Horeee… Kiara Punya Adik!

Di postingan sebelumnya saya menyebut nama Akira. Ya, itu adiknya Kiara. Sekarang umurnya mau empat bulan. Tapi saya belum bercerita tentang proses kelahirannya. Ya sudah, sekalian bernostalgia, saya ceritakan saja di sini.

6 Juni 2016. Hari pertama puasa. 11 hari menuju HPL. Waktunya kontrol lagi sambil menyerahkan hasil lab. Akhir bulan Mei, bidan menyuruh saya periksa darah ke lab. Katanya, saya kelihatan pucat. Dikhawatirkan kurang darah. Dua hari kemudian saya pun ke lab Puskesmas untuk periksa darah. Hasilnya, hemoglobin saya 9,7. Seharusnya untuk melahirkan, hb-nya paling tidak 11.

Bidan klinik tempat saya kontrol pun menyarankan saya melahirkan di rumah sakit saja. Biar kalau perlu transfusi atau terjadi pendarahan, penanganannya bisa cepat. Surat rujukannya bisa diminta di faskes 1 (saya peserta BPJS).

Tapi saat kami mendatangi dokter faskes 1, beliau malah mempertanyakan klinik tempat saya periksa itu. Dia juga meragukan hasil lab di Puskesmas, sehingga alih-alih mendapat surat rujukan, saya malah disuruh cek darah lagi di laboratorium partnernya.

Hasilnya sih masih tidak memuaskan. Dalam waktu lima hari, hb saya hanya  naik 0,1. Seharusnya itu cukup meyakinkan dokter untuk memberikan saya surat rujukan untuk melahirkan di rumah sakit. Tapi khawatir dokternya sangsi lagi, saya dan suami pun kembali ke klinik dan meminta surat rujukan dari mereka. Walaupun hal itu sebetulnya akan sia-sia karena nantinya di rumah sakit saya akan tetap dianggap pasien umum, bukan peserta BPJS. Ah, sudahlah. Yang penting kami punya surat cadangan kalau-kalau dokter faskes 1 enggan memberi rujukan.

Di luar dugaan, ternyata dokternya luluh juga. Dia mau menuliskan surat rujukan. Cuma, saya harus kontrol dulu ke dokter kandungan di rumah sakit yang dirujuk. Haduh!  Ini sudah 10 hari menjelang HPL. Sudah begitu saya anemia. Seharusnya saya istirahat di rumah. Makan yang banyak. Buat menambah bobot bayi yang hanya 2500, buat menambah tenaga saat melahirkan nanti, juga untuk menambah hemoglobin. Apalagi di rumah pun saya tidak bisa hanya tiduran. Saya harus masak, nyuci, ngurus anak. Bagaimana lagi? Namanya juga ibu-ibu.

Tapi kok saya malah disuruh wisata medis?

Apa boleh buat. Besok paginya kami bertiga berangkat lagi. Saya jadi kasihan sama suami. Harusnya puasa dan kerja malah ikut wisata medis. Begitu juga Kiara. Dia sedang flu dan batuk. Dan karena belum sekolah, seharusnya dia bisa tidur sepuasnya. Ini malah dibangunkan terus tiap pagi. Nggak apa-apa ya, Nak. Latihan rajin bangun pagi. Tapi tetep aja kasihan. Kalau mau ditinggal di rumah sama eyang dan kakungnya sih, Kiara mendingan ditinggal saja. Tapi dia malah senang pergi-pergi tuh! Apalagi setelah sampai di rumah sakit, Kiara sepertinya menandai banyak hal. Biarin deh. Biar kalau nanti saya melahirkan dan dia bersikeras pengin ikut, ayahnya tidak kesulitan menghadapi kerewelannya.

Tidak banyak yang disampaikan dokter kandungan. Sarannya sih sama saja dengan bidan. Bedanya, dokter tidak tampak mengkhawatirkan anemia saya. Apa karena di rumah sakit fasilitasnya memang lebih canggih ya, jadi kalau terjadi apa-apa tinggal ambil ini-itu?

Tidak tahulah. Pokoknya sepulang dari rumah sakit saya banyak-banyak istirahat dan makan. Sudah h-9 nih!

