Musim Semi di Kebunku

Melati berguguran di halaman rumah bersama daun-daunnya yang kering. Semalam, hujan deras tak cuma merontokkan kuntum-kuntum bunga putih itu dan daun-daunnya yang sudah cokelat, tetapi juga menghanyutkan aroma yang wangi dan santun ke selokan. Wangi yang lantas mengalir bersama debu, membiarkan petrikor mengambil alih udara.

Sementara, benih mawar kuning yang dulu kutabur, kini telah tumbuh dan berbunga. Basah bermandikan hujan. Tangkai menopangnya dengan kokoh, sedangkan kelopaknya siaga melindungi mahkota yang baru merekah dan untuk pertama kalinya melihat dunia melalui putiknya yang lugu.

Tak akan kupetik mawar itu. Bahkan jika diri ini meminta keindahan hakiki. Bukan karena aku tak ingin menghias kamarku. Tetapi karena kebun adalah layar yang terus berputar, menayangkan adegan-adegan alami yang tak mampu kutiru.

Bahkan untuk menjiplaknya dalam sebentang kanvas atau secarik kertas pun yang muncul hanyalah goresan maya yang bimbang, antara ingin jelas tetapi juga ingin mudah dihapus.

Sehabis bersemi, akan tiba waktunya mawar kuning itu luruh. Lalu, mungkin bunga putri malu yang akan menguasai kebun ini.

Selama ada bunga yang bersemi, sekecil apapun, aku percaya kebunku akan bertahan.

Keajaiban di Kebun

Nanem-nanem pas musim kemarau gini kayak pekerjaan sia-sia. Biar semua taneman disiram dua kali sehari, tetep aja panas matahari bikin tanah cepet kering. Apa yang bisa diserap akar, coba? Kalopun ada air yang dia serap, sebentar kemudian udah menguap.

Tapi liat banyak taneman yang mati, kebun jadi tambah gersang. Udah mah nggak ada taneman peneduh, daun-daun ijo juga pada gagal tumbuh. Yang bener-bener bertahan cuma melati. Nggak tau dapet nutrisi dari mana, tuh, sampe bisa tumbuh ngelampauin kanopi. Udah gitu banyak dahan yang ngejulur-julur nggak karuan.

Sayangnya, melati ini nggak bisa dijadiin sayur. Paling bunganya bisa dijadiin teh. Jadi, mau tumbuh segondrong apapun dia nggak bisa kami manfaatin buat ketahanan pangan. Continue reading

Seekor Kupu-kupu Mati di Pinggir Jalan

Sore tadi, aku menemukan seekor kupu-kupu mati di pinggir jalan. Sayapnya masih utuh, seakan memperlihatkan keinginan yang belum terwujud. Tak ada yang berani mengoyaknya. Sebuah keheningan yang menyertai kepergiannya.

Pernahkah kupu-kupu itu berpikir tentang hari ini? Saat sayapnya terbentang, tetapi tak lagi memeluk angin. Saat ia memandang langit, tetapi tak mampu lagi menyentuhnya. Langit yang dulu memberinya keberanian untuk terbang tinggi, yang kini hanya menjadi saksi kematiannya.

Tanah yang menadahi kupu-kupu itu mengantarku ke masa silam, ketika ia masih berupa ulat yang merayap perlahan di atas dedaunan.

Pernahkah seekor ulat membayangkan sayapnya kelak? Itukah yang memberinya alasan untuk terus hidup? Menggerogoti daun-daun hingga pohon meranggas, dan bersembunyi ketika bayang-bayang burung menghalau pelita matahari.

Siapa yang tahu, mungkin ulat juga punya Impian. Untuk memiliki sayap yang elok, yang bisa menarik perhatian kupu-kupu lain. Impian untuk terbang mengelilingi dunia yang ia tidak pernah tahu sebelumnya.

Mungkinkah ulat pernah meminta kepada Tuhan untuk memberinya warna dan pola yang indah di sayapnya? Tapi siapa yang menentukan warna untuk sayapnya itu?

Sudahkah kupu-kupu yang mati itu menuntaskan mimpinya? Atau ia meninggalkan dunia ini dengan sejumput pertanyaan yang tak pernah terjawab? Mungkin ia bermimpi terbang lebih tinggi hingga sayapnya berkedip di antara bintang-bintang?

Belum sempat aku meresapi semua itu, tukang sapu datang, menyeret jasadnya ke dalam gerobak sampah dengan begitu gegas dan tegas.

Mendaki Everest

Saya baru selesai nonton Everest, sebuah film tentang pendakian ke Puncak Everest. Filmnya udah lama dirilis. Bolak-balik wara-wiri di Prime Video juga. Cuma, saya baru tertarik nontonnya sekarang.

Gunung Everest itu tertinggi sedunia. Banyak pendaki yang berusaha menaklukkannya, tapi banyak juga yang meregang nyawa sebelum mencapai puncaknya. Itu gunung dinginnya nggak ada obat. Kebangetan.

Saking tingginya, salju sampe nutupin gunung itu. Nggak cuman puncaknya, tapi juga dari bawah-bawahnya. Para pendaki dalam film Everest berusaha bertahan hidup dengan kadar oksigen dalam tabung yang sangat terbatas. Belum lagi badai salju bolak-balik menerjang mereka.

Film ini sebenernya nggak menegangkan banget, sih. Tapi saya jadi ngebayangin gimana mencekamnya suasana menuju puncak tertinggi di dunia itu. Para pendaki itu harus mastiin temen-temen mereka selamat. Tapi mereka juga harus ngejaga diri mereka sendiri. Kalo ada yang tumbang, repot nyelametinnya. Continue reading

Kenapa Cabe di Kebunku Rasanya Pedes?

Di antara taneman-taneman yang gagal tumbuh di kebun kami, kayaknya cuma taneman cabe, deh, yang perjuangannya paling berat. Kami nanem dari bijinya. Waktu keliatan tunasnya, kami seneng banget karena ada harepan buat si biji cabe itu tumbuh jadi taneman. Soalnya bonggol sawi dan letus tewas sehari setelah direndem di dalem sebotol air. Bawang putih sempet ngeluarin akarnya, tapi malah membusuk.

Nanem empon-empon juga pernah. Kunyit cuma ngasilin daun yang lebar, tapi umbinya kecil banget. Sama kayak singkokng. Kencur malah membusuk di dalem pot. Dan nggak tau apa lagi, deh, yang gagal tumbuh di kebun kami.

Yang sukses berbuah juga ada, yaitu tomat. Waktu buahnya masih ijo-ijo, nggak langsung kita petik. Sengaja biar beneran mateng di pohon. Eh, nggak taunya pas udah merah, buah tomat itu dimakan tikus.

Paksu pernah beli bibit cabe yang berupa biji. Kami berdua ngikutin prosedur yang dijelasin di kemasannya. Di situ disebutin kalo bijinya musti direndem dulu sebelum disemai. Sebagai petani amatiran, kamu patuhin semua instruksinya.

Continue reading