Mendamba Sebuah Taman dekat Rumah

Taman Balai Kota Bandung sekitar tahun 2010

Setiap pagi kalau cuaca cerah, saya selalu mengajak Kiara jalan-jalan. Rutenya tidak pernah jauh, hanya di jalan depan rumah tiga sampai empat kali putaran. Waktunya pun sekitar pukul enam sampai tujuh. Sebab sambil jalan-jalan itu, kami juga menyerap sinar matahari yang masih hangat. Siangan dikit aja cahaya matahari keburu garang.

Kiara sendiri sudah hafal rutinitas paginya. Setelah mandi, ya jalan-jalan sambil sarapan. Dan dia menikmati kegiatan tersebut. Apalagi kalau di jalan kami bertemu kucing, burung, kupu-kupu, anak-anak sekolah, dan pesawat yang lalu-lalang di angkasa. Kiara bisa menjerit atau ngoceh saking girangnya.

Sebetulnya saya pengin ada destinasi yang berbeda. Bukan jalan depan rumah. Bukan keliling kompleks. Bukan pula tempat yang jauh. Yang dekat-dekat rumah saja supaya saya juga tidak kerepotan bawa anak dan perlengkapan lainnya.

Misalnya saja taman. Di Surabaya ini ada banyak taman. Yang agak dekat kompleks yakni Taman Pelangi. Letaknya di tengah Jalan Ahmad Yani. Namun jika untuk dijadikan tujuan jalan-jalan sore untuk saya dan Kiara, aksesnya tidak praktis.

Saya maunya ada taman di dalam kompleks, dekat rumah. Sayangnya di kompleks tempat kami berdomisili tidak ada taman. Ada sih, satu. Dekat, lagi. Namun tidak terurus. Sudah begitu kalau sore suka dijadikan tempat main futsal anak-anak sekolah di kompleks ini. Kalau saya bawa Kiara ke sana, khawatirnya nanti kena bola. Jadi sampai sekarang, rute sekaligus tujuan jalan-jalan kami ya cuma jalan depan rumah.

Saya ini penyuka taman. Apalagi kalau banyak tanaman bunga dan bangku buat duduk. Terus, ada kolam dan air mancur. Persis taman di Alun-alun Bandung depan Palaguna dulu.

Nah, kalau di Surabaya, saya baru mengunjungi Taman Bungkul. Kelak, saya akan mengajak Kiara ke taman-taman lain di kota Surabaya ini. Daripada ke mal, mendingan ke taman kan? Bukannya saya pelit. Tapi taman lebih menyehatkan ketimbang bangunan-bangunan bertingkat. Pohon dengan kandungan oksigennya, bisa menjadi penyembuh. Jauh berbeda dengan dinding.

Bahkan, konon, desain rumah sakit pun sebaiknya tidak berdasar pada aspek praktis dan fungsional. Tetapi juga mengaplikasikan konsep natural. Tidak harus membangun rumah sakit di hutan, tentunya. Namun cukup dengan menerapkan simbol-simbol alam seperti pohon, pada kaca atau dinding. Hal ini diyakini bisa mempercepat proses penyembuhan pada pasien. Karena kesehatan tidak melulu berfokus pada tubuh, tetapi juga pikiran dan jiwa.

Tidak percaya? Coba deh baca The Secret Garden karya Frances Hodgson Burnett. Dikisahkan ada seorang anak yang bertahun-tahun hanya duduk di kursi roda karena sakit keras sehingga tidak mampu mengerakkan badannya. Begitu memasuki sebuah taman, seketika dia sembuh.

Itulah kenapa saya bersikeras menginginkan adanya taman dekat rumah. Kalau hari Minggu, bisa dijadikan tempat olahraga. Sorenya, buat bersantai. Kiara pun bisa mengenal alam lebih dekat lagi dengan aneka tanaman yang tumbuh di taman. Selain itu, dia pasti akan lebih sehat jika sering berinteraksi dengan alam.

Namun kalau tidak ada atau belum ada taman di dalam kompleks, ya sudah, jalan-jalan paginya di jalan saja. Minimal, kami masih bisa menyerap sinar matahari pagi, memandang dedaunan, mendengar kicau burung, dan menghirup udara segar.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.