Pengingat

Apapun yang terjadi, bertahanlah. Sekeras apapun hidup ini, tetaplah berdiri. Bukan agar kamu ditimpa lebih banyak ujian. Tetapi mungkin, di luar sana, ada seseorang yang menginginkanmu tetap hidup.

Ada seseorang yang diam-diam ingin menjumpaimu, tapi tak ada kendaraan yang dapat membawanya ke tempatmu, langkahnya kerap terjegal batu besar, waktunya banyak dihabiskan untuk hal-hal yang tidak dia inginkan tapi harus dia lakukan. Dan mendengar kabar baik tentangmu, seremeh apapun, adalah suntikan kebahagiaan baginya.

Bisa jadi, dia satu-satunya yang peduli padamu ketika yang lain ingin pergi. Bisa jadi, dia salah satu dari orang-orang yang pernah kau lewati di trotoar—tak kau sadari, tak kau kenali. Jarak membuatnya asing bagimu, tapi justru karena itulah, dia tak menghakimi kebiasaan burukmu, seandainya ada. Dia menyimpan ketulusan yang mungkin pernah kau pertanyakan.

Jadi, apapun yang terjadi, bertahanlah. Kebahagiaan kadang mengerjap lemah dalam situasi kelam. Seperti bintang di langit malam yang membuatmu sadar bahwa percikan kecil mampu membuat malam jadi berarti.

Kuharap Dandelion Tak Pernah Melupakanku

Aku berharap dandelion tak pernah melupakanku. Aku yang menunggu mereka berbunga dan berubah warna jadi kuning, menahan mereka supaya bergeming saat diajak angin untuk mengembara di udara.

Tapi perpisahan itu datang juga. Waktuku bersama mereka telah usai. Dan angin melepaskan benih mereka satu per satu dari tunasnya. Mereka terbang berbaris, meliuk-liuk laksana rangkaian kereta api menelusuri sawah dan ladang.

Tak ada yang dapat membawa mereka kembali ke padang ini. Bahkan seekor semut yang ikut bersama mereka, memeluk benihnya seperti terbang mengenakan payung, memilih untuk terjun.

Aku berharap dandelion tak pernah melupakanku. Telah kusertakan kebahagiaanku dalam jiwa mereka. Kebahagiaan yang muncul saat kami duduk bersama, merasakan gerimis di antara dingin yang tak dapat dielak, merasakan hangatnya matahari di antara terik yang menyengat.

Aku berharap ini bukan perpisahan. Kami hanya menempuh perjalanan yang berbeda. Dan ingatan akan membawa kami pada pertemuan yang baru.

Keajaiban di Kebun

Nanem-nanem pas musim kemarau gini kayak pekerjaan sia-sia. Biar semua taneman disiram dua kali sehari, tetep aja panas matahari bikin tanah cepet kering. Apa yang bisa diserap akar, coba? Kalopun ada air yang dia serap, sebentar kemudian udah menguap.

Tapi liat banyak taneman yang mati, kebun jadi tambah gersang. Udah mah nggak ada taneman peneduh, daun-daun ijo juga pada gagal tumbuh. Yang bener-bener bertahan cuma melati. Nggak tau dapet nutrisi dari mana, tuh, sampe bisa tumbuh ngelampauin kanopi. Udah gitu banyak dahan yang ngejulur-julur nggak karuan.

Sayangnya, melati ini nggak bisa dijadiin sayur. Paling bunganya bisa dijadiin teh. Jadi, mau tumbuh segondrong apapun dia nggak bisa kami manfaatin buat ketahanan pangan. Continue reading

Seekor Kupu-kupu Mati di Pinggir Jalan

Sore tadi, aku menemukan seekor kupu-kupu mati di pinggir jalan. Sayapnya masih utuh, seakan memperlihatkan keinginan yang belum terwujud. Tak ada yang berani mengoyaknya. Sebuah keheningan yang menyertai kepergiannya.

Pernahkah kupu-kupu itu berpikir tentang hari ini? Saat sayapnya terbentang, tetapi tak lagi memeluk angin. Saat ia memandang langit, tetapi tak mampu lagi menyentuhnya. Langit yang dulu memberinya keberanian untuk terbang tinggi, yang kini hanya menjadi saksi kematiannya.

Tanah yang menadahi kupu-kupu itu mengantarku ke masa silam, ketika ia masih berupa ulat yang merayap perlahan di atas dedaunan.

Pernahkah seekor ulat membayangkan sayapnya kelak? Itukah yang memberinya alasan untuk terus hidup? Menggerogoti daun-daun hingga pohon meranggas, dan bersembunyi ketika bayang-bayang burung menghalau pelita matahari.

Siapa yang tahu, mungkin ulat juga punya Impian. Untuk memiliki sayap yang elok, yang bisa menarik perhatian kupu-kupu lain. Impian untuk terbang mengelilingi dunia yang ia tidak pernah tahu sebelumnya.

Mungkinkah ulat pernah meminta kepada Tuhan untuk memberinya warna dan pola yang indah di sayapnya? Tapi siapa yang menentukan warna untuk sayapnya itu?

Sudahkah kupu-kupu yang mati itu menuntaskan mimpinya? Atau ia meninggalkan dunia ini dengan sejumput pertanyaan yang tak pernah terjawab? Mungkin ia bermimpi terbang lebih tinggi hingga sayapnya berkedip di antara bintang-bintang?

Belum sempat aku meresapi semua itu, tukang sapu datang, menyeret jasadnya ke dalam gerobak sampah dengan begitu gegas dan tegas.

Mendaki Everest

Saya baru selesai nonton Everest, sebuah film tentang pendakian ke Puncak Everest. Filmnya udah lama dirilis. Bolak-balik wara-wiri di Prime Video juga. Cuma, saya baru tertarik nontonnya sekarang.

Gunung Everest itu tertinggi sedunia. Banyak pendaki yang berusaha menaklukkannya, tapi banyak juga yang meregang nyawa sebelum mencapai puncaknya. Itu gunung dinginnya nggak ada obat. Kebangetan.

Saking tingginya, salju sampe nutupin gunung itu. Nggak cuman puncaknya, tapi juga dari bawah-bawahnya. Para pendaki dalam film Everest berusaha bertahan hidup dengan kadar oksigen dalam tabung yang sangat terbatas. Belum lagi badai salju bolak-balik menerjang mereka.

Film ini sebenernya nggak menegangkan banget, sih. Tapi saya jadi ngebayangin gimana mencekamnya suasana menuju puncak tertinggi di dunia itu. Para pendaki itu harus mastiin temen-temen mereka selamat. Tapi mereka juga harus ngejaga diri mereka sendiri. Kalo ada yang tumbang, repot nyelametinnya. Continue reading