Capsule Wardrobe, Perlukah?

Di kalangan minimalis, ada istilah capsule wardrobe. Istilah ini pertama kali dicetuskan pada tahun 1970-an oleh seorang pebisnis sekaligus pemilik “Wardrobe”, sebuah butik ternama di kawasan London, yang mengeluarkan pakaian-pakaian yang modelnya tidak lekang oleh zaman. Misalnya saja kemeja putih, celana panjang dan rok hitam.

Kaum minimalis mengadopsi tren ini demi memudahkan mereka dalam memilih pakaian. Sebab capsule wardrobe memprioritaskan pakaian basic yang mudah dipadupadankan dengan pakaian lain. Tahu, kan, kalau kemeja putih bisa dipakai dalam kesempatan apapun. Nge-mix and match-nya juga tidak sulit. Sama halnya dengan celana hitam. Jadi kita tidak perlu menghabiskan banyak waktu di depan lemari atau cermin demi menemukan ootd yang pas.

Supaya lebih praktis lagi, dibuatlah metode capsule wardrobe 333 oleh Courtney Carver. Artinya, kita hanya memerlukan 33 pakaian selama 3 bulan. Rentang waktu ini berdasarkan lamanya satu musim. Dalam satu tahun, kan, ada 4 musim. Satu musimnya itu berlangsung selama 3 bulan. Jadi selama 3 bulan itu, kenakanlah pakaian yang ada, yang jumlahnya 33 biji. Tahan untuk beli baju baru sampai musim berikutnya.

Ketigapuluhtiga pakaian itu tidak termasuk underwear, ya. 33 pakaian itu sebatas pakaian sehari-hari, seperti baju atasan, bawahan, daster, dan rompi.

Sebetulnya, saya juga nggak paham-paham banget soal capsule wardrobe ini. Yang saya pahami, cobalah untuk menggunakan apa yang sudah kita punya alih-alih membeli yang baru kalau tidak mendesak. Saya sendiri tidak pernah bikin capsule wardrobe.

Selama ini, saya merasa lebih dari cukup soal pakaian. Saya masih menyimpan beberapa pakaian lama, bahkan jaket jins yang saya beli hampir 20 tahun lalu. Saya punya dua anak cewek. Yang sulung tingginya hampir setara dengan saya. Tidak lama lagi, kami akan punya ukuran baju yang sama.

Jadi pakaian-pakaian saya bisa lungsur ke si sulung, kalau dianya mau. Tidak peduli trennya apa. Karena tren pakaian bisa berulang. Apa yang pernah populer 20 tahun yang lalu, bisa menjadi trending tiga tahun lagi.

Lagipula, karena industri tekstil menyumbang limbah yang sangat banyak, ada baiknya kalau kita tidak sering-sering membeli pakaian (termasuk kain). Kalau tidak perlu-perlu amat, sewa saja. Atau pinjam. Ide lainnya, beli secondhand. Dan, jangan sungkan menerima barang lungsuran.

Kembali ke capsule wardrobe tadi. Jangan memaksakan diri ikutan bikin capsule wardrobe, apalagi kalau pada akhirnya kita membuang barang lama yang masih sangat layak pakai demi beli yang baru. Yaaa… Kalau disumbangkan ke mereka yang membutuhkan, sih, silakan saja.

Tapi maksud saya, minimalisme itu bukan semata capsule wardrobe dan decluttering. Minimalisme adalah merasa cukup dengan apa yang kita miliki. Kalau merasa cukup punya dua ikat pinggang, kenapa harus beli sampai tiga biji lagi?

Iya, saya tahu ini sulit. Menahan godaan untuk membeli barang baru bisa jauh lebih sulit ketimbang menahan lapar dan haus saat puasa. Merasa cukup juga tidak sama kenyangnya dengan makan sebungkus mi instan rebus plus telur dan nasi sepiring. Segala masalah mental, menanganinya tidak sama dengan sakit fisik. Kita selalu menginginkan lebih dengan alasan buat stok, padahal kita sudah punya banyak.

Kalau harus ngaku, saya juga masih jauh dari predikat minimalis. Masih banyak yang harus saya benahi, tapi saya masih sering mager untuk membuat perubahan.

Tapi saya sudah memilih jalan ini. Jalan minimalisme. Tidak peduli apakah saya sudah punya capsule wardrobe, atau berapa banyak barang yang saya declutter tiap bulan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.