Huruf
Ketika hendak membuka laci berisi alat-alat tulis, saya mendengar ribut-ribut dari laci mainan. Seilidk punya selidik, keributan itu berasal dari kotak scrabble.
“Aku yang lebih unggul. Posisiku ada di nomor satu. Kamu cuma nomor dua.”
“Jangan sombong kamu, mentang-mentang ada di urutan pertama.”
Ada apa ini? Balap larikah?
Penasaran, saya intip kotak scrabble. A dan B berdiri berhadap-hadapan.
“Aku memang patut sombong. Bukan hanya karena posisiku di nomor satu. Lihat bentukku. Aku mampu berdiri dengan kedua kaki menopangku kokoh. Tidak seperti kamu yang berperut buncit. Tumbuh tuh ke atas, bukan ke samping. Jumlahku juga lebih banyak dari kamu. Karena aku dibutuhkan hampir di setiap kata dalam Bahasa Indonesia.”
Diam-diam saya membenarkan alasan kesombongan A. Bentuk A memang cantik, ia berdiri bak menara Eiffel atau piramida. Semakin ke atas semakin lancip. Dan benar bahwa A hampir ada di setiap kata.
“Tapi nilaimu kecil, cuma satu. Aku, lima. Biar jumlahku sedikit, yang penting bernilai tinggi,” B memberikan pledoinya.
Saya manggut-manggut. B juga benar.
Kedua huruf itu saling bersitegang. Huruf-huruf lain ada yang mengompori, ada juga yang berusaha menghentikan perdebatan itu.
Saya tutup kembali kotak scrabble. Mendengarkan perdebatan membuat saya pusing. Kenapa juga A dan B harus bertengkar begitu? Toh mereka berdua sama-sama huruf.