Besoknya pukul dua malam, saya merasakan kontraksi kecil. Bulan sebelumnya juga pernah dan ternyata itu adalah kontraksi palsu. Saya pun tidak menanggapi kontraksi kali ini. Walaupun sampai adzan subuh kontraksinya masih terasa. Saya hanya memilih tidur setelah tiga hari berturut-turut pergi pagi-siang-malam.

Namun saat bangun pukul setengah tujuh pagi, kontraksinya masih terasa. Saya berharap tidak melahirkan hari ini. Perlu waktu kira-kira seminggu untuk perbaikan gizi, beres-beres kamar. Saya belum siap melahirkan sekarang.

Tapi Allah sudah mengatur semua. Dan bayinya mungkin sudah tidak sabar pengin keluar. Kontraksi semakin kerap terasa. Bahkan dua jam kemudian keluar lendir putih campur darah. Hanya sedikit. Tapi saya jadi panik.

Habis memandikan Kiara, saya pun membangunkan suami saya dan menceritakan soal kontraksi ini. Akhirnya pagi itu kami isi dengan mikir-mikir, siap-siap, nelepon RS, serta mengurungkan rencana bikin tahu krispi buat cemal-cemil bareng Kiara. Pukul 10-an kami berangkat ke RS. Naik sepeda motor. Saya masih kuat. Selain itu, kami khawatir disuruh balik lagi kalau ternyata tidak ada bukaan alias kontraksi palsu. Malah baju-baju pun tidak dibawa. Kalau saya melahirkan hari ini, nanti saja suami saya balik lagi ke rumah.

Masuk IGD ke ruang PONEK, saya diperiksa dalam. Satu hal yang paling saya benci menjelang melahirkan. Periksa dalam ini bisa berkali-kali, soalnya, kalau bukannya belum banyak. Dan ternyata sudah bukaan tiga. Saya harus tinggal di RS sampai melahirkan nanti.

Dari IGD, saya diantar ke ruang bersalin. Sementara itu suami saya dan Kiara mengurus ini-itu. Ya, suami dan anak saya jadi partner selama saya di RS. Biarin deh. Kiara memang lebih senang sama yayahnya kalau di luar rumah. Selain itu… biar suami merasakan rempongnya ngurus anak kecil. Hihihi.

Tadinya saya disuruh stay saja di ruang bersalin. Hari itu, ada tiga bumil di sana. Saya kebagian tidur di bilik tengah dan merasa terganggu dengan aduhan “tetangga” yang sudah bukaan tujuh. Mau tidur, jelas tidak bisa. Mau menemui suami di luar, tidak bisa juga. Cuma pas ke toilet saja saya bisa ketemu dia. Sekalian kangen-kangen sama Kiara. Sejak hamil saya tahu, saya bakalan sedikit berjarak dengan dia karena saya harus lebih fokus mengurus adiknya. Tapi sungguh, saat itu saya merasa belum siap membuat jarak. Mau melahirkan anak kedua berasa hendak pergi jauh meninggalkan anak pertama. Saya jadi baper deh. Ingat dulu Kiara adalah manusia satu-satunya yang saya urus sampai saya kurus. Dia sendiri suka enggan saya tinggalkan. Lha, sekarang waktunya saya membagi perhatian dan kasih sayang. Jadi gimanaaa… gitu rasanya.

Makanya sebelum melahirkan saya peluk dan cium dia berkali-kali. Tidak lupa berpesan supaya Kiara sayang sama adiknya. Kiara sendiri sih biasa aja. Memang sebenarnya saya ataupun dia tidak ke mana-mana kok.

Sorean, baru deh saya bisa keluar, jalan-jalan di sekitar ruang bersalin. Menemui suami dan Kiara yang dua-duanya tidak mau tidur sekejap pun. Oh ya, kakak saya menyuruh suami bertanya soal transfusi darah, ada tidaknya stok darah di RS sana. Waktu saya tanyakan hal itu ke bidan ketika memeriksa, jawabannya adalah, “dokter tidak menyuruh transfusi darah kok, Bu.” Nah lho! Terus gimana dong soal hb yang rendah ini? Apa saya musti nunggu sampai terjadi pendarahan hebat terus sayanya pingsan, baru transfusi darah?

