Mencari Aku

Bertahun-tahun lamanya Saya hidup. Tapi belum pernah Saya bertemu Aku. Padahal Saya sudah masuk belantara Amazon; menyelami Samudra Atlantik sampai nyaris ditelan Segitiga Bermuda; terbang dan melayang-layang di angkasa lalu berteriak kepada matahari, bulan, bintang-bintang, asteroid, komet, planet-planet lain, bahkan galaksi-galaksi tetangga, semuanya senyap saat Saya bertanya, “Di mana Aku?”; melintasi Sahara dan memanjat gundukan salju hingga ke titik Everest dan nyaris mampus akibat tak kuat menahan dingin; bersujud di depan Ka’bah dan memohon padaNya agar segera mempertemukan Saya dengan Aku.

Tetap Saya tidak bertemu Aku.

Saya kecewa, menangis, merutuk Tuhan yang telah menciptakan Saya tapi tidak membantu Saya menemukan Aku, mendumel pada Bunda yang membiarkan Saya mencari Aku sendirian.

Saya akhirnya pulang ke rumah tanpa hasil apa-apa. Saya sudah buang-buang tenaga dan waktu hanya untuk mencari Aku. Saya bertanya pada semut, di mana Aku. Tapi binatang kecil hitam itu terus berjalan sambil memanggul sebutir gula pasir. Lalu Saya bertanya pada kucing. Tapi binatang manja itu sibuk mengais-ngais tempat sampah, mencari sisa ikan asin dan daging ayam. Saya coba bertanya pada kupu-kupu. Tapi serangga bersayap indah itu hanya berpikir tentang bunga. Maka Saya bertanya pada bunga. Tapi makhluk berwarna-warni itu rontok ditiup angin. Saya lihat burung bertengger di dahan pohon. Tapi begitu Saya hampiri dan belum sempat mengucapkan sepatah kata, ia keburu terbang dan tak kembali lagi.

Saya tidak tahu harus bertanya pada siapa lagi. Jam dinding terus berdetak seolah tiada henti menertawakan Saya yang tidak bisa menemukan Aku. Matahari dan bulan datang bergantian setiap dua belas jam tapi mereka tidak peduli pada apa yang Saya inginkan.

Saya jadi membenci Aku yang angkuh dan tidak mau menampakkan diri. Saya membenci semuanya yang telah membiarkan Saya tertatih-tatih berjalan di atas sepenggal pertanyaan bodoh yang hanya Saya yang pertanyakan. Saya nyaris gila. Saya nyaris mati tanpa sempat memenuhi keinginan terakhir: bertemu Aku.

Saya putus asa. Sudah ada niat untuk mengakhiri hidup Saya yang untuk bertemu dengan Aku saja tidak bisa. Tapi tiba-tiba secarik kertas mendarat di hadapan Saya. Entah dari mana datangnya. Disusul sebatang pensil kayu tanpa penghapus di salah satu ujungnya.

Saya jadi ingat, Saya pernah bertanya tentang keajaiban. Apa itu keajaiban, dan tidak ada seorang pun yang menjawab. Dan hari ini sesuatu yang aneh menimpa Saya. Mungkin itulah keajaiban.

Maka Saya urungkan niat untuk memutus urat nadi di pergelangan tangan Saya. Saya ambil kertas dan pensil kayu itu dan Saya letakkan di atas meja. Saya menatap kedua benda itu dengan heran. Harus Saya apakan? Apakah mereka bisa membantu Saya menemukan Aku?

Lalu tangan Saya tergerak untuk memegang pensil itu dan menggores-goreskannya di atas kertas. Akhirnya Saya putuskan untuk menulis saja. Saya tuliskan keingintahuan Saya tentang Aku, perjalanan Saya dalam mencari Aku, sampai kekecewaan Saya karena tidak berhasil menemukan Aku.

Saya terus menulis. Terus, sampai lupa waktu, sampai mengabaikan tawa cemooh jam dinding, sampai gantian Saya yang tidak memedulikan matahari dan bulan yang datang bergiliran.

Hingga kertas itu penuh di kedua sisinya. Bersamaan dengan itu, habis pula cerita Saya.

Kini tiba waktunya Saya membaca tulisan Saya.

Saya tersenyum. Bukan karena bentuk tulisan Saya yang menyerupai cakar ayam atau karena coretannya sudah tidak terhitung lagi jumlahnya. Tapi karena Saya menemukan Aku.

(2007-2008)


Published by

Rie Yanti

A wife, a mom, and a writer at Warung Fiksi. Please visit this page to know me more.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.