Melati berguguran di halaman rumah bersama daun-daunnya yang kering. Semalam, hujan deras tak cuma merontokkan kuntum-kuntum bunga putih itu dan daun-daunnya yang sudah cokelat, tetapi juga menghanyutkan aroma yang wangi dan santun ke selokan. Wangi yang lantas mengalir bersama debu, membiarkan petrikor mengambil alih udara.
Sementara, benih mawar kuning yang dulu kutabur, kini telah tumbuh dan berbunga. Basah bermandikan hujan. Tangkai menopangnya dengan kokoh, sedangkan kelopaknya siaga melindungi mahkota yang baru merekah dan untuk pertama kalinya melihat dunia melalui putiknya yang lugu.
Tak akan kupetik mawar itu. Bahkan jika diri ini meminta keindahan hakiki. Bukan karena aku tak ingin menghias kamarku. Tetapi karena kebun adalah layar yang terus berputar, menayangkan adegan-adegan alami yang tak mampu kutiru.
Bahkan untuk menjiplaknya dalam sebentang kanvas atau secarik kertas pun yang muncul hanyalah goresan maya yang bimbang, antara ingin jelas tetapi juga ingin mudah dihapus.
Sehabis bersemi, akan tiba waktunya mawar kuning itu luruh. Lalu, mungkin bunga putri malu yang akan menguasai kebun ini.
Selama ada bunga yang bersemi, sekecil apapun, aku percaya kebunku akan bertahan.