Bingung, bingung, bingung. Tapi saya berusaha mengutamakan fisik dan mental. Feeling saya, semua baik-baik saja kok.

Tapi memang kehamilan kedua ini banyak masalahnya. Waktu hamil pertama dulu, saya sehat-sehat selalu. Cuma pas melahirkannya yang bikin panik. Ketuban pecah, Kiara dirawat dan disuntik antibiotik 3×24 jam, Kiara tidak mau menyusu dan kuning. Kalau hamil kedua ini, saya sering muntah di trimester pertama, gampang lemes dan capek, flu. Lalu plasentanya pernah di bawah dan saya hampir disuruh sesar. Sekarang, anemia.

Tapi hamil itu beda-beda ya, kawan. Makanya karakter anaknya juga bisa beda-beda.

Waktu berlalu. Pukul setengah tujuh periksa dalam lagi. Baru bukaan empat menuju lima. Alamat melahirkan tengah malam lagi nih. Suami sampai bosan dan capek nunggu. Sementara itu, saya dan Kiara jalan-jalan bak peragawati di ruang mawar. Biar bayinya cepat turun. Kiara tampak fun-fun saja. Dia tidak tahu saya sakit perut berkali-kali.

Pukul delapan kami berpisah. Saya ke kamar bersalin, sementara suami saya dan Kiara menempati kamar inap. Sekali lagi saya peluk dan cium Kiara serta minta didoakan supaya bunda dan dedeknya sehat dan selamat.

Masuk kamar, rasanya kontraksinya mulai intens. Sejam kemudian tambah intens lagi. Begitu seterusnya sampai saya tidak kuat lagi, pengin pup. Saya suruh suster menelepon dan nyamperin suami yang sedang ngelonin Kiara di kamar inap. Saya tahu suami saya tidak bisa menemani saya melahirkan. Dia harus menjaga Kiara.

Akhirnya saya melahirkan sendirian. Orang bilang, melahirkan anak kedua lebih cepat dari anak pertama. Benar, ternyata. Pukul 22.17 anak kami lahir. Cewek lagi. Padahal USG-nya cowok.  Ah, sudahlah. Mau anaknya cewek atau cowok, kami tetap menyayanginya sepenuh hati. Dan yang tidak kalah penting, kami nggak usah beli baju lagi. Cukup lungsuran dari Kiara. Hehehe.

Putri kedua kami ini sama kecilnya dengan Kiara. Lebih kecil, malah, meski beratnya sama dan panjangnya beda satu senti. Mungkin karena lingkar kepalanya lebih kecil juga. Matanya sipit seperti orang Jepang. Rambutnya hitam dan tebal. Saya mencoba menerka-nerka, mirip siapa dia?

Oh ya, meski sudah pengalaman mengurus anak, tetap saja pas pertama kali menyusui saya harus diajari dulu. Cuma kayaknya anak kedua ini lebih rajin menyusu. Baguslah. Supaya dia tidak kuning. Soal nama… Karena semula dikira cowok, suami pun menyiapkan nama cowok. Terpaksalah diutak-atik lagi dan jadilah nama Sang Hanifa Shaumakira. Panggilannya, Akira.

Kiara juga tampaknya sayang dan care banget sama adiknya. Sebentar-sebentar adiknya dilihat, bedongnya dibetulkan. Mudah-mudahan ya dia beneran sayang sama adeknya. Mudah-mudahan adeknya juga bisa respek sama kakaknya. Saya pengin bangen liat kakak-adik cewek ini rukun, suka curhat, ketawa bareng, pakai baju yang sama. Secara saya anak beda umur jauh. Sama kakak cewek bedanya 15 tahun. Nggak punya adik. Jadi di rumah suka kesepian. Ujung-ujungnya nyari temen di luar rumah. Kalau Kiara dan Akira, mereka nggak perlu cari teman di luar lagi. Dua-duanya bisa sobatan. Apalagi selisih umur mereka tidak jauh-jauh amat.

Semoga.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.