tertawa senang dengan inosennya.

Belakangan saya mengutamakan masak, supaya setelah Kiara mandi, dia bisa sarapan sambil berjemur. Nyuci baju kalau tidak sempat pagi, ya siang. Tapi kalau menunda nyuci, tahu-tahu nantinya cucian menumpuk. Untunglah di rumah ada asisten. Urusan mencuci baju saya dan suami, saya serahkan padanya. Sementara baju Kiara tetap saya cuci sendiri. Lumayanlah mengurangi pengeluaran tenaga.

Kalau punya anak, sebaiknya ada yang membantu. Supaya semua pekerjaan bisa terselesaikan dengan baik. Waktu Kiara baru lahir, mama saya datang dari Bandung dan menginap di Surabaya. Beliaulah yang memasak untuk saya dan mencuci popok Kiara. Juga bergantian dengan saya menggendong si kecil kalau sedang rewel. Siang dan malam. Setelah mama pulang, saya jadi bingung. Bagaimana kalau saya sedang masak atau mandi Kiara tiba-tiba bangun? Namun karena ada mama mertua dan asisten, saya pun tidak bingung-bingung amat. Kalau Kiara bangun sementara saya mengerjakan sesuatu, saya titipkan saja Kiara pada mereka sampai saya selesai.

Apa yang saya alami tidak seberapa susah karena ada yang membantu. Mama mertua dan kakak ipar saya dulu mengerjakan segala sesuatunya sendirian. Ya mengurus anak, ya mengurus rumah dan memasak. Di luar sana, banyak juga ibu yang harus mengurus semuanya seorang diri. Contohnya tante saya. Beliau punya tiga anak laki-laki dan cukup kerepotan menangani urusan rumah dan keluarganya, sekalipun beberapa pekerjaan rumah tangga dikerjakan suaminya sebelum berangkat kerja. Untuk mencuci pun bisa tiga hari tidak selesai-selesai. Hm, bisa keburu datang serombongan cucian lain. Tapi apa mau dikata jika tidak ada yang membantunya?

Teman saya yang tinggal di Prancis pun menjadi ibu rumah tangga. Kadang-kadang dia tidak sempat membuat makan malam untuk suaminya. Repot banget kan? Biar begitu, masih saja ada orang yang menganggap profesi ibu rumah tangga yang dijalani teman saya bukanlah pekerjaan berat. Dipikirnya teman saya enak-enakan di rumah. Bisa makan, bisa tiduran. Padahal teman saya  tidak bisa duduk karena harus mengejar-ngejar anaknya yang berlari sana-sini.

Memang sulit, menjelaskan kepada orang-orang bagaimana sibuknya menjadi ibu rumah tangga.  Terutama kepada mereka yang sama sekali belum pernah mencicipi kerasnya bekerja di rumah. Profesi ibu rumah tangga masih saja dianggap ringan. Naasnya, hal ini didukung pula dengan ketidak-PD-an para ibu RT akan pekerjaan mereka berikut lokasi kerja mereka yang hanya di rumah.

Saya sendiri kadang minder dengan profesi ibu RT. Padahal kalau dipikir-pikir,saya sudah melakukan tugas sesuai jender. Tidak perlu ada tuntutan kesetaraan jender atau emansipasi wanita. Karena kalau seorang ibu bisa mengurus rumah dan keluarganya dengan baik, itu merupakan prestasi baginya.

2 komentar pada “Menjadi Ibu RT

  1. Ping-balik: Anak Perempuan dan Ibu | rie yanti

  2. Ping-balik: Memasak | rie yanti

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.