Memasak

Apa yang saya pikirkan setiap pagi setelah bangun tidur?

Makanan!

Tapi bukan untuk saya. Pertama, untuk Kiara. Kedua, untuk suami. Dan ini bukanlah hal yang mudah, sebab selera makan mereka berdua bisa saja beda. Nah, tugas saya adalah menyamakan selera mereka.

Sebagai ibu rumah tangga, mau tidak mau saya harus memasak tiap hari. Yah, jikapun saya ibu bekerja, tetap saja saya harus memasak tiap hari, meninggalkan makanan buat keluarga di rumah. Karena dengan menjadi ibu RT pun, kalau tidak ada makanan di rumah (dalam hal ini lauk buat teman makan nasi), saya tidak bisa tenang. Jadilah setiap hari saya belanja dan menyimpan beberapa stok bahan makanan di kulkas atau freezer. Supaya kalau sewaktu-waktu tukang sayur tidak jualan dan saya males belanja ke pasar, keluarga saya bisa tetap makan.

Masalahnya ya itu tadi, selera makan anak dan suami tidak melulu sama. Kiara termasuk pemakan segala untuk urusan lauk. Daging ayam, ikan, tempe, jamur, telur semua bisa masuk mulut dan perutnya. Kecuali kalau dia sedang GTM.

Sementara suami, dia lebih suka ikan-ikanan yang digoreng. Nah, semisal Kiara lagi senang makan ayam goreng dan bosan makan ikan terus, sedangkan suami keukeuh pengin patin goreng, rada repotlah saya karena harus memasak dua macam lauk. Belum sayurnya. Dan cemilan lain kalau memang sempat membuatnya.

Tapi bagaimanapun, karena memasak adalah salah satu tugas saya, ya saya harus mau jadi koki. Menuruti kemauan keluarga. Bahkan saking manutnya, saya kadang tidak tahu makan apa. Iya kalau saya masak lele atau ayam goreng, cap cay, sop, atau aneka tumisan. Saya bisa ikutan makan. Tapi kalau selain itu, bingunglah saya. Ujung-ujungnya saya ikut arus saja. Suami dan anak makan apa, saya ikutan makan menu tersebut. Atau masak oseng-oseng kalau tidak keburu malas.

Jadi, tiap hari rutinitas saya tidak bisa jauh dari kompor. Hm, bisa saja sih beli makanan di luar biar saya bisa istirahat dulu dari kegiatan masak. Cuma sebisa mungkin saya masak sendiri. Jaga imej sebagai ibu RT. Masa ibu RT males masak? Masa saya tega ngasih makanan yang kualitasnya belum tentu bagus buat anak sendiri?

Padahal kalau ingat waktu remaja dulu, beda banget dengan sekarang. Saya paling males ke dapur kecuali untuk mengambil makanan. Kalau disuruh memasak, saya pasti menolak mentah-mentah. Saya baru rajin memasak setelah lulus kuliah. Dari kecil sampai mahasiswi, saya bisanya cuma minta dibuatkan ini-itu sama mama. Sesekali belajar masak sih. Tapi sekadar memegang pisau dan talenan saja. Giliran menggoreng, merebus, dll, saya serahkan pada mama.

Setelah tiap hari ke dapur, barulah saya tahu kalau memasak adalah cara memodifikasi bumbu dan bahan makanan. Dan, sebisa mungkin saya menghindari bumbu sintetis. Apalagi kalau saya tambahkan kecap atau saus tiram. Kedua bahan itu sudah mengandung penguat rasa. Jadi kalau mau pakai kecap atau saus tiram, bumbu lain yang saya gunakan harus yang alami. Bahan-bahan makanannya juga harus yang alami dan segar, walaupun sesekali saya juga pakai sosis atau bakso.

Memasak itu gampang, sebetulnya. Ada juga sih yang susah. Dan kadang-kadang saya mengalami kegagalan. Sayur asem kurang asem setelah dimakan bersama nasi, sop yang kurang merica, oseng-oseng yang kurang gurih. Dan itu semua kerap terjadi. Hingga terdengarlah kritikan dari mulut suami atau aksi GTM dari Kiara. Selama aksi-aksi protes itu tidak parah, saya paling cuma nyengir. Hehehe.

Oh ya, saya juga suka bereksperimen atau berimprovisasi dalam memasak. Misalnya saja membuat naget tanpa telur. Atau kalau sudah ada rencana mau masak sayur asem tapi lupa beli cabai, ya sudah saya pakai bumbu seadanya saja. Hasilnya, lumayanlah. Yang penting nagetnya tetap gurih walau tanpa penyedap rasa dan sayur asemnya terasa segar.

Dan yang lebih penting lagi, masakan saya diterima keluarga. Kiara suka dan makan lahap, serta mendapat pujian dari suami. Kalau sudah begini, saya bisa lupa kalau saya kepengin tumis kangkung saking senangnya. Cuma kalau hasil eksperimennya gagal, berarti saya harus siap mendapat reaksi tidak menyenangkan dari suami dan anak. Dan saya tidak boleh bosan mencoba resep-resep baru atau mengubah resep yang gagal supaya hasilnya lebih baik.

Pada akhirnya, setelah sering menjamah dapur, saya bisa mendapat pelajaran. Dengan memasak, saya tidak hanya bisa menyenangkan hati keluarga kecil saya. Tetapi juga bisa lebih menghargai sebuah masakan. Lebih mengapresiasi proses ketimbang hasil. Kalau dulu saya bisanya meminta dan berkomentar, sekarang kalau mau minta atau mengomentari masakan saya harus mikir dan merasa-rasa dulu. Kasihan yang masak. Soalnya memasak itu bisa bikin orang bingung dan capek. Bingung karena mikirin menu dan mengatur pengeluaran untuk belanja, dan capek karena memasaknya. Belum lagi kalau harus mencuci semua peralatan masaknya sekaligus.

Tapi yang jelas, saya bersyukur punya banyak waktu untuk memasak. Demi suami dan anak. Karena saya tidak rela kalau mereka sampai kelaparan atau keseringan menyantap masakan luar hanya gara-gara saya males masak.

3 thoughts on “Memasak

  1. Mbak Rie, saya boleh minta contact personnya? CP saya di 081212008080 saya mau tanya tentang penulisan buku. Terima Kasih

  2. Pingback: Bermain atau Belajar? | rie yanti

Leave a Reply to Rieke Indriyanti Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.