Kalau Kiara Naik Kereta Api

Beberapa waktu lalu, kami bertiga mudik ke Bandung. Sengaja memilih waktu setelah lebaran supaya suasananya tidak ramai. Sebetulnya ini acara mendadak. Rencananya kami ke Bandung kalau Kiara sudah satu tahun. Tapi mumpung suami punya waktu, ya sudah kami ke Bandung waktu ini. Di sana kami Cuma menghabiskan enam hari. Memang tidak puas (buat saya). Namun perjalanan kami menggunakan kereta api eksekutif sangat mengesankan. Terutama karena kami membawa si kecil Kiara.

Kami berangkat dari Stasiun Gubeng pada hari Rabu, 28 Agustus menumpang KA Argo Wilis pukul setengah delapan pagi. Tadinya kami mau menumpang KA Turangga yang Selasa sore. Berhubung rencana mendadak, kami tidak mendapat jok yang sama. Jadwal keberangkatan pun diundur jadi Rabu pagi. Sempat ragu karena kalau siang Kiara jarang tidur. Tapi kalau berangkat Rabu sore, liburan kami di Bandung jadi semakin sebentar. Ya sudah, ambil risiko. Apa pun yang terjadi, Kiara tidur siang atau tidak, kami berangkat Rabu pagi.

Ternyata, Kiara bisa berkali-kali tidur dari sejak kereta berangkat sampai sorenya. Lumayan, saya jadi tidak kewalahan menjaga Kiara yang sulit diam. Kalau tidak ngoceh, dia minta berdiri di pangkuan dan membalikkan badan ke kanan-kiri dan depan-belakang. Atau ngoprek barang bawaan. Mungkin dia merasa nyaman di dalam kereta yang melaju cepat; seperti diayun-ayun.

Dan karena siang, saya juga harus menyediakan makan buat Kiara. Subuh-subuh saya sudah bangun dan membuat bubur tim dengan kuning telur rebus dan wortel. Buat camilannya, karena saya menganut MPASI rumahan, saya membuatkan finger food berupa wortel dan ubi rebus alih-alih menyediakan biskuit bayi. Yang gampang-gampang saja. Yang penting Kiara bisa makan selama perjalanan.

Walaupun keretanya ber-AC, suhu tidak terasa dingin. Mungkin karena siang ya. Sudah begitu saya duduk dekat jendela dengan sinar matahari yang langsung jatuh ke pangkuan sehingga tirai pun harus ditutup supaya Kiara tidak kepanasan. Meski begitu, buat jaga-jaga kalau Kiara kedinginan, minyak telon saya simpan di dalam tas kecil yang diletakkan di tempat yang mudah terjangkau. Soalnya kata kakak ipar suami saya, sebaiknya Kiara dikasih minyak telon di bagian dada, perut, punggung dan kaki setiap satu jam. Faktanya, Kiara memakai minyak telon hanya pada saat sebelum berangkat, alias setelah mandi pagi di rumah.

Oh ya, bawaan kami lumayan banyak lho. Satu koper berisi baju-baju saya dan suami, satu kresek oleh-oleh dan bekal buat di jalan, serta satu tas besar berisi perlengkapan Kiara. Biar masih kecil, perlengkapan Kiara paling banyak. Mulai dari baju, jaket, gendongan ransel, alas ompol, kaos kaki, topi, wash lap, handuk, celemek, mainan, teether, perlengkapan mandi, gunting kuku, sisir, pampers, termometer, sampai obat-obatan. Sebagian baju Kiara saya pinjam dari ponakan saya di Bandung. Lumayan meringankan beban, hehehe.

Selain tas besar, juga ada tas kecil, seperti yang saya sebutkan di atas. Isinya selain minyak telon yakni pampers, tisu basah, kresek, hand’s sanitizer. Gunanya untuk dipakai saat keadaan darurat. Misal kalau Kiara kedinginan atau harus ganti pampers.

Kami melewati daerah Cicalengka sekitar pukul enam petang. Seandainya bisa, kami turun di Stasiun Cicalengka saja. Tapi Argo Wilis tidak berhenti di stasiun ini, jadi kami turun di Stasiun Bandung. Kiara mulai rewel. Antara ngantuk dan kesal dengan perjalanan yang lama. Saya berharap Kiara mau digendong eyangnya begitu kami tiba di Stasiun Bandung sehingga saya bisa mengistirahatkan lengan dan tangan. Eeeh, yang terjadi malah sebaliknya. Kiara cuma mau digendong sama saya. Sampai pulangnya juga begitu. Jadi selama di Bandung saya tidak bisa istirahat karena Kiara maunya nempel terus.

Enam hari pun lewat dengan cepat. Waktunya kembali pulang ke Surabaya. Kami menumpang KA Turangga, berangkat Selasa malam pukul delapan. Di dalam kereta, Kiara enggan diselimuti, padahal kakak saya sudah mewanti-wanti saya untuk menjaga Kiara supaya tidak kedinginan. Sudah keretanya ber-AC, perjalanan malam pula. Namun daripada Kiara rewel, lebih baik saya membiarkannya dibalut baju panjang dan jaket, serta kaos kaki. Mungkin segitu sudah cukup hangat bagi Kiara. Terbukti, Kiara mampu tidur semalaman, meski beberapa kali bangun minta disusui. Bibirnya kering. Mungkin pengaruh AC.

Syukurlah Kiara sehat-sehat saja, baik selama perjalanan, maupun selama di Bandung. Suhu Bandung tidak dingin, malah cenderung panas. Jadi hampir tidak ada perbedaan signifikan antara Bandung dan Surabaya. Barangkali karena itu juga Kiara tidak mengalami keluhan apa-apa dari berangkat sampai pulangnya.

Semoga tahun depan kami bisa ke Bandung lagi 🙂

6 komentar pada “Kalau Kiara Naik Kereta Api

  1. Hehehe… ini pasti perjalanan yang berkesan. Kembali ke Bandung bersama suami dan anak. Rasanya pasti agak bagaimana begitu ya?

    Saya ke Bandung sudah hampir naik semua kereta api. Kebanyakan karena tugas. Tapi yang berkesan justru saat masih awal kuliah. Karena itu naik murah. Ekonomi. Yakni: Pasundan. Berangkat pagi, 05.55 sampai di Bandung pk 22.00. Lama sekali. Hehehe.

    Tapi dalam perjalanan itu saya banyak mendapat pengalaman yang berkesan.

    Sekarang meski ekonomi tetap enak. Zidan dan Zelda kalau ke Pare naik kereta api ekonomi. Surabaya Kediri cuma 5.000. Meski ekonomi, berAC, bersih, tertib, rapi tanpa pengasong dll. Cuma tidak bisa mendadak karena meski enokomi harus reservasi.

    Mungkin kapan2 naik ekonomi ke Bandung. InsyaAllah Zidan liburan semester besok ke Bandung. Saya minta naik ekonomi ekonomi saja. Hehehe.

  2. Ping-balik: Seorang Teman Kecil | rie yanti

  3. Ping-balik: Pakansi Ning Semarang (Bag. 1: Siap-siap dan Berangkaaat..) | rie yanti

Tinggalkan Balasan ke Rie Yanti Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.